Menguak Tabir Kebijakan Buku Sekolah

buku pelajaran

Pendidikan merupakan hak dasar masyarakat yang wajib dipenuhi oleh negara. Tanggung jawab tersebut telah ditegaskan dalam UUD 1945, UU 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional serta berbagai peraturan pendukung lainnya.

Pada prakteknya peraturan perundang-undangan tersebut menjadi tak bermakna karena pemerintah tak serius merealisasikannya. Hal ini setidaknya terlihat  dari pelanggaran pemeritah untuk melaksanakan komitmen anggaran pendidikan 20% dari APBN/APBD meski telah diperkuat oleh putusan Mahkamah Konstitusi.

Komitmen terhadap pendidikan seringkali hanya sebagai komoditas politik sehingga berbagai program pemerintah pun semakin tidak jelas. Salah satu contoh nyata yaitu tentang program wajib belajar. Pencapaian program ini terjebak pada akrobatik data statistik seolah-olah keberhasilan pemerintah tanpa memperhitungkan masyarakat yang ikut menanggung biaya pendidikan.

Bahkan kebutuhan elementer seperti buku pelajaran untuk mendukung program wajib belajar juga tidak dipenuhi pemerintah. Akhirnya terjadi komersialisasi buku pelajaran, dimana banyak pihak seperti penerbit, dinas pendidikan, kepala daerah bahkan politisi mengambil keuntungan dari bisnis ini.  

Menurut catatan Bank Dunia indikasi penyimpangan dalam proyek pengadaan buku diperkirakan mencapai USS 43 juta. Bayangkan, berapa total nilai proyek dalam pengadaan buku jika nilai penyimpangannya saja sudah mencapai angka tersebut.

Pasang surut kebijakan buku

Penuntasan wajib belajar mutlak membutuhkan ketersediaan buku pelajaran yang berkualitas. Kenyataannya, pemerintah sendiri tak mampu melaksanakan tanggungjawabnya. Setidaknya hal tersebut bisa terlihat dari dari kebijakan perbukuan termasuk dukungan pembiayaannya.   

Selama ini kebijakan buku pelajaran sangat dipengaruhi oleh dimensi politik dan ekonomi. Pada era orde baru, pemenuhan buku pelajaran ditanggung pemerintah dan berlaku turun temurun, namun hal itu dilakukan karena adanya kepentingan hegemoni dan indoktrinasi pemerintah terhadap masyarakat. Pengadaan buku pelajaran menjadi hak monopoli pemerintah bekerjasama dengan Balai Pustaka.

Tabel. Kebijakan Perbukuan di Indonesia

Periode

Pengelolaan

Dasar Hukum

Isi Buku

Pengadaan/Distribusi

 

> 1990

Ditentukan Pemerintah

PN. Balai Pustaka

 

1993 – 1999

Depdiknas (Proyek Bank Dunia)

Penerbit yang lolos seleksi

 

1999 – 2005

Pusbuk

Penerbit yang bukunya dinilai layak

-

2005 <

BSNP

Penerbit yang bukunya dinilai layak

Permen 02/2008

PP 19/2005

Pola pengelolaan buku berganti memasuki tahun 90-an, monopoli Balai Pustaka dihapus dan tata niaga buku diserahkan kepada mekanisme pasar untuk mendorong adanya kompetisi yang adil bagi para penerbit melalui tender. Sumber pendanaan dilakukan pemerintah melalui utang kepada Bank Dunia.

Model kebijakan yang berjalan hingga awal otonomi daerah terjadi di indonesia sangat berdampak pada beban biaya yang ditanggung orang tua siswa, karena buku pelajaran sering berganti dan tidak bisa digunakan secara turun temurun.

Pada era ini berbagai masalah penyimpangan mulai banyak terjadi, mulai dari praktek penyuapan penerbit kepada pemerintah, pembelian kertas yang diarahkan kepada perusahaan tertentu hingga maraknya jual beli buku di sekolah.

Belakangan ketika informasi tentang berbagai penyimpangan semakin menjadi konsumsi publik, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri No 11 Tahun 2005 tentang larangan praktek jual beli buku di sekolah sekaligus menetapkan buku berstandarisasi nasional yang dapat berlaku selama lima tahun.  

Untuk mendukung regulasi tersebut, pemerintah  mengeluarkan kebijakan BOS khusus buku dengan pendanaan sebesar 900 miliar. Dana ini akan digunakan untuk pembelian buku yang dibagikan secara gratis kepada sekitar 40 juta siswa dengan asumsi nilai buku sebesar Rp. 22.000,00/ siswa

Sayangnya, ketika kebijakan ini belum maksimal dilaksanakan, terjadi krisis minyak yang menyebabkan harga minyak dunia melambung tinggi. Pemerintah yang panik akibat terkena dampak krisis kemudian melakukan pengetatan APBN, semua anggaran departemen termasuk Depdiknas dikurangi. Kondisi inilah yang diperkirakan menjadi asal muasal lahirnya kebijakan buku elektronik, indikasinya jelas subsidi BOS buku berkurang dari Rp. 22.000,-/siswa menjadi Rp. 11.000,/ siswa.

Seperti diketahui, Pemerintah baru saja mengeluarkan Permendiknas No.2 Tahun 2008 tentang buku. Melalui permendiknas ini, Depdiknas akan membeli hak cipta dari penulis dan distribusinya berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Depdiknas. Setidaknya Depdiknas mengalokasikan dana sebesar 20 miliar untuk pembelian hak cipta sebanyak 295 jilid buku.

Kebijakan buku sekolah elektronik (BSE) ini bisa dikatakan sebagai langkah mundur karena mengarah pada privatisasi pendidikan. Satu sisi, Penggunaan jaringan internet agar masyarakat dapat mengunduh secara gratis merupakan langkah maju. Tetapi disisi lain pemerintah tidak menyiapkan kapasitas sumber daya manusia maupun infrastruktur jaringan internet diseluruh indonesia.

Berdasarkan hasil investigasi Kelompok Independen Untuk Advokasi Buku (Kitab) di beberapa wilayah seperti Jakarta, Bekasi dan Depok menemukan jika banyak kepala sekolah yang belum paham tentang buku elektonik. Bahkan Fitri Sunarto berani menjamin kalau sampai saat ini belum ada satu pun sekolah dasar yang menggunakan buku sekolah elektronik.

Artinya BSE sepertinya hanya merupakan pensiasatan pemerintah untuk melepaskan tanggungjawab pendanaan disektor perbukuan. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena pendidikan akan semakin sulit dijangkau oleh semua lapisan masyarakat dan tentunya kontraproduktif dengan kebijakan penuntasan wajib belajar tahun 2009. (Norman Senjaya, Tim Redaksi)

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan