Menguak Fakta Pencairan Cek Perjalanan

 Bola liar yang digulirkan oleh Agus Condro disambut oleh PPATK dengan merelase adanya transaksi traveler’s cheque ke anggota DPR. Di indikasikan pemberian cheque merupakan upaya memuluskan kandidat Gubernur Senior Bank Indonesia periode 1999-2004.

Bagaimana sebenarnya menelusuri jejak transaksi cek perjalanan seperti analisis yang dilakukan PPATK. Antikorupsi.Org berusaha menggalinya dari seorang Akuntan Register Negara yang telah mendapat Certified Fraud Examiner yaitu Leonardus J.E. Nugroho,CFE. Berikut ini penjelasannya.

Dari kasus pemberian cek perjalanan kepada anggota DPR dalam kaitan  pemilihan Deputi Gubernur Senior di BI, yang harus kita lihat pertama, ada fakta pengakuan dari Agus Condro. Kedua, ada petunjuk catatan keuangan dari PPATK sekitar 400 traveler cek yang dicairkan oleh 41 orang anggota DPR. Ketiga, ada pengakuan dari politisi kalo tidak salah Pak Hakam Naja yang ditawari tetapi menolak. Itu artinya, ada tiga hal yang bisa dijadikan bahan masukan oleh KPK sebagai data awal. Kalau bahasa investigasinya predication atau predikasi.

Nah dari situ kemudian muncul banyak pertanyaan diantaranya ; Jika berbicara mengenai cek perjalanan lantas jejak apa yang bisa ditelusuri? Langkah apa yang seharusnya ditempuh oleh penegak hukum KPK sehingga dapat menemukan alat bukti yang cukup? apakah cek perjalanan sebagai dokumen perbankan memiliki kekuatan hukum yang valid, kuat dan tak terbantahkan sehingga KPK tidak perlu menunggu lebih lama untuk memulai penyelidikan kasus ini?

Untuk menjawab empat pertanyaan tadi secara jelas bahwa kita baca kita tahu kewenangan KPK itu sangat luar biasa. PPATK sendiri  juga sudah menyatakan kalau KPK mau gampang kok, di sana banyak ahlinya. Memang betul KPK banyak ahlinya tapi tidak sesederhana itu, KPK memang harus ketat betul, apa saja yang sudah ditemukan  dan apa yang belum itu dikumpulkan. Saat ini, secara lisan saya dengar KPK baru sebatas melakukan penyelidikan belum sampe tahap penyidikan.

Ok, kita mulai dari persoalan traveler’s cheque.  Cek perjalanan prinsipnya merupakan alat pembayaran yang umum digunakan dan sah diakui. Cuma ada kelebihannya kalau kita mencaikan check di Bank maka akan dicatat  nomornya, yang ngeluarin Bank mana, nomor serinya berapa, yang tanda tangan siapa yang narik siapa dan pasti KTP pun diminta

Sekarang itu mudah karena kita punya system perbankan sudah cukup baik. Ada prinsip pengenalan nasabah Know Your Customer Principle. Bank-bank harus melaporkan  kegiatan yang mencurigakan ke BI, bank-bank juga harus menyalurkan laporan yang mecurigakan ke PPATK. Semua transaksi dicatat apapun bentuknya itu harus dilaporkan. Ini mudah karena setahu kita cek ini cek domestic ceknya local. Kecuali cek dari luar negeri repot ceknya local ini bisa dicari nanti.

Nah, dengan system yang ada penyidik dengan kewenangan yang dimiliki akan mudah memperoleh siapa pembeli yang pertama kali, membeli cek dengan no seri tertentu dan siapa yang mencairkan cek dengan no seri yang sama. Dari situ akan terlihat hubungan antara orang pertama yang membeli check, dengan orang yang mencairkan di bank. apakah hubungan dagang, bisnis, apakah memang beli membeli. Tidak menutup kemungkinan cek yang dibelikan kepada Agus Condro dan koleganya bukan dari kantong pembeli (Miranda) tetapi bisa saja dari sponsor lain.

