Menjadikan sebagai Bulan Antikorupsi
Bangsa ini baru saja merayakan 63 tahun kemerdekaannya. Tentu perjalanan bangsa ini tidak tergolong muda lagi dalam bentuk sebuah negara. Banyak prestasi yang diraih pemerintah, namun masih banyak persoalan yang belum dapat diselesaikan.
Lihat saja bagaimana angka kemiskinan pada Maret 2008 yang mencapai 35 juta jiwa atau 15,5% dari jumlah penduduk. Angka ini masih cukup tinggi. Belum lagi angka pengangguran yang masih tinggi, mencapai 10% dari jumlah penduduk.
Sistem demokrasi yang kita miliki melalui perjuangan berdarah-darah belum mampu memberikan kesejahteraan sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi. Sistem demokrasi langsung telah menghasilkan kekecewaan yang semakin hari semakin besar.
Harapan bahwasanya demokrasi dapat membuat hidup mereka lebih baik masih mimpi belaka. Pemimpin yang dipilih melalui pemilihan langsung, baik itu dalam pilkada, pilpres, maupun pemilu tidak dapat menepati janji-janji yang dilontarkan saat kampanye dan membuat perubahan yang lebih baik lagi buat hidup mereka.
Padahal, negara kita adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Tambang minyak bumi, gas, batu bara, timah, dan bahan mineral lainnya banyak tersedia untuk dieksploitasi. Belum lagi kekayaan alam seperti hutan dan perkebunan yang terbentang luas.
Namun, ada persoalan yang tidak masuk akal di negeri ini. Ternyata masyarakat kita belum sejahtera. APBN masih terseok-seok, bahkan selalu mengalami defisit. Buruh lapar menjadi sesuatu yang lumrah dijumpai. Bahkan, ada ibu yang tega membunuh anaknya hanya karena tidak lagi mampu memberi makan anaknya tersebut.
Salah Urus kekayaan Negara
Melihat potensi kekayaan alamnya, sewajarnya rakyat Indonesia hidup dalam kemakmuran. Negara seharusnya mampu memberikan kesejahteraan. Namun, hal ini masih jauh dari harapan. Penyebab utama adalah salah urus kekayaan negara. Kekayaan negara terbagi menjadi dua macam, yaitu kekayaan yang sudah/dapat dihitung secara nilai ekonomis. Misalnya, BUMN.
Menurut Departemen Keuangan, berdasarkan hasil inventarisasi kekayaan negara yang baru pertama dilakukan, aset negara berjumlah Rp 1.400 triliun. Kedua, aset yang sifatnya masih potensi sumber daya alam.
Pemahaman terhadap kekayaan negara ini telah membuat terjadinya abuse of power yang membuat korupsi menjadi hal lumrah untuk dilakukan dan bukan menjadi sesutau yang tabu. Bahkan, korupsi dilakukan secara berjamaah untuk memperoleh keuntungan dari kekayaan negara yang diamanahkan kepada para penguasa.
Semrawutnya sistem birokrasi kita telah melanggengkan penyalahgunaan kekayaan negara. Kondisi itu diperburuk oleh faktor kultural, seperti lemahnya etika pejabat publik. Dalam beretika, mereka tidak memisahkan secara ketat antara urusan pribadi (private) dengan publik. Bahkan, cenderung menyalahgunakan kekuasaan. Saat ini, terkesan makin tinggi jabatan publik yang dipegang seseorang semakin besar kesempatan ngumpetin sesuatu.
Faktor kedua adalah etos kerja yang rendah sehingga bangsa ini tidak produktif. Rendahnya etos kerja menyebabkan seseorang sering potong kompas dan tidak suka akan proses yang panjang. Aset negara lebih sering dijual kepada asing daripada diolah dengan susah payah.
Ketiga, karakter pemegang kekuasaan yang materialis. Orang-orang seperti ini selalu mencari kekuasaan, harta benda, dan dorongan syahwat lainnya. Kepentingan pribadi menjadi prioritas, sementara kesejahteraan rakyat bukan sesuatu yang penting.
Momentum Ramadan
Korupsi telah membuat bangsa kita ini terpuruk. Namun, usaha memberantasnya masih belum berhasil. Korupsi telah menghancurkan semua sendi kehidupan masyarakat. Dalam Ramadan kita tidak hanya menahan haus dan lapar dari mulai terbit matahari sampai tenggelam matahari, namun lebih dari itu.
Di antara adab berpuasa adalah menahan pandangan mata, menjaga lidah dari ucapan-ucapan yang diharamkan dan dimakruhkan atau dari ucapan yang tidak bermanfaat, serta menjaga seluruh anggota badan.
Dalam hadis riwayat Al-Bukhari disebutkan bahwa Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barang siapa tidak meninggalkan perkataan palsu dan pengamalannya, maka Allah tidak mempunyai keperluan untuk meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya)." (HR Al-Bukhari, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).
Puasa juga dapat melatih kita untuk mendidik jiwa. Menurut Al-Muhasibi, jika seseorang tahu bahwa tidak bisa maksimal untuk mendidik jiwanya, hendaknya dia mulai memberikan sentuhan rasa lapar. Ketika merasa lapar itulah jiwa seseorang biasanya tunduk dan patuh, sehingga seseorang mulai bisa mencela jiwanya sendiri dan mengingatkannya pada azab Allah dan tempat kembalinya kelak di sisi Allah.
Dari perjalanan Ramadan ini diharapkan lahir insan-insan yang mampu menjadikan sebagai gerak awal entitas bangsa ini untuk mewujudkan clean and good governance, yakni Indonesia yang bersih dari korupsi.
Dalam menjalankan ibadah Ramadan, ada beberapa hal yang dapat menjadikan bangsa ini terbebas dari korupsi. Pertama, komitmen perubahan. Orang yang berpuasa mampu mengubah diri dari kebiasaan sehari-hari. Biasanya makan dan minum dan lainnya, tetapi selama puasa dia tidak melakukannya. Ini perubahan yang sangat mendasar, perubahan yang sangat bermakna, dan sekaligus perubahan mindset.
Bila selama ini korupsi menjadi gaya hidup para birokrat, selama menjalankan ibadah puasa Ramadan korupsi tidak dilakukan. Setelah Ramadan, korupsi juga tidak dilakukan lagi.
Kedua, membangun budaya kejujuran. Kejujuran yang telah kita praktikkan adalah sangat luar biasa. Puasa adalah ibadah yang sangat bergantung pada kejujuran. Hanya pribadi kita dan Allah semata yang mengetahui apakah kita menjalankan ibada puasa atau tidak. Kalau sebelum bulan puasa kita mudah berbohong kepada orang lain, kepada keluarga kita dan kepada siapa saja, selain kepada Allah. Kita dengan mudah makan atau minum dalam bulan puasa. Kita dengan mudah mengelabui orang lain untuk dipersilakan makan atau minum. Namun, kita konsisten jujur menjalankan puasa.
Budaya korupsi berkembang karena kejujuran telah hilang. Kejujuran tidak lagi penting. Namun, pada Ramadan ternyata kita sanggup dan bisa jujur. Maka, setelah Ramadan, budaya jujur bisa jadi budaya baru yang kita pegang teguh.
Ketiga, memahami rasa penderitaan orang lain. Ketika kita lapar, kita akan merasakan betul apa yang dirasakan orang lapar. Demikian pula ketika kita merasakan dahaga dan kekurangan-kekurangan yang lain. Ini harus memberi inspirasi untuk tidak menyia-nyiakan mereka yang berkekurangan. Budaya korupsi yang telah dilakukan mengakibatkan penderitaan rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pemberantasan korupsi di negara ini sangat bergantung pada kinerja umat Islam Indonsesi menjalankan ibadah puasa Ramadannya. Semoga dalam Ramadan ini kita semakin tahu diri kita sendiri. Semoga!
Hj Mutammimul Ula SH , anggota DPR Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera)