Menghukum Perampok Demokrasi
Apakah kehidupan konstitusional dan demokrasi kita sekarang ini bertambah maju? Pertanyaan ini wajar muncul karena dalam faktanya memang terjadi dua penilaian yang kontradiktif.
Sebagian mengatakan kehidupan konstitusional dan demokrasi kita mengalami kemunduran, tapi ada juga yang mengatakan sebaliknya,mengalami kemajuan signifikan.
Yang mengatakan kehidupan konstitusional dan demokrasi mengalami kemunduran menunjuk pada fakta terjadinya liberalisasi dalam kehidupan demokrasi, sehingga demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy) sebagaimana diabadikan di dalam Pembukaan UUD 1945 diabaikan.
Bahkan ada yang mengatakan, demokrasi kita sekarang sudah kebablasan. Lihatlah, betapa korupsi semakin merajalela,penggarongan atas keuangan negara dilakukan langsung melalui urat nadi, yakni Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui,misalnya,percaloan dalam penyusunan anggaran,baik untuk pusat maupun daerah.
Pengambilan keputusan politik tidak lagi mengindahkan permusyawaratan atau kebersamaan, tapi berdasarkan menang- menangan atau, sebaliknya, kolusi di antara para elite dari lintas kekuatan politik. Hak-hak konstitusional rakyat dirampas melalui kongkalikong politik yang dibungkus dengan prosedur-prosedur demokrasi.
Karena itu, ada yang secara ekstrem mengatakan bahwa Reformasi dan amendemen konstitusi telah membawa bencana. Tetapi,pada sisi lain tidak sedikit yang mengatakan bahwa sesungguhnya demokrasi dan kehidupan konstitusional kita sudah mengalami kemajuan signifikan.
Sekarang ini mekanisme checks and balances berjalan baik. Sekurang-kurangnya berdasar pengaturan di dalam UUD 1945 hasil amendemen mekanisme saling mengawasi secara seimbang itu sudah diatur dengan begitu tegas.
Presiden SBY pernah mengatakan bahwa pascaamendemen konstitusi kekuasaan benar-benar terbagi ke dalam berbagai pusat kekuasaan, sehingga sekarang ini Presiden tidak bisa sembarang membuat keputusan. Berbagai kebijakan akan secara langsung dikontrol oleh lembaga-lembaga lain, misalnya oleh parpol melalui DPR.
Pers juga begitu bebas dan mudah membedah serta mengkritik kerja-kerja pemerintah maupun parlemen. Lembaga legislatif sekarang tidak bisa sembarang membuat undang-undang karena, atas permintaan masyarakat, sebuah undang-undang bisa dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Begitu pun lembaga yudikatif, selain ditentukan kewenangannya secara jelas dengan jaminan independensi (kemerdekaan) kekuasaan kehakiman telah diimbangi juga dengan adanya Komisi Yudisial yang bertugas melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim. Pers dan LSM juga mengawasi lembaga yudikatif secara ketat.
Rasanya kita memang sulit untuk secara kategoris mengatakan bahwa kehidupan konstitusional dan demokrasi kita semakin maju atau sebaliknya, semakin mundur. Dua sisi pandang yang kontradiktif itu mempunyai argumen dan bukti- buktinya sendiri.
Tetapi, satu hal yang pasti, berdasar bukti dari lapangan, kita mempunyai potensi besar untuk menegakkan konstitusi dan mengawal demokrasi.Bahkan tidak sedikit yang mengatakan bahwa Indonesia berhasil menggeser secara cepat otoriterisme yang begitu kental pada era Orde Baru menjadi demokratis pasca-Reformasi.
Banyak yang mengacungi jempol atas keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilu yang bukan hanya aman, melainkan juga jauh lebih terkontrol dan mengundang partisipasi yang besar.
Dulu banyak yang khawatir bahwa “pemilu bebas”yang diselenggarakan di Indonesia pada era Reformasi akan menimbulkan chaos atau kekacauan, tetapi kekhawatiran itu tak terbukti karena ternyata pemilu berjalan lancar, tanpa kekerasan yang berarti,dan hasilnya dapat diterima.
Ternyata rakyat Indonesia sudah sangat siap dan cukup matang untuk berdemokrasi. Lebih dari itu, pelaksanaan dan hasil pemilu sekarang ini bisa diperkarakan dan dibatalkan oleh pengadilan. Pada zaman Orde Baru tak ada yang bisa dipersoalkan dari hasil pemilu, bahkan dari hasil rekayasa yang kasatmata sekalipun.
Pada zaman Orde Baru semua proses dan hasil pemilu yang diselenggarakan lembaga pemilihan umum harus diterima dan ditelan mentah-mentah,tidak ada yang dapat mempersoalkannya. Tetapi, sekarang banyak hasil pemilu yang diperkarakan ke pengadilan dan pengadilan dapat mengubah keputusan Komisi Pemilihan Umum tentang hasil pemilu.
Untuk Pemilu Legislatif 2009 misalnya, lebih dari 70 kursi untuk parpol yang sudah diumumkan secara resmi oleh KPU dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi. Ada ratusan kasus pelanggaran pidana pemilu yang benar-benar diproses hukum dan pelakunya dijatuhi hukuman pidana.
Dari sekian banyak kemajuan pembangunan demokrasi dan penegakan konstitusi, sudah pasti bahwa implementasi demokrasi melalui pemilu sudah jauh lebih maju jika dibandingkan dengan pemilupemilu zaman Orde Baru. Pelaksanaan pemilu inilah yang secara nyata dapat kita banggakan dan diakui oleh dunia luar sebagai bagian dari kemajuan demokrasi dan penegakan konstitusi di Indonesia.
Karena itu,sambil terus berusaha memperbaiki kualitas pemilu, setiap pelanggaran dalam proses dan hasil pemilu harus dijatuhi hukuman yang dapat membuat siapa pun takut melakukannya lagi.Penipuan terhadap hasil pemilu harus dilihat sebagai pencideraan terhadap konstitusi dan perampokan terhadap demokrasi yang mengancam masa depan Indonesia.
Di tengah-tengah begitu sulitnya kita memberantas korupsi, satu bidang yang menjadi titik paling lemah dalam Reformasi yang kita lakukan,kita harus mantap bertindak untuk menghukum siapa pun yang merampok demokrasi melalui penukangan terhadap proses dan hasil pemilu. Kita tidak boleh main-main dalam soal yang sebenarnya mudah ini.
MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo, 13 Agustus 2011