Mengejar sang ”Godfather”
Dua kasus suap yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini semakin membuka mata publik, dan mengonfirmasi kotornya institusi politik dan lembaga penegak hukum seperti pengadilan.
Tiga tersangka suap dalam kasus pembangunan Wisma Atlet SEA Games dan seorang hakim berinisial ‘S’ ditangkap tangan oleh KPK. Biasanya KPK akan menggunakan pasal-pasal suap dan gratifikasi untuk menjerat kasus-kasus seperti ini. Di Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat Pasal 5,6,11,12, 12B, dan Pasal 13.
Namun, seringkali kasus suap buntu di tengah jalan dan sulit menjerat mastermind atau The Godfather skandal tersebut. Adakah sebuah terobosan hukum atau sarana regulasi baru? Follow The Money Selama ini KPK masih fokus mengejar pelaku korupsi dengan strategi follow the suspect, karena memang poin inilah yang menjadi titik tekan UU Korupsi.
Akan tetapi, KPK mendapat kewenangan tambahan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Ke depan, melalui UU inilah,strategi follow the money bisa diterapkan. Ikuti aliran uangnya,dan kita akan mengetahui siapa sebenarnya penikmat dan pengguna hasil korupsi.
Kenapa? Secara konseptual, uang dan kekayaan adalah target sekaligus tujuan dari pelaku korupsi. Hasil kejahatan adalah live blood atau darah yang menghidupi dan menjadi motivasi kenapa seseorang melakukan kejahatan seperti korupsi atau suap.KPK bisa mendeteksi aliran uang, menghentikan, dan merampas live blood tersebut, serta secara bersamaan menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Strategi ini akan sangat membantu KPK dan penegak hukum lainnya menjerat pelaku korupsi,sekaligus merampas “dana haram” yang beredar. Atas dasar inilah,KPK disarankan menempatkan UU Pencucian Uang sebagai regulasi yang sama pentingnya dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pembuktian Terbalik
Soal transaksi keuangan mencurigakan, sejak 2003 hingga April 2011 terdapat 1436 transaksi yang berasal dari korupsi, dan 97 dari suap, atau total (korupsi+suap) 44,13%. Jumlah keseluruhan transaksi keuangan mencurigakan yang dilaporkan PPATK adalah 3474 transaksi. Khusus untuk kasus Wisma Atlet, sejauh ini PPATK telah mengumumkan 13 transaksi keuangan mencurigakan, dua antaranya diduga atas nama Nazaruddin.
Penerapan UU Pencucian Uang bisa dimulai dengan fokus pada transaksi mencurigakan yang berasal dari personal ataupun perusahaan itu. PPATK diharapkan bisa mengembangkan aliran dana, rekening, atau sarana keuangan lain yang digunakan dalam proses aliran dana mencurigakan tersebut.
Bahkan, harus ditelusuri lebih jauh,di mana uang itu berhenti dan siapa yang menikmatinya. Menjadi pertanyaan serius, apakah ada orang partai politik atau pembiayaan politik yang berasal dari aliran dana tersebut? Hal ini bisa dijawab KPK dan PPATK melalui proses hukum yang fair dan independen.
Dengan kata lain, KPK dan PPATK juga diharapkan tetap independen dan tidak goyah kalaupun ditemukan ada aliran dana ke partai politik tertentu. Secara lebih luas, keberadaan UU Pencucian Uang yang diundangkan sejak 22 Oktober 2010 bisa diterapkan juga untuk pembersihan “dana haram” partai politik.
Ke depan, selain pemberantasan korupsi bisa lebih maksimal,proses demokrasi pun menjadi lebih sehat dan substansial, karena tidak lagi dibajak oleh koruptor dan mafia. Demikian juga dengan hakim ‘S’. Hal yang paling bisa diterapkan KPK adalah untuk kepentingan pembuktian dana selain Rp250 juta yang baru diakui oleh pihak PT SCI sebagai “tanda terima kasih” pada hakim ‘S’.
Karena saat itu KPK menemukan USD116.128, 245.000 dolar Singapura, 12.600 riel Kamboja, 20.000 yen, dan Rp142 juta. Jika UU Pencucian Uang dikombinasikan dengan UU Korupsi, KPK bisa menggunakan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik. Seperti diatur pada Pasal 77 UU No 8/2010: “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana”.
Pasal berikutnya,Pasal 78 ayat (1) memberikan kewenangan pada hakim untuk memerintahkan terdakwa membuktikan secara “terbalik” harta kekayaannya tersebut. Akan tetapi, meskipun kewenangan diberikan pada hakim, jaksa penuntut umum juga punya ruang untuk meminta hakim agar bersikap dan memerintahkan penerapan pembuktian terbalik ini.
Jadi, peran jaksa dan hakim menjadi sangat vital soal penerapan metode yang bagi banyak pihak dilihat sebagai salah satu jawaban terhadap sulitnya pembuktian jika dilakukan dengan metode konvensional. Selain itu, jika masih dirasa perlu, penyitaan terhadap harta kekayaan yang lain juga masih dimungkinkan dilakukan oleh jaksa penuntut (Pasal 81).
Lebih dari itu, PPATK sangat bisa membantu KPK untuk melihat apakah ada transaksi mencurigakan terkait kasus hakim ‘S’ atau jejaringnya di institusi peradilan yang sekarang sedang ditangani KPK. Secara lebih luas, inilah salah satu momentum untuk melawan mafia peradilan secara lebih serius. Di tataran praktik, metode pembuktian terbalik sudah mulai dilakukan dalam kasus Bahasyim Assifie.
Hasilnya hakim memerintahkan dana Rp1 miliar (dari korupsi), dan Rp67,62 miliar yang dijerat pencucian uang dirampas untuk negara (Put. No. 1252/Pid.B/ 2010/PN.Jkt.Sel). Namun, memang menjadi tantangan bagi aparat penegak sejak proses penyelidikan dan penyidikan untuk melakukan asset tracing atau penelusuran aset yang terkait korupsi, pemblokiran, hingga penyitaan.
Karena asetaset yang disita inilah yang nanti menjadi objek pembuktian terbalik di pengadilan. Dengan demikian, jika UU Pencucian Uang diterapkan secara serius dan digunakan sebagai pintu masuk perampasan kekayaan korup, kita bisa memulai dengan lebih konkret upaya memiskinkan koruptor. Tangkap koruptornya, sita dan rampas kekayaannya,hingga ke penikmat terakhir dan sang Godfather.
FEBRI DIANSYAH Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW)
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 14 Juni 2011