Menteri Hukum dan HAM Akan Kirim Lagi Koruptor ke Nusakambangan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin menegaskan, pihaknya akan terus memindahkan para terpidana kasus korupsi ke lembaga pemasyarakatan di kawasan Nusakambangan, Jawa Tengah. Soal siapa saja yang akan dikirim, ia masih merahasiakan nama-namanya. Saya pasti akan beri tahu, tapi tidak bisa sekarang. Nanti bisa geger, kata Hamid kepada Tempo di rumah dinasnya, akhir pekan lalu.
Menurut Hamid, pemindahan para koruptor menjadi prioritas karena sejalan dengan program pemerintah memberantas tindak pidana korupsi. Prioritas pemindahan ke Nusakambangan tak cuma untuk para terpidana koruptor yang kini mendekam di penjara Jakarta, tapi juga yang ada di LP berbagai daerah.
Pada 3 November 2004, Menteri Hukum dan HAM membuat gebrakan dengan mengirim enam terpidana korupsi ke Nusakambangan. Mereka adalah Pande Lubis, terpidana 4 tahun kasus Bank Bali; Lintong Siringoringo, terpidana 4 tahun; Pratomo, terpidana 4 tahun; Duryani, terpidana 6 tahun di LP Sukamiskin; Dedi Abdul Kadir, terpidana 6 tahun di Sukamiskin; dan Saiful Bahri Ismail, terpidana 7 tahun di LP Tangerang.
Ketika itu, seharusnya mantan Kepala Bulog Beddu Amang pun masuk dalam rombongan. Namun, Beddu ditunda pengirimannya karena ada surat panggilan dari penyidik Bareskrim Mabes Polri pada 28 Oktober terkait kasus korupsi pakan ternak (bungkil kedelai) Rp 841 miliar. Selain itu, Beddu menderita berbagai penyakit, seperti diabetes. Sekarang kakinya masih bengkak karena diabetes, ujar Hamid.
Selain para koruptor, para terpidana kasus bom Bali pun akan dipindahkan ke Nusakambangan. Hanya, Hamid mengaku masih mempelajari lokasi sel bagi Amrozi, Imam Samudera, dan Mukhlas.
Soal alasan pemindahan terpidana bom Bali, Dirjen Lembaga Pemasyarakatan Mardjaman mengungkapkan bahwa LP Denpasar yang kini menampung Amrozi dan kawan-kawan dianggap tak memenuhi syarat. Seharusnya, narapidana yang mendapat hukuman tinggi ditempatkan di penjara kelas I atau II A dengan fasilitas yang memadai, kata dia. astri wahyuni/edy can
Sumber: Koran Tempo, 14 Maret 2005