Menimbang Privatisasi Bank BUMN
Pemerintah kembali akan melakukan privatisasi BUMN pada penghujung 2010 setelah sempat vakum pada 2008 dan 2009. Kevakuman tahun 2008 dan 2009 itu disebabkan situasi krisis ekonomi sehingga kurang tepat untuk mengerjakan privatisasi.
Bahkan, pemerintah telah berancang-ancang pula menjual 10 BUMN pada tahun depan (2011). Dari beberapa BUMN yang akan diprivatisasi pada 2010 ini, terdapat dua bank BUMN yang terlalu penting untuk diabaikan dari pembahasan publik, yakni Bank Mandiri dan Bank BNI.
Kedua bank BUMN ini penting untuk dikupas karena tiga alasan pokok: (1) Mandiri adalah bank terbesar dan BNI peringkat empat bank terbesar; (2) struktur sektor perbankan di Indonesia secara umum telah dikuasai pemilik asing; dan (3) perbankan masuk dalam kategori sektor strategis sehingga kepemilikan negara/pemerintah merupakan bagian penting yang harus diperjuangkan.
Struktur perbankan
Liberalisasi sektor keuangan memang telah lama dijalankan Indonesia, setidaknya kontrol modal sudah dilepas sejak awal Orde Baru. Sedangkan liberalisasi sektor perbankan sendiri secara sistematis dimulai pada 1983 (Pakjun) dan 1988 (Pakto) dan terus berlangsung hingga sekarang.
Salah satu dampak dari kebijakan itu adalah semakin intensifnya pelaku ekonomi asing (di samping swasta domestik) berpartisipasi dalam sektor perbankan.
Saat ini, di samping bank asing yang secara leluasa beroperasi di Indonesia, sebagian bank nasional juga sudah dicaplok oleh pemilik asing dengan persentase kepemilikan saham bervariasi dari 35-100 persen.
Sebagian dari bank nasional yang sudah berpindah tangan ke pemilik asing itu antara lain: Danamon (68,83 persen), Bank Buana (61 persen), UOB Indonesia (100 persen), NISP (72 persen), OCBC Indonesia (100 persen), CIMB Niaga (60,38 persen), BII (55,85 persen), Panin (35 persen), Permata (44,5 persen), dan BTPN (71,6 persen).
Strategi yang ditempuh Indonesia untuk mengembangkan sektor keuangan ini, terutama sektor perbankan, mirip dengan langkah negara di kawasan Amerika Latin dan Eropa Timur, yaitu memberi ruang gerak kepada pelaku asing untuk bermain di pasar domestik.
Hal ini berbeda dengan negara-negara di Asia yang cukup ketat membentengi sektor perbankan dari penetrasi asing. Jumlah bank asing di Indonesia sekarang telah melampaui rata-rata jumlah bank asing di negara berkembang yang hanya sekitar delapan bank (ini belum memperhitungkan bank nasional yang dicaplok asing).
Dalam hal ini, Indonesia berada di peringkat sembilan dengan jumlah bank asing terbesar di negara berkembang. Brasil merupakan negara berkembang dengan jumlah bank asing terbanyak di dunia (56 bank), disusul secara berurutan Panama, Polandia, Rusia, Uruguay, Meksiko, Argentina, dan Hongaria, yang masing-masing 43 bank, 34 bank, 28 bank, 25 bank, 24 bank, 23 bank, dan 21 bank (Van Horen, 2007). Secara lebih rinci, saat ini 43 dari 122 bank di Indonesia memiliki pemegang saham yang dikendalikan oleh 15 negara utama.
Kalkulasi privatisasi
Istilah privatisasi yang digunakan di sini tentu akan menimbulkan penolakan dari beberapa pihak, terutama pemerintah, karena kebijakan yang dibuat terhadap Bank Mandiri dan Bank BNI merupakan upaya penambahan modal melalui penjualan saham baru (rights issue).
Modal perlu ditambah untuk penguatan keuangan kedua bank tersebut (menambah rasio kecukupan modal/capital adequacy ratio/CAR) dan tujuan ekspansi korporasi.
Pemerintah sendiri kemungkinan hanya akan menjual sekitar 15 persen saham baru (BNI disetujui menjual 14,54 persen) sehingga jika saham-saham tersebut semuanya dibeli oleh publik (domestik maupun asing), maka kepemilikan pemerintah tetap dominan (minimal 51 persen).
Dengan deskripsi ini, pemerintah mungkin akan menolak jika upaya tersebut disebut dengan privatisasi. Namun, bagi saya, sebutan privatisasi tidaklah salah karena pada akhirnya kepemilikan pemerintah/negara menjadi berkurang pasca-rights issue.
Dengan menyandingkan antara struktur kepemilikan perbankan nasional dan rencana privatisasi tersebut, maka mudah dipahami di mana letak strategisnya merawat kepemilikan pemerintah pada bank BUMN. Seperti dipahami, fungsi utama perbankan adalah penyaluran kredit, tapi rata-rata pertumbuhan kredit bank asing dalam lima tahun terakhir (2004-2009) di bawah kategori bank-bank lainnya (19,34 persen).
Bahkan, pada periode 2008-2009, pertumbuhan kredit bank asing minus 11,79 persen, di saat jenis bank lainnya tumbuh positif, seperti bank persero, bank umum swasta nasional devisa/nondevisa, dan Bank Pembangunan Daerah/BPD (minimal 5,97 persen). Oleh karena itu, pemerintah memiliki alasan yang masuk akal untuk menjaga kepemilikan pada bank BUMN, di mana saat ini kepemilikan pemerintah di Bank BNI 76,36 persen dan Bank Mandiri 66,76 persen, selebihnya dipunyai publik.
Investor asing sendiri dipastikan akan menjadi pembeli utama rights issue itu karena investor domestik tidak punya duit dalam jumlah yang besar.
Suntik modal pemerintah
Di luar argumentasi di atas, terdapat analisis teknis lain yang laik dipertimbangkan pemerintah agar menyuntikkan modal ke Bank Mandiri dan Bank BNI dibanding menjual ke publik. Pertama, modal yang disetor dalam setahun diproyeksikan akan balik karena harga saham yang meningkat (sesuai kalkulasi beberapa lembaga analis keuangan).
Kedua, tingkat pengembalian dari investasi di saham (return on equity/RoE) Bank Mandiri dan Bank BNI dua kali lebih besar ketimbang bunga surat utang negara/SUN (seandainya pemerintah mencari modal dari penjualan SUN) sehingga benefit lebih besar daripada biaya (costs).
Ketiga, jika saham publik yang mencapai minimal 40 persen, maka bank itu akan mendapatkan keringanan pajak sebesar 5 persen (dari 25 persen menjadi 20 persen sesuai PP No 81/2007). Implikasinya, pemerintah diproyeksikan kehilangan penerimaan pajak sekitar Rp 4 triliun dalam dua tahun (2010-2011). Singkatnya, diharapkan pemerintah dan DPR menimbang secara matang dalam membuat keputusan besar agar bangsa ini terhindar dari ancaman (a nation at risk).
Ahmad Erani Yustika Direktur Eksekutif Indef; Ekonom Universitas Brawijaya
Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 Oktober 2010