Menjerat Oknum Perwira Polisi
Institusi kepolisian kembali menjadi sorotan masyarakat.
Institusi kepolisian kembali menjadi sorotan masyarakat. Setelah diberitakan bahwa sejumlah perwira polisi diduga terlibat dalam pembalakan liar (illegal logging) dan perjudian, belum lama ini masyarakat dikejutkan oleh laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai 15 nama perwira Kepolisian RI yang rekeningnya mencurigakan. Dalam laporan PPATK, yang dilansir beberapa media massa, ditemukan adanya rekening pribadi perwira Polri yang tidak wajar, konon paling kecil nilainya mencapai Rp 3 miliar.
Banyak pihak memiliki kecurigaan bahwa uang yang disimpan dalam rekening bank para perwira Polri tersebut berasal dari hasil tindak pidana (judi, minuman keras, penyelundupan, pembalakan liar, dan korupsi). Sebab, sulit dibayangkan bagaimana mungkin seorang perwira Polri yang memiliki gaji pokok paling tinggi Rp 1,9 juta (berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2003 tentang Peraturan Gaji Anggota Polri) memiliki saldo rekening bank hingga miliaran rupiah.
Tidak bisa tidak, temuan dari PPATK ini harus ditindaklanjuti karena perwira Polri yang memiliki rekening tidak wajar tersebut sedikitnya dapat dijerat dengan dua undang-undang sekaligus.
Pertama, UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 6 undang-undang itu pada intinya menyebutkan, bagi setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, atau penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 15 miliar.
Kedua, UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apa yang dilakukan oleh sejumlah perwira Polri tersebut dapat dikategorikan melanggar tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi. Yang dimaksud gratifikasi di sini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Dalam Pasal 12B UU Nomor 20 Tahun 2001 disebutkan, setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ancaman pidana yang dapat dikenakan adalah penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Namun, pidana tersebut menjadi gugur jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal pemberian tersebut diterima. Selanjutnya, KPK menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. Dalam kasus ini belum ada satu pun perwira Polri yang diberitakan telah melaporkan sejumlah pemberian melalui rekening pribadi kepada KPK.
Meskipun hasil temuan rekening yang tidak wajar ini telah dilaporkan PPATK kepada Kepala Polri, timbul rasa pesimistis bahwa kepolisian akan menindaklanjuti laporan tersebut. Dari pengalaman masa lalu, banyak laporan PPATK yang tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian.
Harus juga dicermati adanya semangat membela institusi (esprit de corps) sebagai sebuah kultur yang masih kuat di setiap institusi penegak hukum. Sulit untuk berharap penyelidik polisi akan bertindak obyektif dan tegas dalam melakukan pemeriksaan terhadap rekan seprofesi. Contohnya bisa dilihat dari pemeriksaan Brigadir Jenderal Polisi Ismoko yang diduga menerima suap dari Adrian Waworuntu, terpidana kasus korupsi BNI. Tindakan yang diberikan masih sebatas sanksi administratif berupa pemindahtugasan jabatan.
Selain kepolisian melakukan penyelidikan, alternatif yang bisa diambil oleh Kepala Polri adalah menyerahkan kasus ini sepenuhnya kepada KPK. Pelimpahan kasus ini kepada KPK diharapkan dapat menghindari konflik kepentingan, membuat pemeriksaan berjalan secara obyektif, minim dari intervensi, dan hasilnya dapat maksimal.
Pelibatan KPK dalam masalah ini sangat mungkin karena UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK secara tegas menyebutkan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
Lepas dari apakah kasus rekening perwira Polri akan diperiksa sendiri oleh kepolisian ataukah diserahkan kepada KPK atau Tim Penuntasan Tindak Pidana Korupsi, saat ini masyarakat menunggu komitmen Kepala Polri, apakah serius menangani kasus di internal Polri atau tidak. Pengusutan rekening perwira Polri akan menjadi batu ujian bagi Kepala Polri. Dan masyarakat menaruh harapan besar kepada Kepala Polri baru yang dikenal bersih dan berkomitmen dalam memberantas perjudian ini.
Emerson Yuntho, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 31 Juli 2005