Mengukur Resistensi terhadap Polisi
KEKERASAN terhadap polisi dan lembaga Polri, yang sejak beberapa tahun terakhir terjadi di berbagai wilayah negeri ini, tidak terlepas dari kewajiban negara memberikan rasa aman kepada rakyat. Karena terlalu kompleks tugasnya, negara memberi mandat kepada aparat kepolisian untuk melakukannya. Di sinilah perlunya aparat kepolisian membangun hubungan kemitraan dan kerja sama harmonis dengan berbagai pihak, yang secara langsung atau tak langsung memiliki andil dalam manajemen kegiatan keamanan.
Untuk itu, Polri harus berupaya sekuat mungkin guna mengetahui dan menetapkan perorangan atau kelompok tertentu yang memiliki kemampuan mencegah bentuk-bentuk kejahatan, khususnya yang diwujudkan dalam aneka ragam kekerasan terhadap kinerja Polri.
Hal itu memerlukan pemantapan akuntabilitas internal Polri, di samping akuntabilitas eksternalnya, terutama dalam urusan pemberian rasa aman pada masyarakat. Akuntabilitas internal dan eksternal Polri, merupakan salah satu akses utama pencegahan kekerasan terhadap polisi, baik secara personel, maupun kelembagaan. Hal utama yang perlu ditonjolkan dalam akuntabilitas internal adalah menjamin bahwa setiap kinerja individual (sikap dan perilaku anggota), dapat dipertanggungjawabkan sesuai kode etik, disiplin, dan aturan perundang-undangan.
Kekerasan terhadap polisi di Indonesia yang belakangan ini terjadi, dapat dikaji dari beberapa aspek. Pertama; lemahnya sistem perencanan dan pelaksanaan pemberian rasa aman itu sendiri, khususnya dari indikator kurangnya jumlah personel, di berbagai sektor kegiatan polisi. Selain juga keterbatasan sarana dan prasarana kepolisian, serta rendahnya tingkat kesadaran akan risiko pelaksanaan tugas, dari personel itu sendiri. Rendahnya kewaspadaan polisi, membuka akses perlawanan penjahat atau orang-orang yang tidak patuh hukum.
Menumbuhkan Kepercayaan
Kedua; lemahnya daya tanggap dan daya tangkal komando dalam memprediksi peluang perlawanan terhadap polisi, baik dari komunitas maupun pihak lain. Di sinilah perlunya optimalisasi pekerjaan intelijen Polri, terutama guna ìmembacaî kekuatan eksternal yang dipredikasi mempunyai potensi sekaligus minat untuk melakukan perlawanan terhadap kinerja Polri. Untuk itu, diperlukan sajian informasi komprehensif tentang kemungkinan resistensi pihak tertentu terhadap upaya Polri menegakkan rasa aman masyarakat.
Ketiga; keseriusan seluruh personel untuk mengendalikan diri dalam melaksanakan tugas pokok, tugas lain, fungsi, dan kewenangan Polri. Pengendalian diri ini diperlukan guna mencegah opini publik bahwa Polri adalah organ negara superbody, yang (dalam berbagai tindakan personelnya) seolah-olah tidak tersentuh hukum. Di samping, seakan-akan dapat melakukan apa saja, termasuk memasuki atau mengambil alih bidang tugas institusi negara yang lain.
Keempat; perlunya segenap anggota Polri menjunjung tinggi Skep Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Prinsip Dasar Implementasi HAM bagi anggota. Pengakuan dan penghargaan terhadap integritas dan standar HAM oleh anggota Polri itu, diharapkan dapat sedini mungkin menumbuhkan kepercayaan masyarakat atas tekad Polri menegakkan HAM dalam melaksanakan tugas kepolisian.
Kelima; kemampuan Polri dalam mengaktualisasikan standar pelayanan minimal bagi semua pihak. Standar pelayanan ini dilandasi oleh janji Polri membangun pelayanan prima, sesuai pilar ketiga Grand Strategy Polri 2005-2025, terutama pada kurun 2020-2025.
Keenam; upaya pencegahan kekerasan terhadap polisi di Indonesia, adalah pemahaman atas indikator potensial keseluruhan pekerjaan kepolisian. Dalam hal ini, setiap anggota perlu mempertimbangkan indikator legalitas, nesesitas, dan proporsionalitasnya. Indikator legalitas, mendorong kesadaran setiap personel, bahwa tindakan mereka ada dasar hukumnya, selain sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Indikator nesesitas tampak dari wujud kesadaran polisi bahwa tindakan pribadi dan lembaganya diperlukan oleh pihak lain, sesuai amanat hukum yang berlaku. Sedang indikator proporsionalitas akan memperkuat kesadaran mereka, bahwa tindakan polisi tidak berlebihan, masuk akal, tidak memberatkan pihak manapun, dan selalu dalam koridor hukum. (10)
Novel Ali, dosen FISIP Universitas Diponegoro, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas)
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 10 Juni 2011