Menghargai Pengeruk Uang Negara
Dia berupaya menghindar dari kewajiban melunasinya selama kurang-lebih lima tahun. Tentu saja selama dalam pelarian, ia berstatus sebagai buron (wanted), walaupun ia memberi alasan bahwa kepergiannya merupakan akibat tekanan pihak-pihak tertentu di tengah ketakpastian hukum dalam negeri.
Atang Latief alias Lao Cheng Ho baru saja kembali ke Tanah Air setelah lima tahun hengkang ke luar negeri. Dia kemudian menyerahkan diri ke Markas Besar Kepolisian RI dan berjanji akan melunasi utangnya dari kredit bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Ia memang bukan tersangka koruptor, melainkan orang yang memiliki kewajiban untuk membayar utangnya dari bank dalam negeri alias seseorang yang menikmati uang negara (uang rakyat) untuk kepentingan pribadinya. Namun, dia berupaya menghindar dari kewajiban melunasinya selama kurang-lebih lima tahun. Tentu saja selama dalam pelarian, ia berstatus sebagai buron (wanted), walaupun ia memberi alasan bahwa kepergiannya merupakan akibat tekanan pihak-pihak tertentu di tengah ketakpastian hukum dalam negeri.
Orang seperti Atang latief ini sudah pastilah tidak sedikit jumlahnya. Masih banyak lagi Atang Latief lainnya, baik yang berada di luar negeri maupun di dalam negeri ini. Hanya, Atang Latief memberi kesan baik dan kooperatif untuk menyelesaikan masalah yang mengganjalnya selama ini. Ikrar janji membayar sisa utangnya di hadapan pihak yang berwajib merupakan isyarat yang membuktikan niat baiknya itu.
Kepulangannya ke Indonesia atas kesadaran sendiri pun merupakan sikap jantan dan dianggap istimewa. Bahkan saking istimewanya kepulangan sang pengutang ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Kepala Polri Jenderal Sutanto pun turut memberikan apresiasi dan jaminan perlindungan hukum terhadap semua haknya.
Namun, bagi saya, seharusnya kita tak boleh larut dalam penampilan yang menunjukkan kesan sikap baik seperti itu. Soalnya, bagaimanapun Atang Latief adalah orang yang memanfaatkan uang negara untuk keuntungan pribadi dan menghindari kewajiban asasinya selama bertahun-tahun. Memang, kita harus menunggu proses-proses hukum yang akan berlangsung guna menangani seorang Latief Atang. Namun, bagaimanapun perlakuan terhadap dia sudah menunjukkan kepada publik bangsa ini akan begitu disayanginya seseorang yang melakukan pelanggaran hukum dan merugikan keuangan negara.
Di sinilah muncul keanehan, yang kemudian bisa memunculkan berbagai spekulasi tentang hubungan personal antara Atang Latief dan para pejabat. Terutama mereka yang berada di jajaran kepolisian yang khusus menangani kasus ini.
Tidak mustahil pula, sebelum kepulangan sang buron itu ke Tanah Air, sudah berlangsung hubungan personal dengan pihak berwajib, baik melalui pertemuan langsung maupun saluran telepon. Proses-proses itulah yang kemudian meyakinkan melalui pernyataan jaminan keamanan dan bayangan proses hukum yang lunak yang akan berlangsung dalam menangani kasusnya setibanya di Jakarta. Tepatnya, pihak yang berwajib kemungkinan besar telah terlebih dulu melakukan persuasi terhadap Atang Latief, suatu proses negosiasi yang tak muncul ke permukaan.
Pertanyaannya, apakah semua orang yang memiliki masalah yang sama seperti Atang Latief, termasuk di dalamnya para koruptor yang melarikan diri, akan mengalami perlakuan yang sama? Boleh jadi jawabnya ya, dan memang kenyataannya cenderung seperti itu.
Buktinya? Tengok saja mereka, kalangan pengusaha kakap yang memiliki kredit macet, termasuk pemilik bank swasta yang dinyatakan pailit. Mereka masih saja dengan lebih leluasa menikmati harta mereka yang diambil dari uang negara melalui bank-bank itu.
Dari sekian banyak nama penunggak kredit di Bank Mandiri yang belum lama ini diekspos di media massa, misalnya, belum ada satu pun yang diproses secara hukum. Bahkan ada kecenderungan untuk didiamkan, dan kelemahan publik bangsa kita yang seolah-olah pelupa dan pemaaf dimanfaatkan. Maklum, mereka yang berutang itu adalah para pengusaha kaya, termasuk di dalamnya politikus, yang sudah pasti memiliki kedekatan atau berpeluang melakukan pendekatan dengan pihak pemegang otoritas. Dengan demikian, kasusnya bisa diendapkan dan dibiarkan larut bersama arus massa yang terus berlalu dengan timbul-tenggelamnya kasus-kasus baru yang menyusul.
Fenomena ketidakadilan dan ketidaktransparanan dalam penanganan sejumlah kasus yang merugikan uang negara memang selalu tampak di hadapan kita belakangan ini. Kalau saja, misalnya, pelaku ini bukan orang seperti Atang Latief, atau kalau yang terkena adalah orang yang lemah dari segi finansial, dengan status sosial yang rendah, dan tak memiliki hubungan personal dengan para pejabat penegak hukum, saya bisa memastikan nasib dan ceritanya akan lain. Mungkin, saat ketemu dengan aparat berwajib, seperti halnya yang kerap dialami oleh pencopet jalanan atau maling ayam, sudah akan langsung diborgol oleh aparat kepolisian. Mereka akan langsung ditahan bahkan mungkin akan babak-belur dalam tahanan sebagai sambutan seperti lazimnya para penghuni baru dalam suatu sel tahanan atau penjara.
