Menyelamatkan Proyek Donggi Senoro
Proyek Gas Donggi Senoro memunculkan kisruh pengelolaan. Satu pihak menginginkan gas dijual untuk memenuhi devisa, namun pohak lain menginginkan dijual di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Untuk mengurai permasalahan tersebut, 18 Agustus 2009 di kantor ICW diadakan diskusi soal ini. Berikut press release ICW.
Ladang gas Senoro terdiri dari dua blok, yakni Blok Matindok dan Blok
Senoro. Sejak tahun 1980, kedua blok di bawah pengelolaan Union Texas.
Akan tetapi tidak ada kemajuan dalam eksploitasi sehingga kemudian Blok
Matindok diambil alih oleh Pertamina EP sejak 1996. Sedangkan Blok
Senoro diambil alih Medco dan Pertamina sejak tahun 2000.
Untuk mengeskploitas ladang Senoro, Pertamina, Medco dan Mitsubishi
membentu PT Donggi Senoro LNG. Pasokan gas akan diambil dari lapangan
Donggi sebesar 50 mmscfd (million standar cubic feet – juta standar
kubik kaki), Matindok 20 mmscfd serta lapangan Maleoraja dan Minahaki
sebesar 15 mmscfd. Cadangan pasti gas Senoro sebesar 2,05 triliun kaki
kubik (TCF – trillion cubic feed), sedangkan sertifikasi yang dilakukan
oleh Lemigas menunjukkan 1,45 triliun kaki kubik.
Berbeda dengan minyak bumi, sebelum eksploitasi gas dimulai, kontraktor
harus mendapatkan pasar terlebih dahulu yang akan menentukan bagaimana
gas dikirim, apakah dengan dicairkan sehingga menjadi Liqiud Natural Gas
atau dikirim menggunakan pipa. Semula PT Donggi Senoro LNG akan mengirim
menggunakan kapal ke Jepang karena gas dari Senoro akan dibeli oleh
Chubu Electric Power dan Kansai Electric Power. Pengolahan gas untuk
menjadikannya menjadi gas alam cair akan dilakukan di sebuah kilang yang
akan dibangun di Desa Uso, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi
Tengah. Rencananya gas akan mulai dijual pada tahun 2013 dan akan
berproduksi selama 15 tahun.
Saat ini proses eksploitasi ladang Senoro sudah dimulai. Diperkirakan
investasi yang dikeluarkan untuk fasilitas hulu di ladang Senoro sebesar
US$ 800 juta dan fasilitas hulu Matindok sebesar US$ 790 juta. Sedangkan
fasilitas kilang yang akan dibangun oleh PT Donggi Senoro LNG sebesar US
$ 2,1 miliar sehingga total investasi yang harus dikeluarkan sebesar US$
3,7 miliar. Sementara penjualan gas dalam Gas Sales Agreement (GSA) pada
Japan Crude Cocktail US$ 45 per barel sebesar US$ 3,77. Akan tetapi
harga GSA ini terlalu rendah sehingga kemudian formulanya direvisi
menjadi US$ 3,77 + 0,31. Sementara penjualan gas ke Petrokimia sebesar
US$ 2,5 pada JCC di bawah $60 per barel. Sedangkan harga gas yang siap
dikapalkan (FOB – Freight on Board) seharga US$ 7,2.
Akan tetapi, proses eksploitasi dan penjualan gas terancam mundur
setelah Kansai Electric Power mengundurkan diri. Tertundanya eksploitasi
ladang Senoro karena perbedaan di antara pengambil kebijakan dan
kontraktor. Di tingkat pengambil kebijakan terdapat perbedaan antara
Menteri ESDM dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Semula gas alam dari Senoro
akan dijual ke Jepang. Akan tetapi rencana itu ditentang oleh Jusuf
Kalla yang menghendaki gas dijual untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Karena perselisihan di antara pengambil kebijakan belum tuntas, akhirnya
Kansai Electric Power pun mengundurkan diri.
Untuk melihat kontroversi ladang Senoro, perlu dilihat beberapa
persoalan secara kronologis sehingga memudahkan kita untuk mengetahui di
mana konflik terjadi.
-
Soal harga jual gas yang menjadi pangkal perselisihan di antara pengambil kebijakan. Kesepakatan semula PT Donggi Senoro LNG akan menjual gas dengan harga US$ 2,8 MMBTU (Million British Termal Unit) pada harga minyak Japan Crude Cocktail sebesar US$ 40 per barel.
-
Penandatanganan kesepakatan ini disaksikan juga oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) Priyono. Belakangan Kepala BP Migas minta harga dinaikkan lagi.
-
Karena tidak ada kesepakatan, akhirnya Wapres Jusuf Kalla dilibatkan dalam proses perundingan. Yang terjadi kemudian, Jusuf Kalla malah meminta gas alam dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik karena neraca gas Indonesia yang masih timpang karena kebutuhan gas dalam negeri belum terpenuhi.
-
Jusuf Kalla juga meminta pembangunan kilang mengutamakan kontraktor dalam negeri. Selain itu Jusuf Kalla juga mempersoalkan proses pembangunan kilang oleh Mitsubishi sebesar US$ 2,1 miliar yang tidak ditempuh melalui tender dan dianggap terlalu mahal. Apalagi penawaran yang diajukan oleh PT LNG Energi Utama hanya US$ 500 juta.
-
Direktur Pertamina, Karen Agustin kemudia mengirim surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan bahwa kebutuhan gas dalam negeri bisa dipasok oleh proyek yang akan datang seperti Blok Cepu, Natuna Blok A, Blok SSE, Kuala Langsa dan Lematang.
-
Karen Agustin juga menyatakan bila gas dijual untuk memenuhi kebutuhan di Pulau Jawa dan Sumatra, hanya akan didapat harga US $ 6 per juta standar kaki kubik. Padahal dengan menjual gas ke Jepang, akan didapat harga sebesar US $ 6,2 per juta standar kaki kubik pada harga minyak Japan Crude Cocktail sebesar US$ 70 per barel.
Terlepas dari silang sengkarut kepada siapa gas dijual, ada beberapa
persoalan mendasar yang justru luput dari perdebatan soal ladang gas
Senoro sehingga kemudian negara dirugikan dalam jumlah besar.
1.
Pertama, harga jual gas (GSA - Gas Sales Agreement) yang terlalu rendah. Saat ini harga dipatok pada harga minyak Japan Crude Cocktail sebesar US$ 70 per barel sehingga gas dijual sebesar US$ 6,2 MMBTU. Padahal jika harga minyak bumi naik menjadi US$ 70 per barel, maka harga jual seharusnya bisa mencapai US$ 8,4 MMBTU. Penjualan gas dengan harga murah akan merugikan negara US$ 305 per tahun atau selama 15 tahun akan berpotensi merugikan negara US$ 4,589 miliar.
2.
Kedua, pembangunan LNG Plant di Uso juga merugikan negara karena harus membangun pipa 20” sepanjang 15 km. Padahal ada lokasi di Kini-Kini yang hanya 2 km dari sumur. Uso dan Kini Kini terletak di tepi laut dengan kontur tanah yang relatif sama sehingga tidak ada keuntungan membangun LNG Plant di Uso. Dengan membangun pipa sepanjang 15 km maka dibutuhkan tambahan investasi sebesar US$ 30 juta, belum lagi dihitung kenaikan biaya operasi dan resiko bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang pipa.
3.
Ketiga, biaya LNG Plant. Pemilihan Mitsubishi sebagai vendor LNG plant dengan harga sebesar US$ 2,1 miliar di atas tawaran vendor lain seperti LNG Energi Utama yang menawarkan US$ 1,6 miliar atau konsorsium nasional (PT Tripatra Eng, PT Rekayasa Industri dan PT Inti Karya Persada) yang hanya sebesar US$ 1,2 miliar. Kasus ini pernah digugat oleh LNG EU ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Selain lebih mahal, pemilihan Mitsubishi juga memunculkan “keharusan” menjual gas ke Jepang. Dalam pemilihan vendor LNG plant saja pemerintah akan dirugikan US$ 400 juta – 800 juta.
4.
Keempat, biaya drilling atau pengeboran. Saat ini kontraktor sudah mulai proses pengeboran padahal BP Migas belum menyetujui Plan of Development (POD). Karena POD belum disetujui, maka Work Program & Budget (WPB) dan Authorization for Expenditure (AFE) juga belum belum ada. Oleh karenanya, tidak ada pengawasan dari BP Migas dan apabila kelak ada perubahan dari perencanaan, negara bisa dirugikan sejumlah 10 juta – 15 juta USD.
5.
Kelima, sumur Matindok memiliki kandungan H2S yang tinggi sehingga membutuhkan Acid Gas Removal Unit. POD sampai sekarang belum disetujui akan tetapi Alta Berta sudah disetujui untuk membuat Pre Front End Engineering Desing (Pre-FEED). Proses yang tidak sesuai prosedur ini pada akhirnya akan membuat negara dirugikan dalam pembuatan Acid Gas Removal Unit. Diperkirakan, negara bisa dirugikan sekitar US$ 20 juta – 30 juta.
6.
Keenam, belum ada informasi tentang penggunaan gas untuk kepentingan domestik, baik untuk pembangkit listrik PLN atau Petrokimia. Memang harga jual gas lebih murah tetapi secara keseluruhan negara aka menikmati penghematan subsidi.
7.
Ketujuh, penggunaan gas untuk konsumsi dalam negeri bisa menurunkan subsidi listrik. Selama ini 74% kebutuhan listrik dipasok oleh pembangkit milik PLN, dan 41,67% berasal dari PLTG dan PLTGU yang selama ini membutuhkan BBM (solar). Bila pembangkit PLN menggunakan gas alam dengan harga US$ 4 MMBTU, PLN akan menghemat Rp. 28,625 triliun. Atau bila PLN mendapatkan harga US$3 MMBTU, PLN akan menghemat Rp. 37,949 triliun atau setara dengan subsidi listrik pada tahun anggaran 2007
Jakarta, 18 Agustus 2009.
Contact person:
J. Danang Widoyoko 0815-1850373
Firdaus Ilyas 0812-9820004