Menguji Partai Demokrat
MENCUATNYA kasus dugaan suap dalam pembangunan wisma atlet SEA Games 2011 di Palembang yang menyeret mantan Sesmenpora Wafid Muharam, memuat beban politik tidak ringan bagi Partai Demokrat.
Selain kementerian itu dipimpin Andi Alifian Mallarangeng yang juga sekretaris dewan pembina partai tersebut, dugaan suap juga menyebut keterlibatan nama bendahara umum partai yang sama, Mohammad Nazaruddin dan wasekjen Angelina Sondakh.
Sejauh ini, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga ketua dewan pembina partai tersebut telah menegaskan sikapnya tak akan melakukan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Katanya, hukum tak mengenal diskriminasi, termasuk seandainya menyangkut kader partainya. Dia berjanji tidak akan melindungi siapa yang bersalah. Sikap politik itu patut diapresiasi namun tidak cukup karena harus segera dibuktikan.
Mengacu pada pernyataan SBY, setidaknya ada tiga hal yang harus dikerjakan oleh partai pimpinan Anas Urbaningrum ini. Pertama; Demokrat harus mendorong kader-kader yang disebut terlibat untuk bersikap jujur. Kader perlu menegakkan etika politik dengan kebenaran dan kejujuran sebagai basisnya. Di sini, ketegasan sikap partai juga diarahkan kepada kader lain untuk tidak membantu menutupi. Ketertutupan dan ketidakjujuran hanya menambah beban partai, karena citra mereka akan merosot di mata publik.
Kedua; Demokrat perlu menegaskan sikapnya atas dukungan kepada KPK untuk menyelidiki kasus ini. Artinya, dugaan kasus itu harus diusut tuntas demi mendapat kepastian hukum apakah kader-kader partai tersebut terlibat atau tidak.
Dengan begitu sangkaan politik bahwa kader Demokrat yang diduga korupsi tidak hanya menjadi sekedar rumor dengan segala macam asumsi politik di baliknya. Hal ini sebagai konfirmasi atas dukungan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat pada KPK.
Sanksi Tegas
Selama ini ada anggapan, dalam menangani kasus itu KPK belum banyak beranjak. Bahwa terhadap kader Demokrat, KPK tidak berani atau tidak leluasa menyentuh. Untuk itu, bagi Demokrat anggapan seperti itu harus dikubur.
Dengan kata lain, Demokrat bukanlah partai yang kebal hukum dengan melindungi koruptor. Jika KPK defense maka inisiatif harus muncul dari Demokrat, karena itu sikap dukungan terhadap KPK tidak boleh setengah hati.
Ketiga; jika penyelidikan KPK terbukti menyatakan bahwa Nazaruddin, Sondakh, dan juga kemungkinan politikus lain partai itu terlibat maka tidak ada jalan lain kecuali memberi sanksi tegas, bisa berupa penonaktifan, untuk memberi efek jera. Pemberian sanksi juga menjadi momentum konsolidasi internal partai yang secara politik sedang mengalami sorotan moral oleh publik.
Tanpa ketegasan menerapkan langkah-langkah itu, hanya akan menguatkan sangkaan publik bahwa sebagai partai penguasa, Demokrat dekat dengan penyalahgunaan kekuasaan. Artinya, kekuasaan telah digunakan sebagai instrumen mendapatkan keuntungan material finansial.
Kekuasaan dijadikan pintu yang membuka peluang korupsi. Praktik tersebut meneguhkan yang dikatakan Lord Action (1834-1902), ‘’power tend to corrupt, and absolute power corrupt absolutely’’, kekuasaan cenderung disalahgunakan dan kekuasaan absolut lebih disalahgunakan.
Sebagai partai pemenang pemilu, Demokrat memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibanding partai lain. Konsistensi mereka mendukung terwujudnya pemerintahan yang bersih, salah satu program pemerintahan SBY-Boediono, layak dipertanyakan jika tidak memberi ketegasan pada kader yang bermasalah. Dalam tingkat tertentu, ketidakmampuan Demokrat menegakkan hukum terhadap kadernya bisa dinilai telah berseberangan dengan langkah SBY, sebagai presiden atau ketua dewan pembina partai tersebut.
Sementara di sisi lain, kemampuan Demokrat menghadapi ujian politik tersebut akan bersangkut dengan upayanya meraih simpati rakyat pada Pemilu 2014. Simpati rakyat hanya akan mengalir pada partai politik yang bersih. Sebaliknya, rakyat tidak akan melirik partai yang menjadi lumbung korupsi. Apalagi pada Pemilu 2014 Demokrat tidak bisa mengandalkan popularitas figur SBY. (10)
Ridho Imawan Hanafi, peneliti politik pada Soegeng Sarjadi Syndicate
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 23 Mei 2011