Menjerat Korporasi, Menyelamatkan Hutan dari Korupsi
Laju kerusakan hutan (deforestasi) Indonesia adalah salah satu yang tercepat di dunia. Di tanah air, kejahatan kehutanan juga bukan hal baru. “Tapi, penegak hukum masih sulit menjerat korporasi kehutanan. Ada 124 kasus kejahatan kehutanan dalam rentang tahun 2001 – 2012,” jelas Lalola Easter, peneliti ICW, dalam konferensi pers tentang temuan ICW soal kejahatan sektor kehutanan di kantor ICW, Minggu (27/10).
Kerusakan alam dan kerugian negara akibat kejahatan kehutanan bisa jadi pintu masuk penerapan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. UU ini, rupanya, bisa membantu kelemahan UU Kehutanan. ICW menilai upaya penegakan hukum di sektor kehutanan cukup bermasalah. Mulai dari aturan yang tumpang tindih hingga lemahnya Undang-Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 baik secara norma ataupun dalam penerapan. Selama ini, fokus pemberantasan kejahatan kehutanan hanya pada penerapan UU Kehutanan.
Sementara itu, UU Pencucian Uang No. 8 Tahun 2010 bisa menjerat hasil tindak pidana kejahatan kehutanan. “Perusahaan sering dapat izin lewat praktek korupsi. Ini terbukti dari banyak perkara kejahatan kehutanan,” kata Lalola. Hasil kejahatan kehutanan pun bisa ‘dibersihkan’ lewat pencucian uang.
Lalola menjelaskan bahwa korupsi hanya satu contoh kejahatan kehutanan. “Ada empat bentuk utama kejahatan kehutanan yang kerap dilakukan, yaitu: alih fungsi kawasan dan hasil hutan tanpa izin, penghindaran atau manipulasi pajak, pembiaran beroperasi tanpa izin, serta penyerobotan lahan,” ungkap Lalola.
“Jika penegak hukum dapat menjerat korporasi sebagai pelaku kejahatan kehutanan, ini bisa jadi langkah maju,” kata Lalola. Ia lalu mencontohkan, “Kerugian negara dalam kasus korupsi yang melibatkan mantan Bupati Palelawan saja, jumlahnya mencapai Rp1,2 triliun. Tapi, asset recovery (pengembalian kerugian negara) belum maksimal, karena korporasi tidak dijerat.”
Pejabat daerah juga banyak melakukan korupsi sektor kehutanan untuk menyokong ongkos dana pemilukada. “Misalnya dengan obral izin lahan pertambangan kepada perusahaan, suap dan gratifikasi dalam usaha mendapat izin, pemanfaatan kawasan dan hasil hutan di luar izin, hingga penghindaran pajak,” jelas Lalola lagi.
Yustinus Prastowo, pengamat pajak, mengungkapkan bahwa kebijakan sektor kehutanan dan perkebunan sejak Orde Baru hingga saat ini tidak mengalami perubahan berarti. “Illegal logging, money laundering, transfer pricing, dan illicit transfer tetap marak terjadi dan pajak menjadi wajah karut marut tata kelola sektor ini,” jelas Prastowo.
Prastowo mengemukakan beberapa modus penghindaran pajak, di antaranya: tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion (pengemplangan pajak), model dan desain tax planning, dan model anti-avoidance rules.
Ia mengakui bahwa wajib pajak sektor kehutanan dan perkebunan umumnya adalah perusahaan terintegrasi, sehingga memudahkan tax planning sekaligus menyulitkan pemeriksaan pajak. “Skema penghindaran pajak yang umum dipraktikkan adalah CFC, conduit company, thin capitalization, dan transfer pricing,” jelas Prastowo lagi.
“Celah pajak sektor kehutanan dan perkebunan sangat besar. Harusnya dari dua sektor ini, kita bisa memungut pajak kira-kira Rp 150 - 200 triliun per tahun,” ungkap Prastowo prihatin. Tapi kenyataannya pajak yang berhasil dipungut dalam lima tahun terakhir hanya berkisar Rp 13-15 triliun per tahun atau 2,25% dari total penerimaan pajak.
Indonesia, ‘juara’ perusak hutan
Menurut data Human Right Watch tahun 2006, Indonesia adalah negara terbesar ketiga dengan hutan terluas setelah Brazilia dan Republik Kongo. “Indonesia adalah eksportir hasil hutan terbesar di dunia, melebihi total ekspor negara Afrika dan Amerika Latin,” jelas Prastowo.
Lalola menyambung, “Luas wilayah hutan yang raib tiap tahun mencapai 2,76 juta hektar, sekitar 3% dari luas total kawasan hutan di Indonesia.” Pada tahun 2008, Badan Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan mencatat bahwa laju deforestasi di 7 pulau besar Indonesia mencapai 1,09 juta hektar.
“Di tahun yang sama, Indonesia juga mencetak rekor Guiness Book of World Records sebagai negara dengan laju deforestasi tercepat, di mana setiap hari ada sekitar 51 km2 hutan yang dihancurkan,” tutur Lalola. Berikut tabel sebaran kejahatan kehutanan di Indonesia.
Daerah ‘Kejahatan Kehutanan’ |
Jumlah |
Kota Jambi |
13 |
Kabupaten Sarolangun |
11 |
Kabupaten Ketapang |
10 |
Kabupaten Muaro Jambi |
9 |
Kota Pekanbaru |
7 |
Kabupaten Tebo |
6 |
Kabupaten Batanghari |
5 |
Jakarta Pusat (nasional) |
5 |
Kabupaten Bungo |
3 |
Kabupaten Tanjungjabung Barat |
3 |
Kota Samarinda |
3 |
Kota Palembang |
3 |
Kabupaten Kerinci |
2 |
Kabupaten Tanjungjabung Timur |
2 |
Kabupaten Aceh |
1 |
Kabupaten Bone |
1 |
Kabupaten Boven Digoel |
1 |
Kabupaten Luwu |
1 |
Kabupaten Maluku Barat Daya |
1 |
Kabupaten Muara Bungo |
|
Kabupaten Ogan komering Ulu Timur |
1 |
Kabupaten Pinrang |
1 |
Kabupaten Seram Bagian Timur |
1 |
Kabupaten Toba Samosir |
1 |
Jakarta Utara |
1 |
Kota Jayapura |
1 |
Kota Medan |
1 |
Kota Padang |
1 |
Tabel 2. Sebaran kejahatan kehutanan di Indonesia
Dari 124 kasus kejahatan kehutanan, aktor yang paling banyak dijerat dengan pasal pidana adalah: operator lapangan (37 orang), direktur perusahaan (20 orang), dan swasta (15 orang). Berikut tabel daftar jabatan atau pekerjaan aktor yang dijerat pasal kejahatan kehutanan.
Jabatan/ Pekerjaan Aktor |
Jumlah |
Operator lapangan |
37 |
Swasta (Direktur) |
20 |
Masyarakat |
15 |
Swasta |
13 |
Pegawai Negeri Sipil |
10 |
Kepala Dinas |
9 |
Anggota DPR |
6 |
Polisi |
4 |
Bendahara |
2 |
Bupati |
|
Gubernur |
2 |
Kepala desa |
2 |
KPA (Kuasa Pemegang Anggaran) |
2 |
PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) |
2 |
PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) |
2 |
Tabel 1. Jabatan/ pekerjaan aktor yang dijerat pasal kejahatan kehutanan
“Penegak hukum masih enggan menggunakan delik korporasi. Padahal, aturan soal kejahatan korporasi di Indonesia telah ada sejak tahun 1950-an, dan juga telah diatur di UU Tindak Pidana Korupsi, UU Pencucian Uang dan lain-lain,” jelas Lalola. Sebabnya, penegak hukum sulit membuktikan korporasi sebagai pelaku kejahatan di persidangan. Selain itu, ada keterbatasan tenaga penyidik berkualitas.
Prastowo menyarankan agar pemerintah memperbaiki administrasi wajib pajak dan mendorong pemeriksaan transfer pricing dan keterkaitan. “Ini supaya menciptakan kepastian hukum,” jelasnya.
Penegak hukum juga harus mulai menggunakan pasal-pasal pidana yang dapat menjerat korporasi di sektor Kehutanan. “Khususnya KPK, supaya menerapkan delik korporasi dalam korupsi kehutanan seperti kasus Pelelawan,” tegas Lalola.