Mengupas Perencanaan & Pelaksanaan Proyek e-KTP
Release
Rencana pelaksanaan pemutakhiran database administrasi kependudukan sudah kadung terbolak-balik. Kesalahan terjadi sejak proses perencanaan, pemerintah absen melaksanakan perintah undang-undang. Pemuthakhiran data kependudukan seharusnya dibangun sejak UU 23/2006 tentang administrasi kependudukan berlaku. Celakanya, e-KTP dianggap sebagai jalan keluar.
Idealnya pemerintah seharusnya sudah memiliki grand-design kependudukan. Dalam ketentuan UU 23/2006, instansi pelaksana (pemkab/pemkot, pemprov dan kemendtrian dalam negeri) seharusnya sudah memiliki grand-design SIAK yang terpadu dan terintegrasi. Setiap daerah secara inisiatif melakukan pemutakhiran data kependudukan dibawah koordinasi kementrian dalam negeri.
Faktanya, beberapa daerah membangun sistem admnistrasi kependudukan yang tidak terintegrasi dengan sistem yang dimiliki oleh kemendtrian dalam negeri. DKI Jakarta dan Kabupaten Jembrana bisa dijadikan sebagai contoh. DKI jakarta sudah menargetkan kartu Tanda Penduduk (KTP) di DKI seluruhnya telah dilengkapi dengan identitas sidik jari atau finger scan sebelum tahun 2009. Jembrana, membangun sistem adminitrasi kependudukan tersendiri yang dikenal dengan SIAK Jembrana. Berdasarkan hasil pemnatauan yang dikaukan ICW, sistem ini sudah menggunakan teknologi finger print dan update database kependudukan dilakukan secara online (kecamatan-kabupaten). Namun, pasca berlakunya e-KTP yang berskala nasional (KTP Masal), sistem informasi kependudukan yang sudah dibangun tersebut menjadi tidak terpakai. investasi pemerintah daerah terhadap sistem informasi menjadi sia-sia.
Masalah lain dalam proses perencanaan adalah proyek e-KTP tidak menjadikan belajar pada pelaksanaan uji petik di 6 wilayah. Padahal Dalam proses implementasi uji petik banyak mengalami kendala dan hambatan secara teknis maupun non teknis. Diantaranya, teknologi, data dan informasi, proses, dan organisasi Pelaksana. Bahkan, proyek ini sudah berstatus penyiudikan di Kejaksaan Agung.
Pada bulan Juni 2010, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus menetapkan Plt Dirjen, dkk ditetapkan ditetapkan sebagi tersangka dalam Peyidikan Perkara Pengadaan Perangkat Keras, perangkat lunak, system dan blanko KTP pada Dirjen Administrasi Kependudukan Depdagri TA 2009 (Paket P.11).
Dalam kasus ini pun terindikasikan terjadinya kerugian negara, Kejaksaan Agung sudah meminta kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan perhitungan kerugian negara. Sampai saat ini Kejaksan Agung sudah mengimkan 3 surat kepada BPKP, Surat no; B -2876/F.2/Fd.1/12/2010 tgl 27 Desembr 2010, Surat no: B-048/F.2/Fd.1/01/2011 tgl 7 januari 2011, Surat No : B-1286/F.2/Fd.1/06/2011 tgl 13 Juni 2011 Perihal sama ketiga surat tersebut yaitu : Bantuan Perhitungan Kerugian Keuangan Negara Penyidikan Perkara Pengadaan Perangkat Keras, Perangkat lunak, sistem dan Blangko KTP pada Dirjen Administrasi Kependudukkan Depdagri TA 2009.
Namun, sudah genap setahun, BPKP belum memberikan hasil perhitungan kerugian negaranya pada Kejaksaan Agung.
Masalah proses tender
Terdapat dua hal utama yang disasar dalam pelaksanaan tender e-KTP ini. Pertama, tersedianya barang dan jasa, perangkat keras, perangkat lunak dan blanko Kartu Tanda Penduduk berasis NIK secara nasional yang terangkai sebagai sebuah system yang terpadu. Dan Kedua, untuk melakukan pelayanan perekaman data kependudukan dan identifikasi ketunggalan identitas seseorang sehingga terbangunnya data base Kependudukan Nasional yang akurat dan terbitnya Database Kependudukan Nasional yang akurat dan terbitnya KTP yang tunggal dan otentik.
Berdasarkan tujuan tersebut tergambar bahwa pelaksanaan e-KTP ternyata salah satunya untuk membangun database kependudukan nasional. Itu artinya, database yang merupakan perintah UU23/2006 belum dijalakan, database belum terbentuk.
Dalam pelaksanaannya, tender-KTP, pemerintah tidak menjalankan rekomendasi KPK dan LKPP, selain itu dalam pelaksanaanya diduga ada pelangaran terhadap ketentuan pengadaan barang dan jasa. Seperti, post bidding, penandatangan kontrak dimasa sanggah banding dan persaingan usaha tidak sehat.
1. Post-biding
Berdasarkan keterangan surat dari LKPP nomor B-3376/LKPP /DIV.2/07/2011. Perihal pengaduan proses tender pekerjaan KTP berbasis Nomor Induk kependudukan Secara Nasional.
Panitia dianggap melakukan perubahan terhadap spesifikasi signature pad, berupa penambahan persyaratan fungsi fitur “urutan titik (x,y, and time coordinat)” untuk forensic tandatangan, bahwa berdasarkan penjelasan panitia, spesifikasi signatur pad berupa data conversion rate yang dimaksud dalam dokumen oengadaan adalah terkait dengan output format yang dihasilkan berupa urutan titik-titik berasarkan fungsi dari waktu (x,y, and time coordinat). Jika demikian persyaratan tersebut bukan ketentuan atau persyaratan baru dalam proses evaluasi.
Berdasarkan keterangan tersebut panitia diduga melanggar Perpres 54 tahun 2010 Pasal 79 ayat (2) dalam evaluasi penawaran ULP/Pejabat pengadaan dan penyedia barang/jasa dilarang melakukan tindakan post-biding. Tindakan postbiding adalah tindakan mengubah, menambah, mengganti, dan/atau mengurangi dokumen pengadaan dan/atau dokumen penawaran setelah batas akhir pemasukan penawaran.
2. Penandatanan kontrak pada masa sanggah banding
Berdasarkan surat nomor B/866/LKPP/SES/04/2011. Ada beberapa hal yang disampaikan yang disampaikan oleh LKPP kepada mendagri. Ada 2 hal utama yang disampaikan oleh LKPP. Pertama, Tim LKPP menyarankan kepada panitia pengadaan untuk menunda pemberian berita acara aanwijzing/addendum dokumen pemilihan dan bilamana dianggap perlu memberikan kesempatan untuk aanwijzing, namun rekomendasi ini tidak di dengarkan. Kedua, sapia dengan 18 april 2011, pihak LKPP tidak pernah mendapat agenda kelanjutan proses pendampingan.
Dengan demikian LKPP, sejak saat itu tidak lagi dilibatkan dalam proses tendKementrian dalam negeri juga diduga melakukan pelanggaran yang sangat fatal. Dimana kementrian melakukan penandatangan kontrak dalam masa sanggah banding. Seperti diketahui bersama, Direktorat Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan selaku pejabat pembuat komitmener
melakukan penandatangan kontrak bersama Konsorsium PNRI untuk pekerjaan penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP Elektronik) pada tanggal 1 juli 2011. Penandatanganan ini dilakukan pada saat masa sanggah banding.
Seperti diketahui bersama, bahwa dalam kurun waktu tersebut masih terjadi proses sanggah banding. Kemendagri menerima dua surat sanggah banding dari konsorsium Telkom dan konsorsium lintas bumi lestari. Konsorsium Telkom menyampaikan surat sanggah banding pada pada tanggal 5 juli 2011 dilengkapi jaminan sanggah banding sebesar Rp 50.000.000,- dengan menggunakan jaminan bank Negara Indonesia No:2011/GBR/065/5377. Sedangkan konsorsium lintas bumi lestari juga menyampaikan surat sanggah banding ditanggal yang sama.
Artinya, penandatangan kontrak yang dilakukan melanggar ketentuan perpres 54 tahun 2010 pasal 82. Bahwa sanggahan banding menghentikan proses lelang.
Berdasarkan pertimbangan tersebut ada beberapa hal yang harus dilakukan;
- Kejaksaan untuk mempercepat penyidikan kasus dugaan korupsi proyek uji petik e-KTP 2009
- BPKP segera menyelesaikan hasil perhitungan kerugian dalam kasus dugaan korupsi proyek uji petik e-KTP 2009, mengingat kasus tersebut sudahberulang tahun di kejaksaan
- Kemendagri lakukan pemeriksaan ulang terhadap proyek e-KTP, untuk memastikan dugaan pelanggaran dalam proses tender
- KPPU untuk melakukan kajian terhadap dugaan terjadinya persaingan usaha tidak sehat