Menyoal Boikot Bayar Pajak
Kasus Gayus Halomoan Tambunan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak golongan III-A, yang menggembol duit Rp 28 miliar, menyedot perhatian masyarakat. Gayus dikabarkan berpenghasilan Rp 12 juta sebulan. Bagaimana bisa ia bergaya hidup mewah dalam sekejap? Ada tengara Gayus masuk dalam pusara mafia kasus perpajakan. Kasus ini menggelinding bagai bola salju yang membesar serta menimpa siapa saja yang ada di dalamnya: pejabat kepolisian, hakim, pengacara, konsultan pajak, serta jaksa.
Publik bereaksi keras, bahkan muncul ancaman penggalangan boikot bayar pajak. Mereka menilai pajak yang telah disetor justru diselewengkan oleh aparat pajak. Kekaprahan ini harus dijernihkan. Tak satu sen pun duit pajak diambil oleh oknum aparat pajak. Soalnya, masyarakat membayar pajak di tempat yang telah ditunjuk, yakni bank maupun kantor pos. Kantor Pajak tak pernah membuka loket pembayaran pajak. Kantor Pajak hanya melayani administrasi pelaporan serta permohonan wajib pajak. Pajak yang telah disetor masuk ke rekening kas negara. Tak ada yang bisa mengutak-atik penggunaannya selain untuk belanja negara, sebagaimana yang telah disetujui DPR bersama pemerintah (Undang-Undang APBN).
Masyarakat pantas marah atas kasus Gayus. Ini reaksi yang bisa dipahami. Sejujurnya, kami, 32 ribu pegawai pajak, juga kecewa. Di sini tak ada sekat mereka-kami. Kita semua kecewa atas kasus ini. Kasus ini tentu mempengaruhi kenyamanan kerja. Komentar sinis bermunculan. Celetukan nyelekit bertaburan. Tapi hal itu tak membuat petugas Pajak jadi surut semangat, dan tetap percaya diri. Program penyuluhan maupun pelayanan tetap berjalan. Syukurlah, kepatuhan masyarakat tak berkurang. Tingkat penyampaian surat pemberitahuan (SPT) tahunan sangat tinggi. Hanya pada saat inilah baru kita temui kalangan muda dan karyawan berbondong-bondong melaporkan SPT mereka. Silakan bandingkan dengan kondisi dulu.
Remunerasi
Berkembang pula bahwa wacana reformasi birokrasi di tubuh Ditjen Pajak--maupun Kementerian Keuangan pada umumnya--gagal. Pegawai yang memanen remunerasi sehingga menikmati berjuta-juta take home pay dianggap tak pantas karena masih saja korupsi. Kondisi ini konon bikin orang lain iri. Walhasil, reformasi perlu dievaluasi, ditinjau ulang, termasuk sistem remunerasi.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan reformasi birokrasi yang tengah berjalan. Sejatinya reformasi tak melulu soal mengatrol gaji dan tunjangan pegawai. Reformasi merupakan perubahan di semua lini. Reformasi berarti meningkatkan kinerja. Dalam kamus reformasi, tak ada kata "enak-enakan" dan "berleha-leha". Reformasi membawa konsekuensi yang lebih besar daripada remunerasi yang selama ini diributkan.
Pegawai Pajak wajib absen hadir sebelum pukul setengah delapan pagi dan pulang setelah pukul lima sore. Sekali datang telat atau pulang awal, bakal kena potong tunjangan 1,25 persen. Tak masuk sehari--tak absen pagi dan sore, pegawai bakal kehilangan 5 persen, meskipun ia izin berhalangan masuk kerja. Izin tak masuk kerja hanya membuat ketidakhadiran seorang pegawai dimaklumi adanya, namun dengan konsekuensi tunjangannya tetap tersunat. Nah, kalau mangkir tanpa keterangan, sanksi kepegawaian sudah menanti plus potongan tunjangan itu.
Reformasi adalah kepraktisan dan kemudahan. Dulu, wajib pajak perlu beranjangsana dari satu meja ke meja berikutnya. Pelayanan dibagi menurut jenis pajak. Ada Seksi Pajak Penghasilan. Itu pun dibagi lagi jadi bermacam pasal: PPh Pasal 21 (pemotongan atas penghasilan karyawan), Pasal 22 (pemungutan karena belanja barang), Pasal 23 (pemotongan karena belanja jasa), Pasal 25/29 (pajak dibayar sendiri), Pasal 26 (pemotongan atas penghasilan subyek pajak asing), atau PPh bersifat final--Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, atau Pasal 19.
Dibedakan pula jenis wajib pajaknya: apakah orang pribadi, badan, atau bendahara. Ada juga Seksi Pajak Pertambahan Nilai. Kantor Pajak pun ada tiga warna: Kantor Pelayanan Pajak (menangani PPh dan PPN), Kantor Pajak Bumi dan Bangunan, serta Kantor Pemeriksaan Pajak. Kini ketiga jenis kantor itu dilebur jadi satu atap. Wajib pajak hanya cukup menyambangi loket pelayanan--kami menyebutnya Tempat Pelayanan Terpadu. Di loket tersebut, beraneka rupa pelayanan disediakan. Konsultasi dapat diperoleh dengan cuma-cuma. Setiap kantor pelayanan pajak menyediakan account representative, yang memberikan bimbingan, pengawasan, serta konsultasi mengenai apa saja. Tak perlu lagi masyarakat berpindah dari satu seksi ke seksi yang lain.
Reformasi berarti kejelasan dan transparansi. Tiap jenis pelayanan memiliki dasar hukum yang diperinci pada tingkat peraturan Direktur Jenderal Pajak. Peraturan tersebut terejawantah dengan jabaran tata cara kerja baku (standard operating procedure) yang jelas. Pelayanan di bidang perpajakan harus terang alurnya: seksi mana saja yang terlibat, siapa melakukan apa, serta kapan batas waktu penyelesaiannya. Jika petugas Pajak lalai menyelesaikan janji layanan unggulan menurut batas waktu, kinerjanya dievaluasi. Dan yang terpenting, semua pelayanan tidak dipungut biaya. Kantor Pajak menyediakan delapan jenis layanan unggulan dan bakal ditingkatkan menjadi 16 jenis layanan prima.
Reformasi berarti berkompetisi menjadi pelayan masyarakat terbaik. Perlombaan ini berlangsung saban tahun, berawal dari tingkat kantor wilayah. Tiap kantor pelayanan pajak akan dinilai mana yang terbaik dalam melayani warga. Pemenang tingkat kanwil akan diadu di tingkat nasional. Tak berhenti di situ, pemenang level nasional lantas bersaing dengan pemenang dari unit eselon satu lainnya (setingkat direktorat jenderal). Hasilnya, tahun lalu Pajak juara ketiga.
Reformasi juga bermakna pengawasan yang lebih ketat serta keterlibatan warga yang lebih luas. Setiap wajib pajak yang diperiksa diberi kuesioner atas kinerja para fungsional pemeriksa pajak. Selain itu, setiap unit eselon satu Kementerian Keuangan memiliki Direktorat Kepatuhan Internal--yang belum membentuk, setidaknya sudah ada embrio. Pajak punya KITSDA, yang salah satu kerjanya memproses kasus Gayus secara internal. Selain itu, ada Inspektorat Jenderal. Khusus bidang pajak, ada pula Ombudsman Pajak serta Komite Pengawas Perpajakan. Lembaga negara lainnya juga memonitor dan mengontrol: DPR, BPK, dan tak tertutup kemungkinan KPK. Setiap tindak-tanduk pegawai Pajak diawasi oleh banyak institusi.
Namun, harus diakui, reformasi tak menjamin seribu persen birokrasi steril dari korupsi. Reformasi birokrasi bagai membersihkan dan memotong kuku kotor. Meski kuku terus tumbuh, kita takkan pernah henti memotongnya. Kita bisa menyimaknya dengan berkaca pada kasus Gayus.
Yacob Yahya, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak, pendapat pribadi
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 7 April 2010