Menguji Pembuktian Terbalik
USULAN Marzuki Alie agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebaiknya dibubarkan, menuai tanggapan. Aktivis antikorupsi dan anggota masyarakat pun langsung bereaksi keras terhadap gagasan pembubaran KPK oleh Ketua DPR tersebut. Seorang komentator marah, balik menyerang Marzuki dengan mengatakan daripada KPK dibubarkan, lebih baik Marzuki yang diturunkan dari jabatannya sebagai pimpinan DPR.
Bersamaan dengan usulan membubarkan KPK, Marzuki menyinggung antara lain langkah memberantas korupsi; menyiapkan RUU Tipikor dengan memasukkan mekanisme pembuktian terbalik. Tapi dia mengakui mengegolkan gagasan pembuktian terbalik itu bukan sesuatu yang mudah. ”Saya yakin (dengan gagasan itu) dalam waktu 5 tahun Indonesia bisa bersih. Tetapi itu semua harus ada keberanian politik,” kata Marzuki.
Penulis berpendapat, kekeliruan pemahaman konsepsional tentang makna pembuktian terbalik itulah substansi yang menyebabkan Marzuki ”kalap” dan terjebak dalam usulan pembubaran KPK. Benarkah Indonesia belum mengenal pembuktian terbalik?
Berdasarkan hasil penelitian seorang mahasiswa, Rony Adhi Wardhana, ”Pembalikan Beban Pembuktian” (”Shifting the Evidential Burden of Proof”); biang kerok ketidakpahaman orang, bukan hanya Marzuki melainkan juga beberapa penulis disertasi doktor di beberapa universitas terkemuka di Tanah Air mengenai topik beban pembuktian (burden/onus of proof) adalah konsep pembalikan beban pembuktian telah disalahartikan dengan pembuktian terbalik selama ini. Menurut hasil analisis Rony Adhi Wardhana, KUHAP, karya agung bangsa Indonesia, sesungguhnya telah mengenal pembuktian terbalik, yang berbeda secara ekstrem jika dibandingkan dengan pembalikan beban pembuktian.
Selama ini, KPK hanya bekerja dengan konsepsi pembalikan beban pembuktian (conventional), bukan pembuktian terbalik (extraordinary), dan bahkan, sayangnya, menurut Marzuki, pembuktian terbalik itu belum ada dan masih ditunggu undang-undangnya.
Pembalikan beban pembuktian, yang menjadi tulang punggung bekerjanya KPK selama ini adalah proses pembuktian yang biasa (conventional), suatu metode pembuktian yang lazim terjadi dalam semua proses hukum acara, baik dalam acara pidana konvensional maupun dalam hukum acara pada umumnya. Proses ini berlangsung di pengadilan. Mulanya dengan jaksa, kemudian, terjadi pembalikan (shifting) ketika pembuktian menjadi giliran terdakwa, sebelum penjatuhan putusan oleh hakim.
Pembuktian Terbalik
Inilah yang menyebabkan banyak orang, termasuk Marzuki, merasa frustrasi karena seolah-olah KPK yang sudah telanjur berstatus superbody berkesan tak berbeda dari lembaga penegakan hukum yang lain. KPK menjalankan pembuktian yang tidak ada bedanya dengan acara pidana lainnya. Akibatnya, tidak ada gunanya untuk dipertahankan.
Hal itu berbeda sangat ekstrem dengan pemahaman selama ini, pembuktian terbalik diartikan sebagai sesuatu atau hal yang secara umum sudah diketahui dan tidak perlu dibuktikan lagi. Hal ini dirumuskan dalam KUHAP Pasal 184 Ayat (2), yaitu apabila telah diamini bahwa ada pemahaman umum korupsi di Indonesia itu adalah budaya maka adalah hal itu tidak perlu dibuktikan lagi, tinggal memberantasnya. Dengan pemahaman itu maka pemberantasan korupsi bisa dilakukan dengan cara pembuktian terbalik.
Dalam konteks itu, kini KPK seperti sudah kehilangan roh, bubar secara otomatis, atau mati suri. Esensinya sebagai suatu lembaga ad hoc tidak memiliki arti sama sekali. Eksistensinya hanyalah pemborosan uang negara, tempat orang mencari status dan kedudukan istimewa (privilege). KPK terjebak dalam rutinitas, sama halnya seperti lembaga pemberantasan korupsi konvensional, yaitu polisi, jaksa, dan hakim. Dalam kaitan itu, pemahaman Marzuki bisa dianggap benar.
Penulis berpendapat sebaiknya KPK harus dipertahankan bila lembaga itu mampu mengembalikan moral atau roh dalam hukum extraordinary. Dalam spirit pembuktian terbalik menurut dikte hukum dalam KUHAP; sita dulu semua harta benda, uang, dan blokir semua rekening pegawai negeri dan pejabat negara yang nilainya melampaui kepantasan. Berani? Selanjutnya, adalah tugas pegawai negeri dan pejabat negara yang hartanya disita itu untuk membuktikan sebaliknya di pengadilan. Inilah yang seharusnya menjadi pemahaman kita, dan hal yang harus dilakukan KPK. (10)
Jeferson Kameo SH LLM PhD, pengamat hukum tinggal di Salatiga
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 2 Agustus 2011