Mengungkap Gurita Bisnis Keluarga Atut di Tanah Banten
ICW bersama jaringan masyarakat, terutama Masyarakat Transparansi (MATA) Banten, tengah mengkaji politik bisnis perusahaan-perusahaan keluarga Gubernur Banten Ratu Atut Choisyah. Dalam kurun waktu tiga tahun (2011-2013) di dua instansi, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Dinas Bina Marga serta Tata Ruang Provinsi Banten, perusahaan milik keluarga Atut mendapat 52 proyek dengan nilai 723, 4 miliar.
Firdaus Ilyas, peneliti ICW mengatakan, “Dugaan korupsi di Banten diindikasi banyak melibatkan keluarga dan jaringan kerajaan bisnis Atut,” ungkapnya. Setidaknya ada dua lapis gurita bisnis keluarga Atut cs. “Lapis pertama adalah perusahaan kepemilikan langsung, yang dikendalikan oleh dinasti Atut. Kedua, perusahaan-perusahaan yang diindikasi sebagai bendera atau kamuflase saja, misalnya punya afiliasi dengan jaringan bisnis Tatu dan Haidir.”
Ada dua institusi yang berlumuran proyek-proyek yang dimenangi perusahaan-perusahaan yang diindikasi milik Atut cs. “Yaitu Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten,” ujar Firdaus.
ICW mencatat ada sebelas perusahaan yang dimiliki langsung oleh keluarga Atut dan setidaknya ada 24 jaringan perusahaan lain yang berkaitan dengan keluarga Atut cs. “Dua puluh empat perusahaan ini selalu menjadi pemenang –atau minimal jadi nomor 2 atau 3. Ini acap kali terjadi dalam lelang tender,” jelas Firdaus. Selain itu, ada indikasi kepemilikan Atut cs di beberapa perusahaan lain yang memegang jasa distribusi elpiji dan Bahan Bakar Minyak.
Gurita bisnis keluarga gubernur
Dalam kurun 2008 hingga 2013, ICW menemukan 33 proyek yang dimenangkan perusahaan keluarga Atut dengan total nilai proyek 478,728 miliar. Sementara pada Pemprov Banten, perusahaan keluarga Atut memenangkan 19 proyek dengan total nilai proyek 244,604 miliar.
“Totalnya ada 52 proyek yang dimenangkan perusahaan keluaraga Atut di Kementerian PU dan Pemprov Banten dengan total nilai kontrak sebesar Rp 723,333 miliar,” jelas Firdaus, “Ini baru dari jaringan bisnis yang diindikasi dimiliki langsung oleh keluarga Atut.”
Ternyata, perusahaan-perusahaan yang berafiliasi dengan kartel Atut cs juga punya intensitas penguasaan proyek yang besar, terutama di lingkungan Provinsi Banten. “MATA Banten menemukan bahwa khusus di tahun 2012, sebanyak 24 perusahaan yang diindikasi milik keluarga Atut telah menang 110 proyek dengan total nilai 346,287 miliar,” ujar Firdaus.
Sementara, selama 2011-2013, setidaknya perusahaan-perusahaan ini memenangkan 13 proyek dengan nilai 78,794 miliar pada lingkungan Kementerian PU. “Perusahaan-perusahaan ini juga seringkali menang di Jawa Barat. Kami tengarai, polanya sama di level kabupaten kota maupun kementerian/ lembaga (K/L) lain,” jelas Firdaus.
Jaringan perusahaan keluarga ini sebagian besar memenangkan proyek dari instansi Direktorat Jenderal Bina Marga dan Sumber Daya Air Kementerian PU. “Begitu juga pada lingkungan Pemda Banten, sebagian besar berasal dari Dinas Bina Marga, Dinas Kesehatan dan Pendidikan,” tutur Firdaus.
Sebelumnya, sudah banyak laporan dugaan penyelewengan anggaran di Banten, khususnya pengadaan infrastruktur Provinsi Banten dikuasai Atut cs. Kualitas layanan dan infrastrukturnya buruk, atau tidak berfungsi. Menurut Firdaus, masalah di Banten bisa dilihat dari banyaknya laporan masyarakat tentang infrastruktur yang buruk seperti jalan dan irigasi. Maman Abdurrahman dari Masyarakat Transparansi (MATA) Banten menuturkan, “Infastruktur di Banten, baru enam bulan sudah hancur karena sudah dipotong 20%. Makanya, hasilnya tidak sesuai perencanaan.”
Dahnil Ahzar, Dosen Ekonomi Universitas Tirtayasa, akademisi yang getol mengkritisi kebijakan anggaran di Banten, menuturkan, “Provinsi Banten punya panjang jalan 700 km, dan 62% dalam kondisi rusak. Untuk memperbaiki yang 62% itu, dengan asumsi biaya mengerjakan 1 km jalan dengan biaya standar provinsi sebesar Rp 5 miliar, kita butuh uang lebih dari 3,75 triliun. Anggaran yang dialokasikan untuk periode 2013 itu hanya 300 miliaran,” imbuh Dahnil.
Firdaus menjelaskan bahwa pada Pemprov Banten dan Kementerian PU, pengerucutan pola-pola pemenang lelang proyek tampak seperti arisan. “Hanya digilir saja antara peringkat 1, 2, 3, adalah si A, B, C, yang notabene jaringan binis keluarga Atut cs,” ujarnya.
Ada “kebetulan-kebetulan” yang tidak masuk akal pada Kementerian PU atau Provinsi Banten. Firdaus mencontohkan, “Kementerian PU punya list 700 rekanan. Tapi untuk proyek Bina Marga PU atau Sumber Daya Energi, lingkungan, terutama untuk Banten dan Jabar, secara prosentase hanya dimenangkan peringkat 1, 2, 3 oleh perusahaan-perusahaan itu saja. Sama dengan Provinsi Banten,” tukas Firdaus.
Maman Abdurrahman mengonfirmasi penelusuran ICW. “Dari tahun ke tahun, proyek ke proyek, lingkaran mereka teruslah yang memenangkan tender.”
Dari hulu ke hilir
Korupsi di Banten, menurut Maman, terjadi dari hulu ke hilir. “Ini terencana mulai dari birokrasi. ‘TCW’ punya hubungan baik dengan pejabat pemangku kebijakan baik di legislatif dan di eksekutif,” ujar Maman. “Keluarga Atut ditengarai menggunakan beberapa loyalis yang pada ujungnya bisa memfasilitasi keinginan-keinginan keluarga ini.”
Maman menuturkan, “Di birokrasi, yang bukan orang-orangnya Atut akan tersingkir. Karena, jelas orang-orang SKPD nantinya punya kebijakan untuk meloloskan tender,” ungkapnya.
Temuan MATA Banten, ada empat perusahaan dari 28 yang ditelusuri sebagai milik TCW. “Sisanya, berafiliasi dengan TCW,” kata Maman. Pada prosesnya, lanjut Maman, perusahaan-perusahaan ini bisa memenangkan lelang proyek karena sejak penentuan anggaran di legislatif, keluarga ini diindikasi sudah punya orang dalam untuk mengatur. “Sama dengan di eksekutif, dari gubernur sampai SKPD, orang mereka juga. Di pelaksana kegiatan, di perusahaan-perusahaan, orang-orang mereka juga. Akhirnya, tidak heran bisa seperti ini,” kata Maman.
“Rahasia umum di Banten adalah tiap sektor itu orangnya Atut. Kalau berseberangan dengan Atut, pasti dilokalisir jadi staf ahli gubernur. Staf ahli gubernur jadi semacam tempat bagi orang-orang buangan,” tutur Maman prihatin.
Selama ini, menurut Maman, kasus-kasus dugaan korupsi di Banten menguap begitu saja. “Tidak satupun kasus yang terungkap di publik sampai ke tingkat akhir.” Untuk membongkar dugaan korupsi di Banten, penegak hukum harus mengungkap jejaring keluarga Atut di legislatif, eksekutif, dan perusahaan-perusahaan yang terlibat.
Dinasti Chasan, menurut Dahnil, bertumpuk di Banten. “Kebetulan yang berhasil mengembangkan kekuasaan dengan sangat luar biasa, ya Atut. Kalau Atut tumbang, bisa saja dimanfaatkan dinasti yang lain,” ungkapnya.
Pembajakan anggaran di Banten, sebab kesenjangan sosial
Banten punya kesenjangan luar biasa antara kemampuan keuangan Banten dengan kondisi sosial ekonomi. “APBD Banten sekitar 5 triliunan. Secara finansial, Banten daerah yang mandiri karena Pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih besar ketimbang dana perimbangannya, yaitu lebih dari 3,9 triliun.”
“Pertumbuhan ekonomi Banten itu baik, rata-rata 6%,” tutur Dahnil. Namun, kemampuan keuangan Banten yang besar bertolak belakang dengan kondisi sosial ekonomi Banten yang bermasalah. “Belanja anggaran Banten dibajak bandit legislatif dan eksekutif.” tegas Dahnil.
“Di Banten, ada istilah bahwa DPRD tidak punya hak budget. Yang punya hak budget adalah ‘Mr. W’. Mereka bermain potong-potong tidak hanya di hulu, tapi juga di hilir. Misalnay rencana Bandara Banten Selatan, Banten Global Development, yang sudah disuntik modal 50 miliar tapi tidak pernah ada laporan jelas,” tukas Dahnil. “Ada juga rencana Bank Banten yang modalnya 1 triliun yang dibagi untuk tiga tahun anggaran 2013, 2014, 2015.”
Pada 2009, Dahnil melanjutkan, media menghebohkan Pemprov Banten yang melakukan pembohongan indikator pengangguran. “Menghitung jumlah pengangguran itu caranya membagi angka pengangguran dengan angkatan kerja. Pemprov Banten menghitung pengangguran dibagi penduduk, sehingga jumlahnya jadi kecil,” kata Dahnil.
Inilah yang disebut Dahnil sebagai modus akrobat angka. “Mereka memajang indikator ekonomi supaya terlihat cantik, bahwa mereka sukses membangun,” tutur Dahnil.
Namun, pembajakan APBD di Banten, tidak canggih dan cenderung masih primitif. “Korupsinya tidak sistematis dan luar biasa. Belum membajak kebijakan seperti kasus Fhatanah. Masih sebatas permainan APBD, potong-memotong presentase fee. Ini mudah ditelusuri. Lihat saja laporan BPK, yang hampir setiap tahun mengungkap kejanggalan potensi kerugian negara hampir 100 miliar. Tapi, sayangnya tidak ada tindak lanjut,” ujar Dahnil.
Kelemahan lain, menurut Dahnil, aparat penegak hukum tidak menindaklanjuti temuan BPK. “Dinasti ini punya kelebihan, yaitu membina lingkungan sosial dengan baik. Yang punya otoritas hukum, politik, budaya, agama, ‘dibina’ dengan baik. Kyai dibina dengan baik. Aparat penegak hukum dibina dengan baik. Tentu dong dengan setoran-setoran yang layak. Dinasti Atut rajin sekali melakukan ini,” tutur Dahnil. “Inilah yang membedakan mereka dengan dinasti lain di sekitar Banten.”
Akibatnya, hanya beberapa orang yang berani bersuara soal kebijakan pembangunan. “Inilah sebabnya suara-suara kritis antikorupsi di Banten susah diungkap,” tutur Dahnil, “Media lokal tidak akan memberitakan kasus dan perilaku menyimpang keluarga ini. Mereka diam. Sekarang, karena sudah muncul di media nasional, baru mereka memberitakan. Banten akhirnya seolah-olah terisolasi di dunia mereka sendiri.” Dahnil berharap, kasus Wawan dapat menjadi pintu masuk untuk membongkar korupsi di Banten yang lebih besar.
Firdaus berpendapat bahwa KPK dapat menelusuri lebih lanjut dugaan korupsi di Banten dari kasus dugaan suap Ketua Mahkamah Konstitusi non aktif Akil Mochtar. “Kami berharap, dari sini jadi kelihatan, siapa panglima dan otak dari kartel ini,” tuturnya.
ICW akan melaporkan temuan-temuan ini ke KPK minggu ini. “Kami punya data resmi,” kata Firdaus. “Paling tidak, ini bisa menambah dokumen yang bisa dikembangkan untuk kasus baik dugaan suap Akil atau kasus Wawan.”
BPK, saran Firdaus, harus memeriksa proyek-proyek di Kementerian PU dan Pemprov Banten lebih mendalam. “Aroma permainan tender yang hanya berputar di lingkungan keluarga Atut ini sangat kental,” ujar Firdaus.
Firdaus mengakui, 52 proyek dengan nilai Rp 723,4 miliar adalah nilai yang besar. Tetapi, fokus utama, menurut Firdaus, adalah agar Banten dibangun dengan transparan akuntabel, “Siapapun gubernurnya, dari partai apapun dia, harus mengedepankan masyarakat Banten. “Kalaupun muncul rezim lain, prakteknya akan sama saja kalau tidak diperbaiki. Banten harus dibangun dengan mengedepankan keadilan dan kesejahteraan warganya,” tutup Firdaus.