Menyoroti Aliran Dana BI ke DPR

Banyak yang menilai penetapan gubernur Bank Indonesia (BI) sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bernuansa politis untuk menjegal Burhanuddin Abdullah maju jadi gubernur BI lagi. Semua setuju aliran dana BI ke DPR itu memang ada dan terjadi. Bentuk aliran dana tersebut adalah BI menyelenggarakan sosialisasi, seminar, diskusi dengan mengundang semua anggota DPR dan para pakar.

Masalahnya, apakah kejadian itu perlu diproses pidana atau tidak? Kalau kasus demikian diproses, seluruh pejabat di Indonesia -mulai sekretaris jenderal, direktur jenderal, hingga menteri- pasti masuk penjara. Semua direksi BUMN dan bahkan BUMS punya keterkaitan kerja dengan DPR.

Membahas aliran dana ke DPR saat ini seperti membahas dosa bersama, seperti korupsi berjamaah. Artinya, itu sudah menjadi praktik bersama yang selalu terjadi sejak dulu dan tidak pernah ada cara menyelesaikan. Bahkan, pendekatan penyelesaian masalah tersebut hanya permukaan, yaitu mengusut yang kelihatan.

Sementara itu, sumber masalah sebenarnya tidak pernah tersentuh. Bahkan, korban-korban hanya mereka yang melakukan sangat vulgar. Yang lebih buruk, tidak ada mekanisme untuk mencegah praktik dosa bersama tersebut melalui pendekatan sistem yang sistematis.

Mematikan Inisiatif
Pola penyelesaian aliran dana ke DPR selalu bernuansa politis. Bahkan, sering kasus yang terjadi ditutup dengan pengingkaran-pengingkaran semua pihak. Memang kasus pemberian dana (penyuapan) sangat sulit ditelusuri karena pemberi dan penerima akan menghadapi masalah besar. Misalnya, permainan prisoner dillema yang aman adalah dengan menyangkal. Kalau semua menyangkal, semua selamat.

Untuk kasus itu, BI sulit menyangkal karena BI mencatatnya. Di Indonesia mungkin hanya BI yang secara kelembagaan mencatat semua aspek aktivitasnya.

Karena itu, kita harus melihat kasus dana BI ke DPR dengan mempertimbangkan asal-usul dan cerita di balik keputusan tersebut. Pada 2001-2002, penyelesaian masalah beban BLBI belum jelas sehingga laporan keuangan BI mengalami disclaimer. Itu dirasakan menjadi penghambat pemulihan ekonomi karena rating Indonesia menjadi buruk.

Rating bank sentral akan memengaruhi rating negara. BI melihat bahwa yang bisa menyelesaikan adalah DPR dan pemerintah. Saat itu, pemerintah sudah satu visi bahwa penyelesaian BLBI harus ditemukan agar masalahnya jelas.

BI menyadari bahwa tanpa persetujuan DPR, terutama komisi IX, pasti tidak akan ada penyelesaian. Pada saat bersamaan, UU tentang kepailitan menyamakan perbankan dengan lembaga bisnis yang lain sehingga perlu diatur agar tidak ada bank yang dipailitkan seperti kasus Manulife. BI mengucurkan dana Rp 31 miliar untuk sosialisasi agar proses atas masalah itu lancar.

Namun, kalau dilihat dari hasilnya, sosialisasi itu gagal. Buktinya, amandemen UU BI tak berhasil menghapus Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Jangan Memvonis
Karena itu, sikap berimbang dalam menilai sangat diperlukan. Kasus tersebut jangan divonis sebagai proses untuk memperkaya diri pejabat BI. Sangat jauh. Uang itu murni untuk pihak di luar BI. Keyakinan kedua adalah itu murni tujuan mempercepat recovery ekonomi Indonesia.

Kita harus ingat krisis 1997/1998 yang melanda Korea dan Thailnad. Pada 1999 korea telah pulih. Tahun 2000, Thailand mulai pulih ditandai dengan aliran masuk dana asing dan restrukturisasi ekonomi yang sukses. Hingga 2002, kita berjalan di tempat tanpa ada tanda-tanda penyelesaian yang komprehensif. Bahkan, antara DPR dan pemerintah selalu tidak satu visi.

Kalau inisiatif BI itu dianggap salah, banyak di antara kita yang setuju. Namun kalau kebuntuan penyelesaian BLBI, UU bank sentral dan kepailitan bank tidak dicarikan solusinya, masalah ekonomi Indonesia bisa makin parah.

Saat itu, pilihannya adalah menyelamatkan Indonesia atau membiarkan semua berjalan apa adanya alias prinsip cari enak sendiri. Pemulihan ekonomi berjalan lambat, ya gak apa-apa. Kepercayaan asing tetap rendah terhadap perekonomian Indonesia, ya tidak apa apa.

Seandainya mereka menyadari bahwa inisiatif yang tidak memberikan nilai tambah secara pribadi itu bisa menyeret sebagai tersangka korupsi, mereka tidak akan melakukan. Tetapi di tengah situasi yang tidak pasti saat itu, setiap peluang perbaikan ekonomi akan ditempuh Dewan Gubernur BI.

Wajar Terkejut
Karena itu, wajar dan manusiawi jika Gubernur BI Burhanuddin Abdullah terkejut dengan penetapan status dirinya sebagai tersangka dalam kasus aliran dana BI. Terlebih yang menjadi tersangka hanya beliau sendiri. Padahal, keputusan yang bersifat strategis ditentukan secara kolektif, bukan oleh seorang gubernur BI. Itu berlaku di seluruh bank sentral.

Kalau menilai kebijakan ketika krisis diukur dengan konsep pidana saat ini, makin banyak pejabat yang nanti tidak mau mengambil keputusan strategis penting. Mendakwa pidana atas keputusan pengaliran dana itu tanpa melihat manfaat dan hasil dari keputusan tersebut jelas tidak seimbang. Yang berhasil saja didakwa, apalagi yang tidak berhasil.

Demikian juga aspek manfaat. Kalau ternyata suatu tindakan memberikan manfaat lebih banyak daripada keburukan, itu sepatutnya dianggap sebagai terobosan. Pada situasi krisis, tidak ada yang ideal.

Abdul Mongid, dosen STIE Perbanas Surabaya

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 5 Februari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan