Menyelamatkan Miliaran v Menghabiskan Miliaran
Januari 2008, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan nakhoda baru Antasari Azhar memulai kiprahnya. Ibarat mobil, KPK sudah masuk gigi lima. Analisis akhir tahun 2008 bidang lembaga hukum berikut ditulis guru besar hukum tata negara Unmer Malang, Prof Dr Samsul Wahidin.
Sejak kelahirannya, KPK merupakan lembaga yang dikonstruksikan bekerja dengan kepastian. Di KPK, harapan besar masyarakat digantungkan untuk memberantas korupsi yang sudah sekian lama menggurita, bahkan membudaya.
Dalam pandangan sebuah lembaga pengamat korupsi internasiolal, indeks korupsi di tanah air berada pada level puncak dalam arti negeri ini begitu korup. Lembaga hukum reguler dinilai tidak mampu lagi membendung tren penyimpangan uang negara tersebut, sehingga dibutuhkan lembaga khusus.
Dari KPK
Kiprah KPK pada perjalanan berikutnya berhasil membongkar berbagai penyimpangan yang pada masa lalu musykil terungkap. Bahkan, ibarat harimau, KPK memakan induk yang melahirkannya. KPK membongkar korupsi yang terstruktur dan kronis di lembaga perwakilan rakyat yang melahirkan KPK.
Bahkan, pada pengujung 2008 ini, KPK berhasil membawa para petinggi Bank Indonesia (BI) ke penjara sebagai konsekuensi aliran dana yang sampai jauh ke para anggota DPR dan lembaga lain yang selama ini masih dengan hati-hati diurai KPK.
Tidak mustahil, nanti ada aparat penegak hukum yang secara mengejutkan diungkap keterlibatannya oleh KPK. Dalam tahun ini pula, KPK mengklaim berhasil menyelamatkan uang negara Rp 650 miliar. Setidaknya sampai 2008 ini, kinerja KPK layak di-appreciated. Kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara mulai pulih.
Aspek hukum yang bisa dicermati dari kinerja KPK, lembaga itu bekerja kalau dipersentasekan 77 persen berada pada ranah pidana dan selebihnya pada ranah hukum administrasi. KPK bekerja dengan mendasarkan diri pada aspek kepastian hukum.
Karena itu, tidak ada subjek hukum yang masuk dalam penyidikan KPK kemudian bebas. UU memang sudah mengatur begitu -bahwa KPK menangani perkara yang memang nanti harus bisa dibuktikan ''kekorupsian''-nya.
Aspek kelembagaan yang berkinerja didasarkan pada kepastian hukum mencerminkan kewibawaan. Lembaga tersebut memastikan diri berangkat, berkinerja, dan tetap menjaga porsinya secara profesional sebagai penegak hukum.
Meski bisa saja ditafsirkan bahwa ada intrusi politis di dalamnya, hal itu dinilai lemah. Profesionalitas kinerja tecermin dari kepastian atas berbagai kasus yang ditangani, yang nyaris tanpa komplain dari pelaku tindak pidana dan kalangan terkait.
Awal 2009 ini, diharapkan UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) disahkan, sehingga menambah kepastian hukum atas kinerja lembaga pemberantasan korupsi tersebut.
Ke MK
Berbeda dari awal tahun kinerja KPK, Mahkamah Konstitusi (MK) menutup ujung 2008 ini dengan menunjukkan kinerja yang memberikan pemahaman yang secara normatif menjauhi kepastian hukum. Dalam menerima ''amanah'' menyelesaikan sengketa hasil pemilu kepala daerah (pemilukada) dari MA, misalnya, lembaga tersebut membuat terjemahan baru atas makna persengketaan hasil pemilukada tidak semata dari aspek formalitas, tapi masuk dalam aspek material. Hal tersebut dipandang sebagai platform kinerjanya.
Keadaan itu ditunjukkan pada putusan atas pemilukada Jawa Timur. MK menampilkan diri sebagai satu-satunya lembaga penafsir UUD 1945. Bahkan, sesuai keterangan ketua MK, lembaga yang dipimpinnya memastikan diri sebagai lembaga yang berangkat dari aspek substantif yang terkandung dalam UUD 1945 dan bisa saja menyimpangi (bahasa halusnya membuat penafsiran) yang tidak sejalan, bahkan mengesampingkan ketentuan UU.
Putusan MK itu dinilai sangat cerdas, berani, dan diamini berbagai pihak. Namun, dalam perspektif normatifnya, jika pada awal kinerja KPK menuju pada kondisi shuttle, MK malah mengesankan ''nabrak-kabrak''.
Bagaimana tidak, putusan yang dijatuhkan untuk mengadakan pemilukada ulang ternyata menabrak berbagai UU lain seperti UU tentang Pemerintahan Daerah, UU Kekuasaan Kehakiman, bahkan UU tentang MK sebagai dasar hukum kinerjanya.
Semua dilakukan untuk dan atas nama keadilan. Ada stigma bahwa putusan yang dijatuhkan tersebut hanya demi putusan yang steril dari sistem lain yang sebenarnya (juga) harus dijadikan dasar pertimbangan -apakah putusan itu secara praktis bisa dilaksanakan atau tidak. Apakah putusan tersebut mencederai sistem lain atau tidak.
Ibarat deret huruf yang bisa dibaca, kinerja KPK dipandang steril dari intrusi politis dan independen dari putusan MK dipertanyakan independensinya dari intrusi politis. Dari rekam jejak individual dari hakim di MK dapat dibaca, masih begitu kental bau politik pada putusannya. Hal itulah yang kiranya memerlukan pembenahan pada 2009.
Pada dimensi kelembagaan, seharusnya MK memastikan diri sebagai lembaga hukum tata negara. Tidak mengubah diri menjadi lembaga semipolitik yang membiarkan putusannya diintrusi kepentingan politik, meski yang diputus merupakan produk politik.
Secara sederhana hal itu bisa dibaca dari orientasi putusan yang mengarah pada pengabaian kepastian hukum sebagai aspek prosedural yang semestinya jadi pertimbangan mendasar atas suatu putusan hukum.
Pada sisi lain, mengukur secara finansial ketika 2008 ini, KPK berhasil menyelamatkan uang negara ratusan miliar rupiah. Namun, putusan MK justru memerlukan biaya mahal untuk ukuran negara Indonesia. Dengan berlindung di balik proses demokrasi dan demokratisasi, pengulangan pemilukada menghabiskan dana puluhan miliar.
Substansinya bukan itu yang memprihatinkan. Pertanyaan yang memerlukan jawaban untuk 2009, demokrasi dan demokratisasi yang memerlukan biaya begitu mahal itu untuk siapa? Keadilan seperti apa yang ingin dicapai dalam proses hukum yang dinakhodai para negarawan tersebut?
Oleh Samsul Wahidin
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 24 Desember 2008