Menimbang Sekolah Gratis
Awal tahun ajaran 2005/2006, pemerintah akan mulai menjalankan program pendidikan dasar gratis untuk sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) atau sederajat.
Awal tahun ajaran 2005/2006, pemerintah akan mulai menjalankan program pendidikan dasar gratis untuk sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) atau sederajat. Total dana yang disediakan Rp 6,27 triliun, yang akan disalurkan dalam bentuk biaya operasional sekolah, masing-masing untuk pendaftaran siswa baru, buku pelajaran pokok dan penunjang, pemeliharaan sekolah, ujian sekolah, ulangan umum bersama, ulangan umum harian, honor guru, dan transportasi siswa kurang mampu. Siswa SD atau sederajat akan memperoleh senilai Rp 235 ribu dan siswa SMP atau sederajat Rp 324.500 setiap tahunnya.
Model biaya operasional yang akan digulirkan pemerintah memang lebih baik dibandingkan dengan model beasiswa seperti yang direncanakan sebelumnya. Selain jumlah dananya lebih besar, penerima dan jenis-jenis biaya yang disubsidi pun cukup jelas. Sehingga pemerintah tidak akan lagi sibuk mengidentifikasi dan menentukan 9,6 juta murid yang dianggap miskin.
Walaupun begitu, pemerintah pun tidak cukup jujur untuk berterus terang bahwa model ini belum menjamin sekolah bisa gratis. Pertama, jumlah dana yang disediakan sebesar Rp 6,27 triliun jelas tidak mencukupi. Dengan memakai data terakhir jumlah siswa yang ada di situs Departemen Pendidikan Nasional, pada tahun ajaran 2002/2003 terdapat 25,9 juta siswa SD dan 7,4 juta siswa SMP.
Jika dikaitkan dengan kebutuhan, pada tingkat SD, 25,9 juta dikalikan biaya operasional sekolah Rp 235 ribu, pemerintah perlu menyediakan Rp 6,0865 triliun. Untuk tingkat SMP, 7,4 juta siswa dikalikan Rp 324.500, maka dana yang diperlukan Rp 2,4013 triliun. Total biaya operasional SD dan SMP atau sederajat minimal Rp 8,4878 triliun. Itu dengan memakai data lama. Besar kemungkinannya pada tahun ajaran 2005/2006 jumlah siswa akan bertambah, yang berarti kebutuhan biaya bertambah pula.
Kedua, banyak komponen penting dalam penyelenggaraan sekolah yang tidak tercakup dalam biaya operasional sekolah, seperti pembayaran listrik, air, telepon, alat tulis, dan kegiatan ekstrakurikuler. Apalagi jika dibandingkan dengan hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam penyelenggaraan SD di Jakarta, Garut, dan Solo. ICW menemukan setidaknya 38 jenis pungutan. Artinya, biaya operasional sekolah yang disediakan pemerintah sebenarnya tidak bisa menutupi kebutuhan riil sekolah.
Ada dua cara yang mungkin akan digunakan sekolah untuk menyiasati kekurangan: mengambil dari alokasi biaya operasional sekolah melalui penghematan pengeluaran atau memungut dari orang tua murid. Sepertinya yang paling memungkinkan diambil oleh sekolah adalah pilihan kedua.
Ketiga, pemerintah sendiri tidak mengeluarkan larangan yang tegas atau sanksi bagi sekolah supaya tidak melakukan pungutan. Tentu saja ini akan dijadikan celah oleh sekolah untuk tetap menarik dana dari masyarakat. Caranya dengan memunculkan jenis-jenis biaya di luar biaya operasional sekolah.
Sebagai contoh, beberapa tahun lalu, dalam rangka menyukseskan program wajib belajar, dikeluarkan larangan terhadap sekolah untuk memungut sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP). Sekolah memang mematuhi dengan tidak mencantumkan biaya SPP, tapi bermunculan biaya lain yang jumlah dan jenisnya justru lebih banyak, misalnya biaya komite sekolah.
Asumsi-asumsi di atas masih belum memperhitungkan faktor korupsi dan mismanajemen di sekolah. Padahal, belajar dari banyak kasus, dana-dana yang diperuntukkan bagi penyelenggaraan sekolah sering menguap tidak jelas. Contoh yang paling baru adalah dugaan penyelewengan dana hibah (block grant) di SMP 232, Pulogadung (Koran Tempo, 5/4).
Model biaya operasional sekolah yang akan digulirkan tidak jauh berbeda mekanismenya dengan model hibah yang digulirkan pemerintah DKI Jakarta. Dalam hibah, selain beasiswa, diberikan biaya operasional sekolah untuk biaya telepon, air, dan listrik, alat tulis kantor, kegiatan belajar-mengajar, jasa kebersihan, jasa penjaga sekolah nonpegawai negeri sipil, serta buku perpustakaan. Tapi, dalam prakteknya, sekolah tetap memungut dana dari orang tua siswa, bahkan untuk biaya yang tercantum dalam biaya operasional sekolah.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab. Pertama, sosialisasi yang buruk. Selama ini, yang menjadi penerima informasi adalah pejabat dinas pendidikan atau kepala sekolah, sedangkan stakeholder sekolah yang lain, seperti guru atau orang tua murid, sering diabaikan. Mereka akhirnya tidak memiliki informasi sehingga tidak bisa mengawasi penggunaan dana-dana yang masuk ke sekolah. Akibatnya, kepala sekolah bisa leluasa mengalihkan dan menggelapkan dana.
Kedua, tidak semua sekolah memiliki anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS). Kalaupun ada, pembuatan dan pengelolaannya ada di tangan kepala sekolah. Padahal APBS bukan hanya memberikan gambaran keuangan, tapi juga panduan kegiatan penyelenggaraan sekolah. Tanpa adanya program yang jelas, biaya operasional sekolah digunakan tidak pada peruntukannya.
Sepertinya pemerintah belum menyiapkan antisipasinya, sehingga kemungkinan terjadinya pungutan di sekolah sangat terbuka. Apabila orang tua murid pada tingkat SD dan SMP atau sederajat masih mengeluarkan biaya untuk penyelenggaraan sekolah, dengan sendirinya program pendidikan dasar gratis telah gagal.(Ade Irawan, Program Manager Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 23 Juni 2005