Menggantung Pimpinan KPK
Keputusan Jaksa Agung melakukan peninjauan kembali atau PK terhadap putusan praperadilan Pengadilan Tinggi Jakarta atas kasus Bibit Slamet Rianto-Chandra M Hamzah merupakan langkah setengah hati.
Begitu nyata pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi digantung nasibnya karena upaya PK bisa saja sama hasilnya dengan putusan banding pengadilan tinggi (PT). Apalagi komentar Ketua Mahkamah Agung Harifin A Tumpa bahwa praperadilan tak bisa dimohonkan kasasi. Sebagai upaya hukum luar biasa, PK berbeda kualitasnya dengan kasasi.
Sah-sah saja melakukan PK yang memang tidak semata-mata melihat pada aspek hukumnya, melainkan juga pada aspek sosiologis yang dimasalahkan dalam putusan PT. Selain itu, PK juga berfungsi sebagai pengawasan yang tak sekadar melihat kepentingan hukum, kepentingan sosial bisa dijadikan alasan untuk mengoreksi putusan hakim.
Langkah Jaksa Agung terkesan hanya tak ingin dicap mengekor pada tekanan berbagai kalangan yang mendesak agar mengenyampingkan perkara (deponeering) yang jauh lebih kuat ketimbang upaya hukum PK. Apalagi membawa Bibit-Chandra ke ruang pengadilan karena jelas akan menghambat tugas KPK dalam memberantas korupsi.
Nasib Bibit-Chandra tetap di ujung tanduk karena PK bisa saja ditolak yang berarti sama posisinya saat upaya banding ditolak PT. Apakah pada kondisi ini baru Jaksa Agung memakai haknya menempuh deponeering? Begitu jelas nasib pimpinan KPK digantung, padahal pemberantasan korupsi merupakan agenda reformasi. Memerangi korupsi adalah bagian dari upaya memenuhi kepentingan bangsa dan negara, atau kepentingan masyarakat luas, seperti dimaksud dalam alasan pemberian deponir bagi Jaksa Agung (Pasal 35 huruf-c UU No 16/2004 tentang Kejaksaan RI).
Salah satu cara mengefektifkan pemberantasan korupsi adalah menyelamatkan institusi KPK. Jaksa Agung tak perlu ragu di tengah kondisi penegakan hukum yang tak normal. Pengemplang uang rakyat harus diberangus dengan cara-cara luar biasa. Mendeponir kasus Bibit- Chandra satu risiko yang harus diterima akibat kekeliruan memilih rekomendasi Tim-8.
Antiklimaks
Mendeponir perkara Bibit- Chandra merupakan jalan paling aman menyelamatkan fungsi KPK. PK akan semakin menciutkan nyali Bibit-Chandra menangani kasus Century. Terbukti saat rapat dengar pendapat dengan DPR, pimpinan KPK menyatakan tak ada indikasi tindak pidana korupsi terkait kebijakan bail out. Sikap ini mengindikasikan pimpinan KPK telah tersandera perkara Bibit-Chandra.
Rumor miring yang berkembang selama ini semakin terang, KPK akan menempatkan kasus Century di ranah impian. Rekomendasi DPR agar kasus Century diproses hukum tak akan tercapai. Bibit-Chandra melupakan jasa publik yang membelanya sehingga memaksa Presiden SBY membentuk Tim-8. Tidak bisa diingkari, tekanan publik yang begitu luas sehingga Presiden meminta agar kasus ini diselesaikan di luar pengadilan.
Padahal, kehadiran KPK yang memiliki kewenangan ekstra dibanding kepolisian dan kejaksaan begitu dielu-elukan publik, tetapi realitas berbicara lain. Laksana macan kertas yang tidak bergigi saat berhadapan dengan kasus Century. KPK yang dianggap punya nyali dan pisau tajam untuk membedah Century ternyata hanya mimpi yang tak berarti. Padahal, pimpinan KPK berkoar- koar bahwa KPK telah melakukan penyidikan terhadap kasus Century jauh sebelum Panitia Hak Angket DPR terbentuk.
Harapan publik terhadap KPK mengungkap kasus Century begitu besar, terutama setelah Bibit-Chandra dihentikan penuntutannya. Namun, yang diperlihatkan jauh panggang dari api. Kesimpulan kebijakan bail out tidak ada indikasi korupsi merupakan sikap antiklimaks dalam upaya pemberantasan korupsi. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari KPK jilid II yang masa tugasnya kurang dari satu tahun ini.
Dalam kondisi yang serba tidak menentu ini, wacana mengganti semua pimpinan KPK perlu diapresiasi. Panitia seleksi pimpinan KPK tidak perlu hanya mencari ketua, tetapi keempat pimpinan yang ada diganti dengan menyesuaikan masa kerjanya sesuai UU KPK. Kita tidak ingin institusi KPK semakin ompong lantaran tersandera oleh kasus Bibit-Chandra.
MARWAN MAS Dosen Ilmu Hukum dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas 45, Makassar
Tulisan ini disalin dari Kompas, 13 Juni 2010