Meninjau Ulang Banggar dan Kewenangan Pembahasan Anggaran DPR
= Perkembangan 6 Sidang Judicial Review di MK=
Rilis Media
Persidangan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XI/2013 telah dilakukan sebanyak 6 (enam) kali. Majelis Hakim Konstitusi telah memeriksa 6 ahli dan 1 saksi yang diajukan oleh Pemohon. Pada prinsipnya, Judicial Review ini ingin membuktikan bahwa terdapat ketentuan di Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-undang No. 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang bermasalah dan membuka peluang korupsi dan praktek mafia anggaran di DPR. Banyaknya anggota DPR yang dijerat KPK, terbongkarnya praktek mafia anggaran dan kebocoran uang negara dalam jumlah sangat besar menjadikan dua kewenangan anggaran DPR tersebut harus segera ditinjau ulang.
Pemohon dalam Judicial Review ini adalah: YLBHI, FITRA, IBC dan ICW sebagai pemohon kelembagaan serta Feri Amsari dari PUSAKO Universitas Andalas dan Hifdzil Alim dari PuKAt Korupsi FHUGM. Kami mengajukan 12 bagian dari UU Keuangan Negara dan UU MD3, dengan pengelompokan sebagai berikut:
- Keberadaan Badan Anggaran DPR
- Kewenangan anggaran DPR membahas RAPBN secara terperinci
- Praktek Perbintangan/Pemblokiran Anggaran
- Pembahasan APBN-Perubahan
Pertama, pada bagian keberadaan Badan Anggaran DPR, Pemohon meminta MK agar merombak bentuk kelembagaan Banggar agar tidak lagi bersifat sebagai alat kelengkapan tetap yang dibentuk dan ditunjuk langsung 1 kali selama 5 tahun. Banyak pihak menduga penempatan orang-orang “khusus” di Banggar terkait dengan kepentingan partai politik untuk mengatur pendanaan politik mereka. Apalagi telah terungkap temuan PPATK adanya 2000 transaksi keuangan mencurigakan yang sebagian besar terkait dengan anggota Banggar DPR serta KPK yang telah menjerat sejumlah anggota Banggar dalam kasus korupsi, seperti: M. Nazaruddin (Bendahara Umum Partai Demokrat), Angelina Patricia Pingkan Sondakh (Wakil Sekjen Partai Demokrat), Wa Ode Nurhayati (PAN), Zulkarnain Djabar (Golkar), dll. (Pasal yang diuji: Pasal 104 sepanjang frase “yang bersifat tetap” dan Pasal 105 ayat (1) sepanjang frase “pada permulaan masa keanggotaan DPR dan” UU No. 27 Tahun 2009)
Pada bagian pertama ini MK juga diminta memberikan penegasan bahwa Banggar DPR hanya berwenang melakukan singkronisasi hasil pembahasan Komisi bersama mitra di eksekutif. Dengan kata lain, Banggar tidak bisa membahas sendiri sebuah anggaran tanpa pembahasan sebelumnya di Komisi, apalagi jika dilakukan secara tertutup. Hal ini penting untuk kembali meletakkan posisi Banggar dalam fungsi singkronisasi dan kebijakan umum anggaran saja di pembahasan tahap I. (Pasal yang diuji: Pasal 107 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 27 Tahun 2009)
Kedua, pada bagian ini, kami meminta MK agar meluruskan kerancuan ketatatanegaraan dan peluang konflik kepentingan yang dapat berujung pada korupsi akibat kewenangan DPR yang absolut dalam membahas anggaran secara rinci. Selain DPR tidak akan mampu memabahas secara rinci, kewenangan DPR tersebut rentan disalahgunakan menjadi praktek ijon anggaran. Karena sejak awal DPR telah tahu mata anggaran sampai unit kegiatan yang sangat rinci. Terungkap juga dalam keterangan ahli di MK, bahwa kewenangan ini merusak ketatanegaraan Indonesia, khususnya dalam hal sistem Presidensial yang kita anut. Sangat rancu ketika DPR yang ikut menyusun APBN secara rinci, tapi kemudian juga menjadi pengawas untuk pelaksanaan APBN yang ikut dibahasnya.
