Mental Sudah Buruk; Remunerasi Perlu Disertai Tata Pemerintahan yang Baik
Gaji besar ternyata tidak menjamin seorang pegawai negeri tidak melakukan korupsi. Berapa pun besar gajinya, jika mentalnya sudah buruk, korupsi tetap akan terjadi. Peningkatan remunerasi sebagai cara reformasi birokrasi ternyata terbukti gagal.
Pendapat itu mengemuka dalam diskusi bertema ”Remunerasi, Korupsi, dan Mafia Pajak” yang diselenggarakan radio Trijaya di Jakarta, Sabtu (3/4). Pembicara yang hadir adalah mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli, pengusaha Poempida Hidayatulloh, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrat Achsanul Qosasih, dan pengamat perpajakan Tarmidzi Taridi.
Achsanul mengemukakan, remunerasi diberikan apabila suatu departemen atau lembaga sudah menjalankan reformasi birokrasi. Ia menyayangkan mengapa Kementerian Keuangan yang lebih dulu diprioritaskan memperoleh remunerasi. Padahal, semestinya lembaga atau institusi lain yang bersentuhan langsung dengan masyarakat yang lebih pantas memperoleh remunerasi lebih dulu.
”Saya bilang, lebih baik reformasi birokrasi dilakukan di TNI, Polri, dan guru. Mereka yang bersentuhan langsung dengan rakyat. Lakukan reformasi birokrasi, lalu berikan remunerasi yang cukup,” kata Achsanul.
Menurut Achsanul, perkara Gayus Tambunan merusak tatanan yang selama ini telah dibangun. Padahal, sebagai lembaga yang menerapkan reformasi birokrasi, tentunya Direktorat Jenderal Pajak telah melakukan pengawasan yang ketat dan mendalam. ”Jangan-jangan, kalau PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) lebih aktif menelusuri, bisa jadi ada banyak kasus seperti Gayus lainnya,” ujar Achsanul.
Komisi XI, ungkap Achsanul, akan berupaya merevisi Undang-Undang Tata Cara Perpajakan, mengantisipasi celah yang mungkin dimanfaatkan seperti yang dilakukan Gayus Tambunan. Komisi XI juga akan memanggil Menteri Keuangan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya perkara Gayus Tambunan ini berikut solusinya.
Rizal Ramli berpendapat, selama ini ada asumsi bahwa Kementerian Keuangan berada dalam posisi paling depan dalam tugas dan fungsinya. Hal itu menjadi alasan dipilihnya Kementerian Keuangan untuk menerapkan reformasi birokrasi yang pertama kalinya.
Kenyataannya, paket remunerasi yang mengiringi reformasi birokrasi tidak berhubungan dengan perbaikan birokrasi dan pemberantasan korupsi. ”Asumsi bahwa gaji naik akan meningkatkan kinerja ternyata tidak terjadi,” ujar Rizal.
Berlawanan dengan Achsanul, Tarmidzi Taridi justru menyatakan mendukung pemberian remunerasi di Ditjen Pajak. Alasannya, kekuasaan di Ditjen Pajak sangat besar sehingga pegawainya harus memperoleh gaji yang cukup besar untuk mengantisipasi penyalahgunaan kekuasaan.
”Tapi, remunerasi yang tinggi harus disertai sistem pemerintahan yang baik. Hal ini yang belum dilakukan oleh Ditjen Pajak,” ujar Tarmidzi.
Oleh karena itu, harus ada kode etik bagi pegawai pajak dan aturan dari Ditjen Pajak mengenai whistle blower atau peniup peluit (pengungkap perkara korupsi). Kode etik harus diatur dengan tepat dan ketat.
Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Chozin Chumaidy mengatakan, peningkatan remunerasi sebagai cara melakukan reformasi birokrasi terbukti gagal. Korupsi yang dilakukan Gayus Tambunan merupakan bukti nyata kegagalan metode itu.
Menurut Chozin, reformasi birokrasi tidak hanya dapat dilakukan dengan memenuhi tingkat kesejahteraan aparatur pemerintahan saja. Hal yang lebih penting dilakukan adalah dengan mereformasi budaya aparat pemerintah dengan mengembalikan roh pengabdian dan jiwa kejuangan pada diri mereka.
”Ini memang tidak mudah, tetapi harus terus-menerus dilakukan sebagai pencerahan dan cuci otak bagi para aparatur pemerintah,” ujar Chozin.(IDR/MZW/EDN/NTA)
Sumber: Kompas, 5 April 2010