Mengelola Bisnis Minyak Dengan Panik
Konstitusi indonesia telah mengatur tentang kandungan perut bumi termasuk minyak yang menjadi komoditi sentral dalam perekonomian bangsa ini diatur oleh negara dan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Dengan demikian jelas bahwa rakyat Indonesia tanpa terkecuali wajib diprioritaskan dalam pemanfaatan kandungan perut bumi khususnya kebutuhan akan migas. Namun, kondisi riil justru terjadi sebaliknya, sinyalemen ini setidaknya terlihat dari peningkatan kebutuhan rakyat yang terjadi belakangan ini tidak dikuti dengan ketersediaan stock yang memadai.
Padahal indonesia masih dianggap sebagai salah satu produsen minyak terbesar, sehingga menjadi ganjil jika pemerintah keteteran menghadapi krisis minyak dunia. Bahkan langkah yang tidak popolis terus diambil pemerintah yaitu dengan mencabut subsidi BBM.
Alasan pemerintah sangat sederhana, harga minyak dunia yang terus merangkak naik hingga diatas level 100 US$ akan membebankan APBN, setidaknya 200 trilyun digunakan untuk menekan subsidi BBM nasional. Selain itu, subsidi BBM bagi pemerintah sudah tidak relevan karena hanya menguntungkan kelompok masyarakat kaya.
Menilai kebijakan pemerintah tersebut, ekonom dari lembaga Econit, Hendri Saparini menjelaskan jika kebijakan menaikan harga BBM sebagai dampak krisis minyak dunia merupakan opsi yang tidak tepat karena akan berpengaruh pada 80 persen sektor ekonomi nasional.
Lebih lanjut ia menyarankan bahwa untuk tidak menaikan harga BBM maka harus ada program secara berkala yakni jangka pendek dan jangka menengah agar beban APBN tidak meningkat. Jangka pendek yang bisa dilakukan pemerintah adalah me-realokasi anggaran untuk mengurangi beban APBN sehingga tidak harus menambah beban 80 persen sektor ekonomi lainnya sedangkan jangka menengah dengan mengoreksi tata niaga migas nasional termasuk merevisi kontrak-kontrak penjualan sumber energi demi kepentingan nasional. ” Selama ini pemerintah harus membayar mahal dalam memproduksi BBM,” kata Saparini yang dihubungi via telepon.
Hegemoni Amerika pada Harga Minyak Dunia
Tingginya harga BBM memang dipengaruhi oleh berbagai faktor, selain karena tingginya biaya yang dikeluarkan untuk membayar produksi minyak juga karena adanya faktor permainan dari mafia atau spekulan di level nasional dan internasional. Besarnya ruang gerak para spekulan dalam mempengaruhi kebijakan harga minyak dunia terbilang dominan karena hukum fundamental pasar tentang supply and demand tidak lagi mempengaruhi harga minyak dunia.
Analisis Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap hasil pemeriksaan BPK tahun 200-2007 setidaknya menemukan indikasi adanya penyimpangan penerimaan negara dari minyak sebesar Rp. 194 triliun lebih. Begitu juga dalam penerapan pola ”bagi hasil” yang ternyata tidak sesuai dengan yang seharusnya. Dampaknya, penerimaan negara dari migas mengalami kebocoran dan tidak sesuai harapan.
Opini publik sepertinya digiring oleh para spekulan seolah pasokan minyak dunia yang saat ini mengalami krisis diakibatkan oleh permintaan yang tinggi. Menurut pengamat pasar modal, Yanuar Rizki, tingginya harga minyak dunia saat ini lebih disebabkan oleh faktor spekulasi di bursa komoditas. Saat ini bursa komoditas berkiblat pada New York Mercantile Exhange, sedangkan untuk negara Eropa mengacu pada London Mercantile Exchange, Dubai Mercantile Exchange untuk negara Timur Tengah, untuk Indonesia mengacu pada Brent Asia Pacific Mercantile Exchange yang berada di Singapura. Tapi sayangnya, semuanya itu masih mengekor pada New York Mercantile Exchange. ”Jadi, boleh dibilang harga minyak dunia yang terbentuk di bursa komoditas lebih banyak Amerika sentris,” Ungkap Yanuar lebih lanjut.
Hal senada juga dilontarkan oleh Hendri Suparini. Menurutnya, penyebab krisis minyak dunia saat ini bukan disebabkan oleh konsumsi, karena justru pada 2007-2008 negara konsumen minyak terbesar seperti Amerika dan Cina sedang mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. ”Kalau demikian bukan diakibatkan oleh demand nya yang meningkat. Berarti ada demand yang digunakan bukan untuk konsumsi, misalnya digunakan untuk spekulasi.” Tegasnya.
Krisis minyak yang terjadi di indonesia memang tidak terlepas dari pengaruh yang terjadi pada level internasional. Seperti diketahui, Sejak harga minyak dunia merangkak naik, Amerika menuding negara-negara OPEC mengurangi produksi minyak, lalu mendorong negara-negara Arab untuk meningkatkan produksi minyaknya. Akhirnya dengan desakan Amerika dan PBB, Arab menaikan produksi minyaknya menjadi 12 juta barrel perhari. Seperti halnya Amerika, OPEC pun menuding para spekulan yang bermarkas di New York telah mempermainkan harga minyak di bursa komoditas.
Yanuar Rizki yang juga Presiden Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) ini menambahkan bahwa OPEC dan spekulan sama-sama bermasalah. Pertimbangan rasional dari peningkatan produksi minyak Arab memang diharapkan agar dunia tidak mengalami kelangkaan minyak sehingga harga minyak dunia berada pada posisi harga yang stabil. Namun permasalahannya tidak sederhana itu, faktor spekulan yang didukung oleh negara kapitalis lebih besar pengaruhnya ketimbang faktor kapasitas produksi minyak dunia. Buktinya, setelah Arab menaikan produksi minyaknya tetap saja harga minyak dunia belum mengalami harga yang stabil.
Menurut laporan pemerintah Amerika c/q Departement of Interior kepada lembaga legislatif US Congress pada Februari 2006, jumlah cadangan minyak Amerika mencapai 115 miliar barrel. Perbandingannya dengan Irak sebagai penghasil minyak kedua sedunia memiliki cadangan minyak dengan jumlah yang sama yaitu 115 barrel. Bahkan dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa pada 2004 cadangan minyak Amerika mencapai 2 triliun barrel. (Laporan Office of Naval Petroleum and Oil Shale Reserves Dept of Energy). Sebuah angka yang fantastis dan turut menimbulkan pertanyaan mengapa dengan kondisi yang demikian masih saja terjadi krisis minyak dunia.
Mengacu pada laporan tersebut maka tidak berlebihan rasanya jika muncul persepsi dari masyarakat tentang geliat para spekulan berlindung di balik kekuasaan negara kapitalis khususnya Amerika. Karena dalam konstitusinya, Amerika memberikan ruang bagi para spekulan untuk melakukan tindakan spekulatif terhadap minyak dunia. (Cahyono Adi,Artikel,Waspada on line)
Selain faktor spekulan, faktor geopolitik cukup menentukan setiap perkembangan harga minyak dunia. Ketidakstabilan kondisi di kawasan penghasil minyak khususnya Timur Tengah turut mempengaruhi kondisi pasar minyak internasional. Intervensi Amerika dalam konflik Timur Tengah menjadi instrumen yang mempengaruhi perkembangan harga minyak dunia.
Banyak pihak menilai jika hegemoni Amerika di timur tengah merupakan bagian dari strategi mendominasi kebijakan harga minyak dunia. Sederhananya, perdagangan minyak dunia yang mengacu pada kurs dollar akan mejadikan permintaan dollar akan naik dan secara otomatis nilai dollar akan menguat, dengan demikian posisi tawar Amerika terhadap kebijakan global semakin mendominasi bukan hanya pada sektor minyak.
Selain itu, bola panas yang dilontarkan Israel untuk menyerang fasilitas nuklir Iran tahun ini juga dapat mengancam kepanikan dan stabilitas harga minyak dunia. Patut diketahui jika Iran merupakan produsen minyak terbesar keempat di dunia dan eksportir kedua di OPEC. Jika serangan israel terjadi maka berpotensi mengganggu lalu lintas minyak karena 40 persen minyak global diexpor melalui selat Hormuz (Kompas, 9 Juli 2008).
Menyikapi kondisi tersebut, Yanuar Rizki kembali menjelaskan bila isu utamanya bukan terletak pada konteks stabilitas keamanan, tapi lebih kepada konteks kapital. Artinya dengan kondisi yang demikian dimana masyarakat dunia mengalami kepanikan, Amerika mampu memposisikan diri untuk mengambil keuntungan pada bursa komoditas minyak. ”seharusnya ada mekanisme yang fair antara broker jual (untuk penghasil minyak) dan broker beli (untuk yang membutuhkan minyak), Nah sekarang itu tidak jelas antara broker jual dan broker beli,” katanya.
Pemerintah punya BLT, DPR punya hak angket
Hari-hari terakhir ini pemerintah makin dipusingkan dengan angka minyak dunia yang telah mencapai 145 US$ per barrel (data per 3 Juli 2008). Pemerintah memang menyadari jika kenaikan harga BBM merupakan kebijakan pahit, dan sabagai tanggungjawab pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) bagi rakyat miskin. BLT nantinya akan dibagikan kepada 19 juta rakyat miskin. Jumlah tersebut berarti hanya 30 persen dari total rakyat miskin di Indonesia versi Bank Dunia atau 50 persen versi BPS.
Namun, Lagi-lagi berbagai reaksi penolakan bermunculan, termasuk dari beberapa kepala daerah di Indonesia, selain dianggap tidak tepat sasaran dan sarat dengan korupsi. Bahkan sikap DPR lebih keras, rapat paripurna DPR 24 juni lalu akhirnya menyetujui penggunaan hak angket untuk menyelidiki latar belakang kenaikan harga BBM, baik dari sisi tata kelola produksi migas serta indikasi mafia minyak.
Menurut pengamat energi dari LP3ES, Pri Agung Rakhmanto yang ditemui usai seminar tentang energi di Jakarta mengatakan, pembagian BLT kepada rakyat miskin bukan solusi yang efektif. ”Seharusnya pemerintah transparan dalam mengelola industri migas nasional agar masyarakat bisa memahami,”.
Sejatinya dampak kenaikan harga minyak dunia tidak serta merta dibebankan kepada masyarakat. Pemerintah harus memperbaiki sistem produksi dan pengelolaan migas termasuk indikasi adanya berbagai penyimpangan seperti permainan spekulan dan mafia perminyakan. Tim investigasi DPR harus bekerja maksimal untuk menemukan berbagai penyimpangan yang terjadi sehingga bisa direkomendasi ke penegak hukum maupun perbaikan sistem pengelolaan migas. (Norman Senjaya dan Agus)