Pemohon ingin agar DPR cukup membahas anggaran secara umum agar arah politik anggaran jelas dan kemudian setelah pengesahan APBN, DPR lebih memperkuat fungsi pengawasannya. (Pasal yang diuji: membatalkan Pasal 157 ayat (1) huruf c sepanjang frase “rincian” Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 dan mempertegas tafsir Pasal 15 ayat (5) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 159 ayat (5) UU No. 27 Tahun 2009)
Ketiga, pada poin ini yang diuji adalah praktek perbintangan atau pemblokiran anggaran. Pemohon mendalilkan praktek yang selama ini sering terjadi di DPR ataupun Kementrian Keuangan adalah sesuatu yang illegal secara hukum. Karena proses pembahasan APBN di DPR harus berhenti sejak palu paripurna diketok dan pengesahan RUU APBN menjadi UU APBN dilakukan. Praktek pemblokiran anggaran selama ini juga rentan disimpangi sehingga berpeluang menjadi alat barter baru dalam praktek mafia anggaran. (Pasal yang diuji: Pasal 71 huruf (g) dan Pasal 156 huruf a dan b UU 27 tahun 2009); dan,
Keempat, poin ini hendak memperjelas anggaran apa saja yang boleh diajukan dalam APBN Perubahan. Dari sejumlah kasus korupsi yang diamati, korupsi anggaran dalam proyek APBN-Perubahan sangat mengemuka, diantaranya:
- Kasus suap terkait pembangunan Wisma Atlet senilai Rp. 191.672.000.000,- yang bersumber dari APBN-Perubahan Tahun 2010 (proses: Putusan inkracht di Mahkamah Agung dengan terdakwa M. Nazaruddin, vonis 7 tahun penjara);
- Kasus pengadaan, pemasangan, dan perawatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang merugikan keuangan Negara Rp. 2.729.473.128,- dan Rp. 173.514.818,- yang bersumber dari anggaran APBN-Perubahan tahun 2008 (proses: sudah divonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dengan terdakwa: Timas Ginting divonis 2 tahun penjara dan Neneng Sriwahyuni divonis 6 tahun penjara);
- Pengadaan kitab suci Al Quran APBN-Perubahan 2011 dan APBN 2012 pada Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama (proses: terdakwa: Zulkarnain Djabar divonis bersalah dan divonis 15 tahun penjara, dan anaknya Dendy Prasetya divonis 8 tahun penjara);
Seharusnya, APBN-P hanya diperbolehkan jika benar-benar terjadi perubahan sesuai dengan pasal yang diuji di sini dan tidak diperbolehkan untuk proyek-proyek baru. (Pasal yang diuji: Pasal 161 ayat (4) dan (5) UU No. 27 Tahun 2009 dan Pasal 156 butir (c) angka (2) dan Pasal 161)
Tidak semua pasal yang diuji kami minta pembatalan ke MK, sebagian pasal kami minta dinyatakan konstitusional bersyarat (conditionally constitusional). Batu uji yang diajukan adalah Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undangundang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Jika pembahasan APBN ternyata menyimpang dari praktek ketatanegaraan Indonesia dan menimbulkan peluang mafia anggaran/korupsi, tentu saja pasal-pasal tersebut melanggar UUD 1945 dimana APBN ditujukan untuk kemakmuran rakyat, bukan kemakmuran segelintir orang yang menguasai pengambilan keputusan anggaran, apalagi kemakmuran para koruptor.
Perkembangan Persidangan
Sampai saat ini telah dilakukan 6 (enam) kali persidangan, yaitu: Persidangan Pendahuluan (11 dan 30 April 2013), serta pemeriksaan substansi perkara/persidangan Pleno (5 Juni 2013, 24 Juni 2013, 11 Juli 2013 dan 25 Juli 2013). Pada persidangan Pleno tersebut, telah diajukan 6 ahli dan 1 saksi dengan poin-poin penjelasan sebegai berikut:
AHLI YANG TELAH DIAJUKAN:
- Siswo Sujanto, Ahli Keuangan Negara
- Ahmad Erani Yustika, Guru Besar Ilmu Ekonomi Kelembagaan di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya
- Kuskridho Ambardi, Doktor Ilmu Politik di FISIP UGM
- Ari Dwipayana, Doktor Ilmu Politik di FISIP UGM
- Saldi Isra, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas
- Zainal Arifin Mochtar Husein, Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Dan kami juga menghadirkan 1 ahli, Sekretaris Jenderal FITRA, Yuna Farhan yang menjelaskan hasil pemantuan pelaksanaan dan penyimpangan kewenangan Anggaran selama 10 tahun bekerja di FITRA. Berikut tabulasi resume keterangan masing-masing ahli:
No. |
Nama Ahli |
Uraian Ketetangan Ahli |
1. |
Siswo Sujanto |
· Disampaikan pada persidangan 24 Juni 2013 · Legislatif tidak mungkin mampu membahas anggaran secara rinci karena memiliki 3 keterbatasan utama, yaitu: keterbatasan waktu (time constrain); keterbatasan kompetensi (competency constrain); dan, keterbatasan pendidikan (educational constrain). · Waktu untuk pembahasan anggaran oleh legislatif sangat pendek hanya 2,5 bulan, sehingga tidak mungkin pembahasan secara rinci dilakukan. · Legislatif seharusnya membahas anggaran secara makro saja |