Namun, sekali lagi, karena yang menjadi subyeknya adalah figur-figur yang dikenal sebagai orang kaya yang dalam banyak hal dianggap bisa diuangkan, selamatlah ia dari ancaman fisik para oknum.
Kecenderungan seperti ini memang sangat menyedihkan. Soalnya, sadar atau tidak sadar, diakui atau tidak, bangsa ini dikelola dengan melibatkan dan membiarkan orang-orang bermasalah, orang-orang yang hanya mengeruk uang negara (bagian dari rakyat) untuk kepentingan pribadinya. Hanya, mereka terus saja ditoleransi, dibiarkan berkeliaran, lalu dimaafkan, bahkan diapresiasi. Aneh memang. Namun, apa boleh buat, begitulah yang terjadi. Para penyelenggara negara kita, setidaknya pada tingkat oknum, harus diakui berperan besar dalam melanggengkan kondisi dan kecenderungan seperti itu. Akibatnya, para pelakunya pun tetap berjaya dan tak pernah dibuat jera. Tepatnya, para pelaku pengeruk uang negara kelas kakap secara tak bertanggung jawab itu cenderung dilindungi.
Saya khawatir, suatu saat mereka justru akan diberi penghargaan oleh pemerintah karena dianggap telah berjasa mengembalikan sebagian uang negara yang telah dikeruknya itu. Pembiaran terhadap pengeruk uang negara seperti itu jelas bukan saja dialami Atang Latief dan geng pengusaha yang memiliki kredit macet, melainkan juga para penyelenggara negara mulai tingkat nasional hingga di daerah-daerah.
Indikasinya begitu nyata dengan sejumlah harta kekayaan yang mereka miliki. Kalau dihitung dengan total gaji berikut tunjangan yang mereka peroleh selama ini, pastilah akan jauh melampauinya. Ini menunjukkan bahwa ada keanehan yang cukup signifikan menyangkut harta milik mereka itu. Namun, semua itu sama sekali tak dipersoalkan oleh para pejabat di atasnya. Para penegak hukum juga tak pernah mempertanyakan dari mana sumber hartanya dan mengapa nilainya jauh melampaui batas kewajaran gaji yang secara total diperoleh selama ini.
Sudah pasti di antara para pejabat atau penyelenggara negara itu adalah mereka yang sudah terindikasi korupsi dengan dukungan data berikut analisis yang cukup meyakinkan. Laporan-laporannya pun sebagian sudah berada di tangan para penyidik (kejaksaan, kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi, bahkan saya percaya sudah ada juga sebagian yang sampai di meja Timtastipikor).
Namun, sangat disayangkan jarang sekali yang ditangani dengan segera, bahkan umumnya cenderung didiamkan. Maklum, semua kasus korupsi bisa dengan mudah diuangkan oleh oknum-oknum tertentu, sebagai lahan garapan yang akan semakin subur, tak akan pernah kering dan tandus. Dalam proses-proses itu pulalah para pejabat penyidik memperoleh peluang untuk memperkaya diri melalui proses mendiamkan kasusnya dengan nilai tukar materi yang sangat meyakinkan.
Perlu dicatat para penyidik itu adalah aparat instansi vertikal yang kerap hanya datang bertugas sementara waktu. Selanjutnya, mereka menunggu giliran mutasi untuk digantikan pejabat penyidik lain. Mereka pun berposisi sebagai penentu yang sulit dikontrol, sehingga dengan seenaknya mengendapkan suatu kasus, atau bahkan menghentikan proses penyidikan dengan berbagai argumen yang dibuat-buat untuk kepentingan saling menyelamatkan.
Parahnya lagi, atasan mereka di Jakarta, seperti Kepala Polri dan Jaksa Agung, sering tak mau ambil pusing dengan berbagai kasus yang terjadi di daerah itu sehingga semakin amanlah oknum pejabat yang korup itu. Padahal hanya para pejabat di atasnya itulah yang bisa memberi sanksi terhadap aparat di bawahnya karena kontrol dari masyarakat akan selalu tak mampu mengefektifkan kontrolnya, baik terhadap pejabat yang korup maupun oknum penyidik konspiratornya.
Semua uraian di atas menunjukkan bahwa kita sebenarnya tengah dan berada dalam negara yang pemerintahannya terus membiarkan para pengeruk uang negara bebas berkeliaran. Bahkan mereka diberi penghargaan untuk terus terlibat dalam pengelolaan negara ini. Kondisi seperti ini sungguh tak sehat dan pada tingkat tertentu memuakkan. Sekarang kita hanya tinggal berharap kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, semoga tidak membiarkan negeri ini digerogoti dan dikeruk oleh para pengusaha dan pejabat yang hanya mementingkan pribadi dan kelompoknya. Kita juga berharap agar Yudhoyono tak terus membiarkan mereka bebas berkeliaran menikmati harta yang dirampas dari uang negara.
La Ode Ida, Sosiolog Dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI
Tulisan ini disalin dari Koran tempo, 1 Februari 2006