Mengurai Proyek Mangkrak di PLN
Pihak pemerintah mulai membangun komunikasi dengan KPK (Komisi pemberantasan Korupsi) terkait dengan 34 proyek PT. PLN yang mangkrak di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ada harapan dari pemerintah, agar KPK melakukan pemeriksaan terhadap proyek tersebut. Pemerintah menyebutkan sebanyak 14 proyek pembangkit listrik diantaranya sudah tak dapat dilanjutkan. Selain itu, pemerintah terkesan khawatir ada potensi kerugian negara disana.
Sejumlah proyek mangkrak di PT. PLN sebenarnya sudah tercium dalam audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Fokus dengan pembangunan pembangkit, LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) BPK nomor 31/LHP/XVII/12/2015, menjelaskan sejumlah masalah dalam pembangunan pembangkit dan jaringan listrik oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PT. PLN Unit Induk Pengembangan di 25 provinsi. Provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, NAD, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Lampung, Riau, Bengkulu, Kepri, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur, Bali, NTT, dan NTB.
Menurut audit yang dilakukan sepanjang tahun anggaran 2011-2014, ditemukan banyak sekali masalah dalam pembangunan pembangkit. Kesimpulannya, realisasi pembayaran kontrak yang berasal dari dana PT. PLN (persero) ternilai rendah, hanya Rp 594,7 miliar dari total nilai pekerjaan Rp 4,9 triliun. Faktor yang menyebabkan progres pekerjaan menjadi lambat diantaranya karena masalah pembebasan lahan, masalah perizinan, kinerja kontraktor yang tidak optimal, dan lemahnya fungsi pengawasan.
Jika diurai lebih lanjut, ada beberapa temuan penting dalam audit. Pertama, pekerjaan pembangunan infrastruktur dari sebanyak 80 diantaranya terkendala pembebasan lahan. Sebanyak 31 proyek lainnya terkendala pemasalahan izin. Kedua, penyedia jasa atas 19 paket pekerjaan tidak menyelesaikan pekerjaan. Selain itu ada juga yang melakukan pemutusan kontrak pekerjaan dan meminta pemberhentian pekerjaan. Dan ketiga, terdapat 19 gardu induk dan 3 transmisi sebesar Rp 899,04 miliar belum dapat dimanfaatkan.
Dalam audit yang terpisah, LHP no 30/LHP/XVII/12/2015, BPK juga menjelaskan temuan lainnya terhadap pembangkit yang khusus berada pada Kementerian ESDM, pada tahun anggaran yag sama. Pada intinya, laporan tersebut menjelaskan bahwa pelaksanaan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan belum optimal. Bahkan beberapa diantaranya berpotensi merugikan keuangan negara dan hasil pekerjaan belum bisa dimanfaatkan. Misalnya, terdeteksi potensi kerugian negara sebesar Rp 12,6 miliar pada pembangunan pembangkit listrik tenaga gas di Kalimantan Timur.
Kondisi ini menggambarkan buruknya perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi dalam pembangunan pembangkit yang berdampak kepada terbengkalainya pekerjaan infrastruktur ketenagalistrikan. Akibatnya, penyediaan listrik kepada masyarakat menjadi terhambat.
Demi penyelamatan kepentingan masyarakat yang lebih luas, ada banyak pihak yang harus terlibat. Tidak hanya pemerintah dan PT. PLN tetapi juga lembaga lainnya seperti KPK. Mengingat kedepan, akan ada proyek raksasa di PT. PLN seperti proyek 35.000 MW. Evaluasi dan monitoring terhadap ini harus menjadi pijakan agar proyek lainnya bisa tepat sasaran.
Perbaikan terkait dengan proyek-proyek tersebut pun sebaiknya tidak selesai pada kesimpulan apakah proyek ini dilanjutkan atau dihentikan. Tetapi juga ada upaya audit yang lebih mendalam seperti audit investigatif. Sehingga jika ditemukan kesengajaan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengambil keuntungan, bisa segera diproses secara hukum.***