2. |
Ahmad Erani Yustika |
· Disampaikan pada persidangan 24 Juni 2013 · Keterlibatan DPR dalam pembahasan anggaran haruslah dimaknai ikut serta menentukan “Politik Anggaran”, yaitu untuk fungsi stabilisasi, alokasi dan distribusi anggaran · Badan Anggaran seharusnya fokus pada perjuangan politik anggaran, tidak justru ikut melakukan pembahasan angagran secara rinci · Ketentuan perubahan APBN tidak punya standar yang jelas. Seharusnya jika perancanaan matang, perubahan tidak perlu dilakukan setiap pertengahan tahun, kecuali ada turbulensi ekonomi. |
3. |
Kuskridho Ambardi |
· Disampaikan pada persidangan 11 Juli 2013 · Ada gejala pemusatan kekuasaan anggaran di Banggar DPR selama ini. Banggar bisa membahas dari hulu sampai hilir dan bahkan seolah-olah memiliki hak Veto. Ini membuka potensi abuse of power. · Menjadi pertanyaan, siapa yang bisa men-check atau mengawasi Badan Anggaran? · Seharusnya anggota Badan Anggaran tidak dipilih satu kali untuk 5 tahun, karena ini tidak menimbulkan kontrol pada anggota tersebut. Seharusnya anggota Banggar selalu berganti secara periodic. · Dalam penelitian ahli tentang politik kartel, tidak terdapat pengawasan silang di DPR. · Dana politik parpol dihubungkan dengan kewenangan absolut Banggar dari hulu-hilir menimbulkan kekhawatiran akibat penyimpangan, kickback dan lain-lain. · Kekuasaan Banggar yang sangat besar harus ditinjau ulang. |
4. |
Ari Dwipayana |
· Disampaikan pada persidangan 11 Juli 2013 · Korupsi politik adalah sisi gelap demokrasi. Kehendak mewujudkan kesejahteraan melalui demokrasi tidak bisa tercapai karena praktek korupsi politik tersebut. · Korupsi politik terjadi ketika posisi dan kewenangan yang dihasilkan oleh pemilihan demokratis disalahgunakan untuk perburuan rente (rent-seeking) terhadap sumber dana negara; · Keterbasan sumber dana partai politik mendorong pencarian dana secara illegal · Partai memang tidak pernah secara formal menugaskan anggotanya untuk menggalang dana namun elit pengendali partai seringkali seringkali menugaskan “orang kepercayaan” untuk duduk di posisi strategis DPR, termasuk badan anggaran. · Kewenangan DPR membahas anggaran sampai sangat rinci membuka runag manuver politik yang sangat besar dari hulu hingga hilir. · Demokrasi harus ditata kembali agar benar-benar mencapai tujuan kesejahteraan rakyat bukan dibajak oleh kepentingan ekonomi dan politik segelintir elit di negeri ini. |
5. |
Saldi Isra |
· Disampaikan pada sidang 25 Juli 2013 · Jika dilihat dari proses pembentukan UUD 1945 pada zaman kemerdekaan hingga saat ini, dapat disimpulkan keterlibatan DPR dalam membahas anggaran hanya sampai tingkat menentukan pagu anggaran dan/atau besaran alias persentase anggaran bagi masing-masing kementerian dan lembaga · keterlibatan DPR dalam pelaksanaan pembahasan dan persetujuan harus dimaknai sebagai pintu masuk untuk dapat melaksanakan fungsi pengawasan keuangan negara · Jika DPR juga ikut membahas anggaran secara rinci, maka DPR seolah-olah juga memposisikan diri sebagai Eksekutif. Hal ini menimbulkan kerancuan ketatanegaraan. · Pemblokiran anggaran atau pemberian tanda bintang adalah praktek illegal atau inkonstitusional dalam pembahasan anggaran di DPR |
6. |
Zainal Arifin Mochtar Husein |
· Disampaikan pada sidang 25 Juli 2013 · Terdapat pembengkakan kewenangan DPR dalam membahas anggaran · Peran parlemen berada pada pengawasan dan persetujuan atas usulan soal pendapatan dan belanja negara the rights to exercise over side and to authorize the executive to raise revenue and spend money. · Praktek korupsi dan mafia anggaran selama ini sangat merugikan rakyat Indonesia. |
Selain itu, kami juga telah mengajukan permohonan resmi pada Mahkamah Konstitusi untuk menghadirkan KPK sebagai pihak terkait sejak 11 Juli 2013. Namun, hingga persidangan terakhir 25 Juli 2013 lalu, belum ada keputusan tegas dari MK apakah KPK akan dihadirkan atau tidak. Padahal keterangan KPK yang telah menangani kasus korupsi 72 anggota DPR/D sangat strategis dan penelitian KPK tentang potensi korupsi dalam pembahasan anggaran secara rinci yang dapat berakibat pada praktek mafia anggaran sangat perlu disampaikan untuk kepentingan pembuktian.
Jakarta, 2 Agustus 2013
Koalisi Penyelamatan Uang Rakyat
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) - Forum Indonesia untuk Transparansi Indonesia (FITRA) – Indonesia Budget Center (IBC) – Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas – Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM (PuKAt) – Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) – Indonesia Legal Rountable (ILR)