Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata: Kalau Semua Serius, Bisa Selesai
Mahkamah Konstitusi memberi tenggat 19 Desember 2009 sebagai batas waktu penyelesaian Rancangan Undang-Undang Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi. Hanya, hingga kini rancangan itu belum kelar. DPR menuding pemerintah sebagai penyebab tak kunjung selesainya rancangan itu karena terlambat menyerahkan draf. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata menampik tudingan itu dan mengatakan DPR mempunyai waktu 14 bulan untuk membahasnya. "Itu bisa selesai dua-tiga hari, kok," kata dia kepada wartawan Tempo, Purwanto dan Sutarto, Kamis pekan lalu. ini Berikut petikannya.
DPR menilai pemerintah terlambat menyerahkan RUU. Komentar Anda?
Desember diputus MK, Januari kita mulai persiapkan. Kami butuh waktu sekitar 16 bulan dari nol menjadi Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. DPR punya waktu 14 bulan. Menurut saya, ini sudah imbang. Manfaatkan waktu yang ada. Seharusnya Anda hadir dalam rapat, jadi tahu siapa yang memperlambat. Kalau saling tuding, nggak enak. Dari awal banyak yang dipersoalkan. Misalnya soal landasan filosofisnya.
Waktu 16 bulan itu dianggap terlalu lama....
Tergantung undang-undangnya. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu lama sekali. Tapi, untuk pemekaran daerah, undang-undangnya cuma fotokopi.
Seharusnya dengan waktu 14 bulan DPR bisa menyelesaikan rancangan ini?
Itu bisa selesai dua-tiga hari, kok.
DPR beralasan ada reses?
Ya, kan mereka sudah tahu ada reses. Dia sudah bisa memperkirakan. Pemerintah hanya menggunakan waktu 16 bulan untuk menyusun dari nol menjadi RUU. Kami harus dengar pendapat KPK, jaksa, polisi, ahli. DPR tinggal bahas. Coba dipikir, siapa yang memperlambat.
Saat pembahasan di DPR, apa saja yang dipermasalahkan?
Mereka tanyakan apa perlu Undang-Undang Tipikor. Apa perlu pengadilan Tipikor? Coba, apa pertanyaan itu masuk akal? Saya jelaskan ini berjam-jam. Ada yang minta agar ditunda dulu menunggu pembahasan Undang-Undang Peradilan Umum. Dari situ bisa ditarik kesimpulan siapa yang menghambat. Apa masih pantas mempertanyakan urgensi Pengadilan Tipikor?
Kalau dari isi, apa saja yang diperdebatkan?
Nggak banyak. Kalau komposisi hakim diperdebatkan, itu pantas. Soal komposisi hakim, pemerintah bisa 2 : 1, 4 : 1, bisa 3 : 2, tergantung perkaranya. Pemerintah tidak ngotot. Kami sampaikan tiga alternatif itu. Tapi ada anggota DPR yang mempersoalkan agar penuntut umum hanya jaksa. Pemerintah ngotot KPK juga sebagai penuntut.
Ketentuan pokok yang tidak bisa ditawar lagi?
Hakim ad hoc harus ada. Hakim ad hoc dibutuhkan karena kita tidak percaya pada hakim biasa. Maka dibuat mayoritas, kalau terjadi voting, menang. Sekarang kita dengar ada yang berpendapat mereka hanya menghukum saja. Satu soal lagi, yaitu soal kewenangan menuntut KPK.
Menurut Bapak, rancangan Pengadilan Tipikor ini bisa selesai tidak.
Mudah-mudahan saja. Saya masih percaya ini selesai. DPR baru kan Oktober. Tanggal 15 Agustus masih bisa. Kalau semua serius, bisa selesai.
Ada yang minta Presiden siapkan perpu?
Kalau DPR mau membuat undang-undang sesuai dengan kehendak rakyat, selesaikan itu. Kalau perpu, DPR tidak bahas. DPR hanya setuju atau tidak.
Sumber: Koran Tempo, 6 Juli 2009