Bisa saja kan  setelah diperiksa cek itu yang beli ternyata bukan Miranda. Kalau pun miranda yang membeli, patut dipertanyakan duitnya dari mana. Duit dia apa bukan, dihubungkan dengan gaya hidup , gaya belanja, imbang ga dengan penghasilannya. Kalau ga dari mana duitnya kan harus dijelasin. Nah kalau memang ini terbukti ada sponsor akan terkuak adanya conflict of interest.

Terus bagaimana kalau duitnya dicairin semua, mungkin ga diproses. Jika sudah dicairkan justru akan memudahkan penyidik. Jika belum dicairkan malah kita semua ga tahu sebenarnya jumlah check 400, 600 atau mungkin 1000 lembar. Kalo belum dicairkan berarti masih off book sulit diketahui siapa saja yang menerima. Tetapi jika sudah masuk system pencatatan Bank akan sangat mudah sekali.

Saya coba mengutip hasil survey sebuah lembaga di Amerika yang menyimpulkan bahwa biasanya hanya orang yang kurang berpendidikan yang segera membelanjakan uang haram yang diterimanya tanpa melalui proses konversi pada saat menempatkan harta. Jadi kita beruntung kenapa karena di indonesia banyak orang yang  secara akademis bersekolah tapi tidak berpendidikan. 

Publik tidak perlu khawatir bukti secara fisik hilang karena meskipun hilang dengan system perbankan tetap akan ditemui. Apalagi, Pasal 26 A huruf a UU pemberantasan korupsi memungkinkan KPK menggunakan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan  itu. Selain itu, yang dimaksud dengan dokumen tidak harus traveler’s cheque tapi adalah setiap rekaman data dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan denngan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas  maupun terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Jadi meskipun traveler’s cheque itu sudah ga ada tapi di bank pasti terecord catatan keuangannya di dalam system. Sekarang paper load nih, kita setor kita transfer cukup pakai HP Phonebanking disana dicatat pembicaraan kita. Bukti sudah diperluas UU sudah memberikan tempat bermain buat KPK sehingga lebih leluasa. Cuma kalau ditanya kenapa kesannya KPK lambat saya ga tahu karena saya ga di KPK.

Ada beberapa alternatif lain bagi KPK untuk segera menyelesaikan kasus ini yaitu KPK bisa minta kepada unit khusus investigasi Perbankan, karena di Peraturan BI No. 3/10/PBI/2001 tentang Prinsip Pengenalan Nasabah BI mewajibkan kepada semua bank untuk menyampaikan laporan transaksi yang mencurigakan kepada satuan atau unit khusus investigasi Perbankan. Aturan ini ada di UU PBI mulai tahun 2001 sebelum PPATK ada. Jadi kalau mau KPK bisa minta Kepala Unit Bank di BI, Cuma yang jadi masalah berani ga dikeluarin karena Miranda Bosnya.

Yang kedua ke PPATK, PPATK kemarin sudah dikeluarkan sudah dirilis. Cuma data yang dipunya oleh PPATK itu hanya bisa digunakan pada proses penyidikan. Penyidik kalau menurut UU Pencucian Uang itu bisa mengabaikan prinsip rahasia bank kalau memang kasusnya sudah masuk dan terkait kasus pencucian uang. Tapi meskipun ketentuan ini hanya mengatur kegiatan pencucian uang tetap masih dimungkinkan ditempuh KPK karena salah satu poin pencucian uang adalah hasil dari korupsi itu di pasal 2.

Jika tindak pidana korupsinya tidak ada diharapkan Polisi, Kejaksaan dan instansi penegak hukum di luar KPK segera menyiapkan tim untuk membuktikan pencucian uang. Uang darimana, dipakai apa disimpannya dimana. Kepolisian dapat mengembangkan kasus lain yang menyangkut tindak pidana pencucian uang apabila uang hasil korupsi gagal dilacak dan disita oleh Negara melalui KPK.

Nah sekarang orang harus berani meneriakan KPK karena kalau bukan kita siapa yang mengawasi KPK. Kita maklumi bahwa KPK punya strategi, KPK punya kebijakan, KPK punya prioritas. Tetapi jangan terbuai dengan statement itu. Bisa saja memang dimainkan. Jadi kita tahu kalau teman-teman yang didalam itu pada main kita ingetin lagi. Itu saja yang saya bisa sampaikan, terimakasih. (Sugiyanti/Agus)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan