Menggugat Yayasan Soeharto
Rencana menggugat tujuh yayasan yang berada di bawah mantan Presiden Soeharto dimulai. Berbagai bukti untuk itu telah disiapkan dan Kejaksaan Agung pun sudah mulai bekerja.
Tetapi, rencana gugatan itu ditanggapi oleh berbagai kalangan sebagai daripada tidak. Sebab, biasanya, kasus perdata itu merupakan tindak lanjut dari kasus pidana setelah pidananya jalan dan seseorang menjadi terhukum. Karena kasus pidana selalu mentok, maka melalui hukum perdata, kejaksaan akan mencoba mengembalikan dana yang dinilai sebagai hasil penyimpangan (korupsi) pada masa pemerintahan Pak Harto.
Gugatan itu melengkapi kontroversi kasus Pak Harto, yang sampai sekarang ibarat benda dilempar senantiasa memantul. Tak pernah dapat goal menjadi kasus yang diputus pengadilan.
Ada dua masalah mendasar sehubungan dengan digugatnya tujuh yayasan ke persidangan perdata. Pertama, legitimasi jaksa untuk melakukan gugatan; kedua, substansi yayasan sebagai dasar yang akan menjaring tergugat.
Kedua masalah mendasar itu seharusnya diklirkan terlebih dahulu sebelum melangkah jauh. Apalagi rencananya melikuidasi berbagai yayasan lain yang notabene tidak hanya menguntungkan Pak Harto sebagai pendiri, tetapi diakui imbas kinerja berbagai yayasan itu juga telah membawa dampak positif bagi masyarakat.
Terlepas dari dua masalah di atas, mencuatnya kasus itu bak bola di tengah lapangan yang bebas ditendang dari berbagai penjuru. Stigma bahwa Pak Harto bersalah oleh masyarakat, oleh hukum, dan oleh berbagai institusi sudah begitu kuat -pada masa Orde Baru, Pak Harto dengan Orde Baru-nya melakukan banyak penyimpangan hukum. Termasuk dalam pengelolaan yayasan yang sudah pada tahap penyempurnaan gugatan tersebut.
Legitimasi Jaksa
Sebagaimana dipahami, dalam sistem penegakan hukum di Indonesia, instansi kejaksaan merupakan satu di antara empat pilar penegakan hukum, di samping kepolisian, kehakiman, dan penasihat hukum. Empat pilar itu mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda. Tetapi, tujuannya sama, yaitu menegakkan hukum sebagai produk yang dibuat di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sistem penegakan hukum dimaksudkan sebagai upaya untuk mewujudkan supremasi hukum sebagai bagian dari tegaknya kedaulatan Negara Republik Indonesia.
Dalam perspektif di atas, masalah mendasar yang kiranya memerlukan klarifikasi adalah siapa yang nanti mewakili yayasan tersebut? Apakah masing-masing yayasan ataukah Pak Harto melalui kuasa hukumnya akan bertindak untuk dan atas nama tujuh yayasan itu sebagai pihak tergugat? Jika hanya Pak Harto, grand design-nya tentu akan melebar. Sementara itu, jika bukan Pak Harto, mengapa tidak diawali dengan penyidikan perkara pidana terhadap pengurus yayasan?
Hal di atas memerlukan ketegasan agar kasus tersebut nanti tidak error in objecto dan kandas ketika perjalanan belum dimulai. Masih banyak kasus lain yang lebih urgen yang kiranya dapat ditangani oleh kejaksaan dengan nilai yang juga tidak kalah besarnya daripada tujuh yayasan tersebut. Jika hal itu yang terjadi, sangat tampak rekayasa hukum untuk sekadar memberikan kesan bahwa pemerintah tidak hanya tinggal diam terhadap kasus-yang melibatkan mantan Presiden Soeharto.
Dalam perspektif normatif, dalam ketentuan sebagai acuan kinerja kejaksaan, dinyatakan bahwa di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
Sementara itu, dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan yang berupa peningkatan kesadaran hukum masyarakat; pengamanan kebijakan penegakan hukum, pengamanan pengedaran barang cetakan, dan pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, serta pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama.
Termasuk dalam kaitan itu secara internal melakukan penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Dengan kenyataan di atas, pertanyaan yang disampaikan adalah mengapa kasus tujuh yayasan itu menjadi prioritas kejaksaan, bukan kasus-kasus lainnya? Bukankah kasus itu ibarat benang kusut yang tidak saja sarat muatan politis, tetapi juga akan sulit membuktikan secara hukum, terutama siapa yang harus bertanggung jawab?
Peraturan perundangan juga menggariskan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam peraturan perundangan, khususnya UU tentang Kejaksaan, kejaksaan juga dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasar UU. Untuk itu, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan-badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau institusi lain. Namun, klausul itu tentu sulit dioperasikan ketika berhadapan dengan kekuatan besar dari mantan Presiden Soeharto.
Fungsi Keperdataan
Dalam hal kedudukan kejaksaan sebagai pengacara negara, fungsi keperdataan telah dilaksanakan oleh kejaksaan sejak zaman pemerintah kolonial Belanda. Itu diatur dalam berbagai ketentuan BW maupun berbagai ordonansi serta peraturan-peraturan catatan sipil.
Pada masa pemerintahan Belanda, ketika fungsi kejaksaan sebagai pengacara negara (Landsadvocaat), telah ada ketentuannya dalam KB (Konenkelijk Besluit) Staatsblad 1922 Nomor 522 yang berjudul Vertegenwoordiging van den lande in Rechten. Dalam pasal 2 dan 3 Staatsblad tersebut, dipakai istilah Landadvocaten yang banyak meneruskan kasus-kasus pidana.
Karena itu, fungsi keperdataan yang diterapkan dalam tujuh yayasan itu, agaknya, menyimpang dari Koninkelijk Besluit tersebut. Meskipun pemahaman terhadap fungsi keperdataan dari kejaksaan masih diatur (vide UU No 16/2004). Hanya, makna khusus dalam bidang keperdataan dengan sendirinya identik dengan pengacara.
Memang, atas dasar kenyataan di atas, agar tidak berbenturan dengan fungsi pengacara pada umumnya, istilah Pengacara Negara sebagai terjemahan Landsadvocaat, versi Staatsbalad 1922 Nomor 522, juga sejak adanya Keputusan Jaksa Agung Nomor : Kep-039/J.A/1993 tanggal 1 April 1993 tentang Administrasi Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, yang telah direvisi dengan Keputusan Jaksa Agung Nomor : Kep-148/J.A/12/1994 tanggal 22 Desember 1994 tentang Penyempurnaan Administrasi Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara, sebutan Jaksa Pengacara Negara telah dipakai bagi jaksa yang melaksanakan tugas perdata dan tata usaha negara, yang juga telah memasyarakat.
Tugas dan wewenang di bidang tata usaha negara merupakan hal baru dan dalam UU No 9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, peranan kejaksaan tidak disebut sama sekali.
Kekuasaan legislatif memberikan peranan baru dalam upaya agar kejaksaan mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan, antara lain turut menciptakan kondisi dan prasarana yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan. Kejaksaan juga berkewajiban turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan negara.
Prof Dr Samsul Wahidin SH MH, guru besar Ilmu Hukum Unmer Malang
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 14 Juni 2007