Menghukum Pengemplang Pajak
Wacana agar pelaku pelanggaran pajak diusut secara hukum karena telah menimbulkan kerugian negara dan ketidakadilan dalam masyarakat perlu disambut dengan baik. Tidak kurang, hal ini mendapat perhatian dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam konteks lebih luas, harapan Presiden perlu diletakkan secara proporsional.
Semenjak dilakukan reformasi pajak (tax reform) hampir tiga dasawarsa lalu, sektor pajak telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam penerimaan negara. Melalui berbagai kebijakan yang mengikuti reformasi pajak, diberlakukan sistem menghitung pajak sendiri (self assessment system) yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak, sampai dengan sunset policy, memperlihatkan bahwa pajak dan wajib pajak mempunyai peran yang menentukan. Negara harus bertindak sebagai bapak yang baik.
Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak tengah mengendus terjadinya penghindaran pajak (tax evation) oleh tiga perusahaan besar yang diduga merugikan negara triliunan rupiah.
Jika perusahaan itu ada indikasi pelanggaran hukum, pertanyaannya adalah, apakah jalur pidana satu-satunya cara untuk menyelesaikan kasus itu dengan baik? Persoalannya adalah ketentuan pidana di bidang perpajakan sebagaimana ditentukan dalam undang-undang merupakan ultimum remidium.
Oleh karena itu, harus diperhatikan bahwa penggunaan hukum pidana untuk mengusut pelanggaran harus dikembalikan kepada tujuan ditetapkannya undang-undang perpajakan serta fungsi sanksi pidana yang ditetapkan dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Pertimbangan itu disebabkan penggunaan ketentuan pidana dan upaya untuk membawa kasus itu ke ranah hukum pidana akan berdampak serius terhadap penerimaan pajak. Pelanggaran ketentuan pidana dalam undang-undang perpajakan tidak dapat disamakan begitu saja dengan pelanggaran undang-undang pada umumnya. Oleh karena itu, kehati-hatian perlu diutamakan jika proses hukum hendak dilakukan terhadap pelanggar pajak.
Bersifat subsider
Undang-Undang Pajak pada hakikatnya merupakan ketentuan hukum administrasi, yakni mengatur kewenangan negara untuk memungut pajak. Oleh karena itu, penggunaan sanksi pidana hanya bersifat pelengkap.
Dalam undang-undang perpajakan telah ditetapkan mekanisme yang tegas tentang upaya yang dapat ditempuh terhadap mereka yang ditengarai melakukan pelanggaran hukum. Ketentuan pidana perpajakan tunduk kepada tujuan ditetapkannya undang-undang perpajakan itu sendiri.
Kebijakan untuk menjatuhkan sanksi administratif berupa denda atau kenaikan harus lebih dahulu dikedepankan. Oleh karena itu, wajib pajak yang karena kelalaian ataupun kesengajaan menyebabkan terjadinya pelanggaran pajak tidak mutlak harus diusut secara pidana.
Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan penagihan pajak dengan surat paksa sampai kepada tindakan penyanderaan yang merupakan tindakan eksekutif, dapat ditempuh. Apa- bila mekanisme administratif ini telah dijalankan, prosedur pidana tidak diperlukan lagi atau dapat dikesampingkan.
Usaha untuk menghindarkan prosedur pidana disebabkan penghukuman terhadap wajib pajak tidak menyebabkan utang pajak menjadi hapus. Dengan demikian, jika wajib pajak dituntut secara pidana akan menimbulkan double jeopardy yang tidak adil. Kepada yang bersangkutan tetap diwajibkan untuk melunasi pajak yang terutang, kecuali utang pajaknya daluwarsa atau dihapuskan. Apabila cara ini terjadi tentu bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Terhadap pelanggar pajak, apa pun motifnya harus diusut secara hukum. Meskipun demikian, perlu diberi catatan bahwa penggunaan sarana hukum bukan dengan hukum pidana semata, tetapi penggunaan hukum administratif ataupun keperda- taan, seperti penjatuhan sanksi denda ataupun kenaikan dan bunga.
Cara demikian lebih aman karena penerimaan pajak akan tetap terjaga. Sementara, menggunakan jalur penal dapat menyebabkan penerimaan pajak akan tersendat, disebabkan prosedur yang cukup rumit.
Kerumitan itu telah dimulai ketika penyidik mencari alat bukti permulaan yang cukup untuk menduga seseorang melakukan tindak pidana perpajakan, yang secara yuridis tidak dapat disamakan begitu saja dengan pengusutan perkara pidana pada umumnya. Untuk itu, hubungan koordinasi antara penyidik pajak (PPNS) dan Polri harus dilakukan secara intensif.
Secara implisit hendak dikatakan bahwa pengusutan pelanggaran pajak dengan menggunakan sarana penal membutuhkan keahlian khusus dari aparatur hukum dengan segenap konsekuensinya. Di samping itu, tindakan hukum bukan ditujukan agar pelanggar pajak masuk penjara semata. Akan tetapi, hendaklah diusahakan agar keberlangsungan penerimaan pajak tetap terjaga.
Salah satu alternatif yang dapat ditempuh adalah melalui sarana nonpenal dengan mengefektifkan saluran administratif yang ditetapkan oleh undang-undang perpajakan. Menggunakan ketentuan pidana, apalagi Undang-Undang Korupsi, akan menimbulkan konstruksi hukum yang ganjil karena norma hukum yang digunakan adalah undang- undang pajak, sementara ketentuan mengenai sanksi digunakan Undang-Undang Korupsi.
Cara demikian secara yuridis tidak dapat dipertanggungjawabkan. Membawa kasus pelanggaran pajak ke jalur hukum adalah tindakan rasional. Akan tetapi, menghukum secara pidana pelanggar pajak perlu dilakukan secara proporsional.
M Ali Zai dan Pengamat Hukum, Anggota Komisi Kejaksaan RI
Tulisan ini disalin dari Kompas, 11 Februari 2010