Menguak praktik bisnis di lahan ujian nasional

Rupanya Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) lebih senang membuat masalah dibandingkan menyelesaikannya. Ujian nasional (UN) yang selalu menjadi kontroversi dan ditentang setiap tahunnya malah terus dipertahankan. Sementara berbagai persoalan pendidikan yang akut seperti bobroknya gedung sekolah atau buruknya kualitas guru tak kunjung bisa diperbaiki.

Ditinjau dari berbagai aspek, ujian nasional dinilai bermasalah. Selain bertolak belakang dengan semangat otonomi sekolah, secara yuridis dianggap bertentangan dengan undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas).

Demikian pulan dari sisi pedagogis telah mengambil alih hak guru, sisi psikologis menimbulkan tekanan bagi murid, serta dari sudut ekonomi merupakan pemborosan anggaran.

Ujian nasional menggambarkan bahwa pemerintah tidak mau bersusah payah memperbaiki mutu pendidikan nasional. Logika yang digunakan terbalik, seolah-olah buruknya mutu pendidikan disebabkan guru dan murid tidak mau menjalankan proses belajar-mengajar dengan sungguh-sungguh. Karenanya dilakukan sentralisasi standar kelulusan dengan mematok nilai minimal lulus bagi murid di seluruh Indonesia. Sedangkan standardisasi pelayanan yang menjadi kewajiban pemerintah dan sangat memengaruhi mutu lulusan tidak diperhatikan.

Pelayanan buruk
Apabila bisa dikuantitatifkan, pelayanan pendidikan berada di bawah patokan standar kelulusan. Simak saja laporan dari Pusat Data dan Infomasi Pendidikan dan Balitbang Depdiknas mengenai guru pada tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA).

Pada tahun ajaran 2002/2003, dari total guru SMP sebanyak 466.748 orang, 35, 9% atau 167.643 orang tidak layak mengajar. Pada tingkat SMA, dari 230.114 orang, 75.684 orang tidak layak mengajar. Lebih parah pada tingkat SD, dari total guru sebanyak 1.234.927, hampir setengahnya atau sekitar 609.217 tidak layak mengajar.

Bagaimana bisa mengharapkan lulusan akan bermutu apabila pelayanan yang menjadi prasyarat awal masih buruk? Secara logika, apabila menginginkan lulusan pendidikan memiliki standar tinggi, standar pelayanannya terlebih dahulu mesti diperbaiki.

Guru ditingkatkan kualitasnya, tempat belajar-mengajar dibuat nyaman, serta fasilitas seperti buku pelajaran dan alat peraga dilengkapi.

Menarik untuk melihat ujian nasional dari sisi ekonomi karena bisa jadi memiliki benang merah dengan sikap ngotot pemerintah. Penyelenggaraan UN dalam praktiknya telah menyedot banyak anggaran baik dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Belum lagi dana dari masyarakat terutama orang tua peserta UN.

Meskipun setiap tahun DPR membuat pernyataan politis tidak menyediakan anggaran, tapi nyatanya Departemen Pendidikan selalu bisa menyiasatinya.

Untuk UN pada 2004, misalnya, dari APBN berhasil disediakan dana sekitar Rp259,72 miliar, begitupun pada 2005 dana yang digunakan sekitar Rp249,95 miliar, serta 2006 direncanakan berjumlah Rp255 miliar.

Tidak hanya itu, atas argumentasi supaya peserta UN tidak dibebankan lagi biaya, pemerintah daerah pun diberi kewajiban menyediakan anggaran tambahan untuk menutup kekurangan dana dari pusat.

Pada 2006, misalnya, Pemerintah Kota Denpasar menyediakan anggaran untuk UN sebesar Rp1,9 miliar. Apabila dirata-ratakan dari total 400 kabupaten/kota di Indonesia menyediakan anggaran minimal Rp1 miliar sebagai dana tambahan UN, setidaknya dana yang dikeluarkan paling sedikit mencapai Rp400 miliar.

Cenderung tertutup
Dana untuk menyelenggarakan UN tidak sedikit, tetapi dalam pengelolaannya pemerintah pusat maupun daerah cenderung tertutup. Pada 2006 saja total yang akan diambil dari APBN sebesar Rp255 miliar, tapi pemerintah hanya menyebutkan rencana pengalokasian.

Demikian pula dana sebesar Rp238 miliar yang diberikan ke daerah untuk mencetak soal dan distribusi pelaksanaan UN, Rp10 miliar bagi pemerintah pusat untuk mencetak hasil UN dan ijazah, serta Rp7 miliar pemantau independen. Tidak dijelaskan bagaimana dana tersebut digunakan, misalnya siapa yang mencetak soal dan ijazah, padahal nilainya mencapai Rp10 miliar karenanya mesti melewati prosedur tender.

Pada sisi lain, walaupun pemerintah menyatakan biaya UN tidak akan dibebankan kepada peserta didik, kenyataan di sekolah tidak demikian. Pungutan malah telah berlangsung jauh sebelum UN dilaksanakan. Tidak sedikit sekolah yang mewajibkan murid kelas tiga menabung sejak semester awal, sehingga ketika UN dilaksanakan tidak perlu lagi melakukan pungutan.

Berbagai dalih dibuat oleh sekolah agar bisa tetap memungut dana dari orang tua murid, mulai dari les untuk pemantapan mata pelajaran hingga try out menjawab soal-soal tahun sebelumnya atau yang diprediksi akan keluar pada saat ujian.

Pada tahun ajaran 2005/2006, untuk tingkat SMA rata-rata biaya UN yang dikeluarkan orang tua murid bisa mencapai antara Rp150.000 dan Rp300.000. Belajar dari keterlambatan turunnya dana pada tahun sebelumnya dan masih alotnya perdebatan soal penganggaran UN antara Depdiknas dengan DPR, bisa dipastikan walau tidak secara terbuka, sekolah telah mengantisipasi dengan menarik dana dari orang tua murid.

Selain itu, untuk memastikan anaknya lulus UN, umumnya orang tua murid yang memiliki kemampuan finansial memberi tambahan ekstra belajar bagi anaknya. Jalur yang ditempuh bisa melalui jasa lembaga bimbingan belajar maupun les privat.

Apalagi menjelang UN, cukup banyak lembaga bimbingan belajar yang aktif berpromosi ke sekolah dan ada di antaranya yang melakukan kerja sama secara langsung. Walaupun waktunya singkat, biaya yang dikeluarkan umumnya jauh lebih besar dibandingkan biaya sekolah.

Pada 2006, jumlah peserta UN diperkirakan mencapai lima juta orang. Sudah pasti akan banyak orang yang tergoda untuk ikut mengambil keuntungan dari lahan tersebut. Karenanya tidak terlalu mengherankan apabila banyak pula yang berkepentingan untuk tetap mempertahankan UN.

Oleh Ade Irawan, Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik ICW/ Sekretaris Koalisi Pendidikan

Tulisan ini disalin dari Bisnis Indonesia, 26 Juni 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan