Mengenang Bung Hatta
Kedua anak saya, dr Aida Fathya dan dr Ela, memberitahukan tanggal 14 Maret ini genaplah Bung Hatta meninggal dunia 30 tahun yang lalu. Putrinya, Dr Gemala, meminta saya menulis sebuah artikel peringatan agar Bung Hatta jangan dilupakan.
Saya balik-balik buku: Bung Hatta Bapak Kedaulatan Rakyat (editor Sri-Edi Swasono, 2002, 705 halaman) memuat karangan 58 orang dan aneka ragam topik diliput di sana.
Apa lagi mau dibicarakan? Dalam pengalaman menulis biografi, saya biasa tanya kepada orang bersangkutan bagaimana dia mau dikenang oleh generasi mendatang?
Biasanya dia menjawab dengan jelas apa yang diinginkannya. Dalam situasi Bung Hatta tidak ada lagi saya hendak membalikkan pertanyaan. Alih-alih ganti dengan bagaimana saya mengenang Hatta.
Ketika diasingkan oleh Belanda kolonial ke Boven Digul, Bung Hatta, juga Bung Sjahrir, gemar main sepak bola untuk olahraga. Memakai metafora dari sepak bola, Bung Hatta itu dalam pandangan saya adalah pemain center-voor atau penyerang tengah. Dalam politik, hal itu bermakna peringkat lapangan permainannya adalah di bagian tengah atau center-stage. Dia tidak terseret ke kanan ekstrem sehingga bisa ”dimakan” oleh pemain fundamentalis tipe Al Qaeda, Taliban.
Dia tidak bergerak ke ideologi kiri ekstrem yang bisa menumpulkan gerakannya. Sebagai center-voor dia bertugas memimpin serangan kesebelasannya. Dia tidak boleh ragu-ragu dan bertekad membikin gol meraih kemenangan. Jika tidak mau pakai metafora sepak bola, boleh saja.
Namun, realitas dunia global dewasa ini meminta dari politisi. Dari tokoh eksekutif seperti presiden, perdana menteri, gubernur untuk melaksanakan kebijakan ambil jalan tengah dan menjauhi sikap tidak realistis.
Pentas tengah
Sebenarnya agama Islam mengajarkan bahwa umatnya tergolong umatan-wisatan, yaitu umat-tengah atau middle-nation. Artinya umat dalam sikap tindakannya menjaga harmoni dan keseimbangan antara dunia dan akhirat, antara lahir dan batin, antara hidup dan mati, antara moderat dan Bung Hatta pada masa remajanya walaupun tidak mendengar ajaran tadi, tetapi niscaya memahami bahwa jalan tengah adalah riil.
Dengan pedoman itu dalam politik praktis Bung Hatta bergerak di pentas tengah sebab center-stage tempat yang mudah dikuasai. Mengambil jalan tengah bisa menjamin dukungan rakyat yang mengikuti pertandingan dari sisi pinggir lapangan.
Belas asih
Apakah dalam kehidupan politik Bung Hatta telah melakukan peran. Jawabnya, ya dan tidak. Ya, ketika dia bersama-sama dalam triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir pada zaman revolusi memimpin perjuangan melawan kolonialisme dan imperalisme Belanda, berada di center-stage, tidak menambah-nambah musuh, cukup berkonsentrasi pada satu musuh saja, dan akhirnya meraih kemenangan dengan fakta Indonesia merdeka berdaulat yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta tanggal 17 Agustus 1945, memperoleh pengakuan de jure dan de facto dari dunia internasional tanggal 27 Desember 1949.
Tidak berhasil, ketika pada tahun-tahun sesudah itu kepemimpinan di puncak bercerai-berai, Dwitunggal terpecah belah, Hatta mundur ke latar belakang, Sjahrir dipenjarakan oleh Soekarno sehingga mendatangkan maut baginya, elite yang bergabung dalam parpol-parpol dan lembaga birokrasi sipil militer sibuk dengan masalah kekuasaan, mengurus kepentingan diri dan kelompok sendiri yang mengakibatkan korupsi merajalela, administrasi negara tidak efisien, tata kelola pemerintahan semrawut, ditambah dengan sistem otoriter dan feodal yang mematikan semangat demokrasi sehingga rakyat yang mayoritas tidak pernah sungguh-sungguh mengalami compassion atau belas asih, pemimpin politik dan bisnis lapisan kelas menengah.
Tentu Bung Hatta tidak dapat kita persalahkan dan sesalkan atau keadaan yang dilukiskan tadi. Bung Hatta terkenal karena ucapannya ”korupsi telah membudaya”, tetapi dia tidak didengarkan. Semua itu semoga jadi pembelajaran bagi kita yang belum putus asa dan bekerja terus menurut kemampuan masing-masing untuk kemajuan lahir batin wong cilik.
Kita memerlukan pemerintah mantap, dipimpin oleh presiden bertindak sebagai center-voor tidak ragu-ragu. Kita memerlukan elite hidup setia cita-cita, menahan dan mengendalikan diri, mau senasib sepenanggungan dengan orang-orang yang harus diangkat martabat kemanusiaannya. Kita memerlukan rakyat sadar dan paham kedaulatan rakyat yang dipegangnya.
Dengan begitu, Insya Allah kita bisa mencapai kemajuan sebagai bangsa dan negara. Dalam semangat itulah kita mengenang Bung Hatta yang tanggal 14 Maret 2010 genap 30 tahun meninggal dunia. Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan.
Rosihan Anwar Wartawan Senior
Tulisan ini disalin dari Kompas, 13 Maret 2010