Menjerat Cukong Pencuri Kayu
Menteri Kehutanan telah menyerahkan nama-nama cukong pencuri kayu kepada Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia dengan harapan para cukong ini segera masuk penjara dan hutan dapat dilestarikan sedikit demi sedikit. Harapan itu kemudian menjadi kekecewaan manakala aparat penegak hukum yang telah diberi informasi rahasia tersebut tidak mampu berbuat apa-apa. Di mana kemacetan upaya menjerat para cukong pencuri kayu ini? Setidaknya ada empat kendala bagi aparat penegak hukum untuk menjerat para cukong ini.
Pertama, adanya kelemahan hukum. Mengejar para cukong dengan UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan akan menghadapi beberapa kendala. Undang-undang ini mengarahkan penegak hukum untuk menemukan bukti fisik tentang penguasaan kayu ilegal, antara lain memiliki, memegang, dan membawa kayu bulat dan produk hutan lainnya tanpa dokumen yang sah. Karena fokusnya pada pencarian bukti fisik, target yang paling mudah didapat oleh penegak hukum adalah sopir truk yang mengangkut kayu curian. Seperti dinyatakan Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara, penegak hukum akan mengalami kesulitan untuk membuktikan adanya hubungan antara bukti fisik tersebut dan cukong pencuri kayu.
Namun, kelemahan hukum ini sudah bisa diatasi dengan menerapkan UU Nomor 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang memberikan wewenang kepada penegak hukum untuk melihat dan membuktikan hubungan keuangan antara cukong, para pelaku pencuri kayu, dan para pejabat yang menyalahgunakan wewenangnya (korupsi) dengan memperoleh imbalan dari para cukong.
Kedua, kelemahan kapasitas dan sumber daya penegak hukum. Aparat penegak hukum mungkin belum memiliki pengalaman dalam menerapkan UU Nomor 25/2003. Saat ini banyak kegiatan telah dilakukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk meningkatkan kapasitas aparat penegak hukum dan hakim dalam bentuk pelatihan dan lokakarya, baik pada tingkat pusat maupun daerah. Dengan pelatihan ini seharusnya aparat penegak hukum segera dapat membuktikan adanya hubungan keuangan antara para cukong, koruptor, dan pencuri kayu. Penegak hukum tidak memerlukan ilmu pembuatan roket untuk menjerat mereka melalui undang-undang ini.
Sampai Mei 2004, terdapat 121 kasus pencurian kayu di bawah investigasi Kepolisian RI. Kejaksaan Agung juga telah menerima nama-nama orang yang dicurigai sebagai cukong pencurian kayu di Indonesia. Yang perlu dilakukan oleh polisi atau jaksa adalah mencari informasi mengenai bank yang membantu para cukong dan koruptor mencuci uang hasil penjualan kayu curian.
Setelah itu, mereka dapat meminta agar bank yang bersangkutan melaporkan transaksi keuangan mengenai para cukong dan koruptor tersebut kepada PPATK. Selanjutnya, polisi akan menerima laporan analisis adanya indikasi tindak pidana pencucian uang dari PPATK. Polisi kemudian hanya perlu mencari bukti sesuai dengan indikasi yang diberikan oleh PPATK.
Langkah-langkah ini telah tertuang dalam Surat Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) kepada semua kepala polda dan direktur di jajaran Bareskrim Polri pada November 2004. Karena itu, masalah kapasitas dan dasar hukum seharusnya sudah tidak menjadi kendala untuk menjerat para cukong pencuri kayu. Persoalan dana operasional seharusnya juga bukan kendala untuk menjerat para cukong ini. Tidak diperlukan dana yang besar bagi polisi untuk melakukan langkah-langkah di atas karena sebagian besar pencarian bukti transaksi keuangan telah dilakukan oleh bank dan PPATK.
Ketiga, kurangnya koordinasi dan pemahaman antara instansi penegak hukum, kehakiman, perbankan, dan kehutanan. UU Tindak Pidana Pencucian Uang adalah undang-undang yang dirancang untuk dapat menjerat para penjahat besar di tanah air ini. Karena itu, banyak terobosan hukum yang diberikan oleh undang-undang ini. UU ini mengatasi masalah kerahasiaan bank, memberikan program perlindungan khusus bagi pelapor dan saksi, serta mewajibkan terdakwa pencucian uang membuktikan bahwa aset yang dimilikinya bukan berasal dari sebuah kejahatan.
Pencucian uang adalah sebuah kejahatan yang terkait dengan penyembunyian atau penyamaran hasil-hasil dari kejahatan asal. Untuk menuntut seorang penjahat pencucian uang, pengadilan tidak perlu terlebih dulu membuktikan adanya kejahatan asal seperti korupsi, kejahatan perbankan, dan pencurian kayu. Sayangnya, para pihak yang berwenang belum memiliki koordinasi dan pemahaman yang sama tentang terobosan-terobosan hukum ini.
Keempat, kurangnya insentif untuk menjerat cukong pencurian kayu. Bank dan penyedia jasa keuangan (PJK) lainnya adalah ujung tombak rezim antipencucian uang. Karena banyak kasus pencurian kayu dan korupsi di sektor kehutanan telah menjadi informasi publik, PPATK telah mengingatkan perbankan untuk melaporkan nasabah yang terkait dengan kejahatan pencurian kayu dan korupsi kepada PPATK. Namun, sampai saat naskah ini ditulis, belum ada bank yang melaporkannya.
Bank memiliki insentif yang besar untuk tidak melaporkan para cukong pencurian kayu. Nasabah di bidang kehutanan adalah nasabah utama (prime customer) bank. Industri kehutanan adalah pelaku penting dalam perekonomian Indonesia dengan nilai ekspor yang mencapai lebih dari US$ 6 miliar (sekitar Rp 54 triliun) per tahunnya. Bank dan PJK lainnya juga belum melihat manfaat dari upaya kooperatif dengan menjerat cukong pencurian kayu atau koruptor. Para pejabat bank yang bersangkutan khawatir dimutasikan ke tempat yang kering dan suram jika berani melaporkan para cukong ini. Bahkan beberapa bankir melaporkan bahwa mereka telah diintimidasi oleh oknum polisi yang menerima laporan transaksi keuangan mencurigakan (STR) mereka.
Hal yang hampir sama dialami oleh polisi dan jaksa. Walaupun telah memperoleh pelatihan dan informasi yang cukup, sampai saat ini kepolisian dan Kejaksaan Agung belum juga menetapkan terjadinya kasus kejahatan pencucian uang yang terkait dengan tindak pidana pencurian kayu yang sedang dalam investigasi mereka. Banyak laporan yang menyatakan bahwa informasi yang sampai kepada polisi atau jaksa diolah untuk kepentingan pribadi dan jaringan oknum polisi atau jaksa dan bukan untuk menangkap para cukong. Para polisi dan jaksa yang mencoba menerapkan hukum juga khawatir dirinya akan dimutasikan ke tempat yang kering dan suram masa depannya.
Untuk mengatasi kondisi ini, dua hal mendasar perlu dilakukan. Pertama, memperkuat dasar hukum. Dewan Perwakilan Rakyat diharapkan memberikan dukungan hukum kepada PPATK untuk memperoleh sumber daya yang cukup buat mengawasi lembaga keuangan dan memberikan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada PJK yang gagal menerapkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang.
DPR perlu mengubah undang-undang itu untuk memungkinkan PPATK melakukan investigasi dan penuntutan tindak pidana pencucian uang. Sistem antipencucian uang ini seharusnya dapat digunakan untuk mengurangi kejahatan asal. DPR perlu memberikan dasar hukum agar PPATK diizinkan memberikan hasil analisisnya kepada pihak yang berwenang untuk tujuan memerangi kejahatan asal seperti kejahatan perbankan, korupsi, dan pencurian kayu.
Kedua, memberikan penghargaan dan sanksi. Pegawai bank dan PJK yang melaporkan para cukong pencuri kayu dan koruptor di bidang kehutanan harus diberi penghargaan oleh manajemen bank yang bersangkutan dan bank yang kooperatif harus diberi penghargaan oleh Bank Indonesia, PPATK, dan kepolisian. Sebaliknya, bank dan pegawai bank atau PJK yang tidak kooperatif harus dihukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Polisi dan jaksa yang berhasil menjerat dan memejahijaukan para cukong dan koruptor juga harus mendapatkan promosi. Pemimpin kepolisian dan kejaksaan juga harus mendapatkan promosi. Sebaliknya, semua pemimpin kepolisian dan kejaksaan yang tidak mampu berbuat apa-apa dalam satu tahun harus dipensiunkan dan digantikan oleh generasi berikutnya. Sehingga terjadi percepatan regenerasi institusi penegak hukum di Indonesia.(Bambang Setiono, Forest and Governance Program, Center for International Forestry Research)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 24 Februari 2005