Mereka Ingin Membungkam Kami, Namun Kami Takkan Berhenti
Hampir setiap hari ICW kedatangan pelapor kasus korupsi. Namun,kali ini kami kedatangan sekelompok pelapor unik. Dimodali urunan masyarakat, mereka datang ke Jakarta melaporkan kasus korupsi. Ada harapan dalam sinar mata mereka, sekaligus kegetiran kampung halaman bertahun-tahun dirundung pahitnya korupsi.
Saat dipersilakan masuk, dengan gerak-gerik canggung campur waspada mereka duduk, menunggu kami menemui mereka. Mata mereka meneliti seluruh ruangan. Mereka terdiri dari banyak lelaki dan dua perempuan, membawa sebundel tebal dokumen yang mengiringi kisah-kisah korupsi di tanah kelahiran.
Hamzah, pria yang nampaknya didaulat sebagai ‘juru bicara’ kelompok, meyampaikan asal kedatangan. “Dari Parigi Mountong,” katanya halus dengan logat Sulawesi yang tak bisa diselubungi. Ia berusia empat puluhan, dengan sorot mata teduh dan raut muka khas penduduk pesisir yang gelap terbakar matahari. Ia memakai jaket yang warna aslinya telah memudar, sambil menggenggam ponsel usang, casing-nya telah kendur dan diikat karet.
“Kami berhimpun karena ada keterpanggilan,” kata Hamzah membuka percakapan. “Sebenarnya, kabupaten kami sudah bangkrut karena korupsi. Lebih besar kerugian karena korupsi daripada kerugian bencana alam,” ujar Hamzah antusias, walau tertangkap keprihatinan sekilas dari wajahnya. “Ini sudah titik tertinggi dari pikiran kita.”
“Sebelas tahun kita diobrak-abrik korupsi. Ini baru kulit luarnya," tegas Iwan Rusman, wartawan lokal yang turut mendampingi Hamzah.
Kabupaten Parigi Mountong dimekarkan dari Kabupaten Donggala pada 2002. Tetapi, setelah mekar, korupsi malah makin marak. Padahal sebelumnya Forgas ikut mendorong pemekaran, berharap kesejahteraan masyarakat bisa ikut mekar.
Warga kabupaten ini utamanya bekerja sebagai petani dan nelayan. Untungnya, tingkat pendidikan terakhir rata-rata warga meningkat menjadi SMA. “Tetapi, pengangguran bertambah,” ujar Hamzah.
Mereka menamai kelompok mereka “Forgas”, singkatan dari Forum Gerakan Antikorupsi. Para anggota Forgas punya keterampilan advokasi. Beberapa pekerja LSM, swasta, intelektual lokal, dan jurnalis. Ini menguntungkan mereka sehingga tidak memulai perjuangan dari nol.
Para anggota Forgas berbagi rasa ‘panggilan’ – untuk menyelidiki dan mengusut korupsi. Mereka bergerak semampu mereka, mendayagunakan seluruh kapasitas yang ada.
Korupsi, bencana sosial
Korupsi, menurut Hamzah, telah “melahirkan bencana sosial”. Angka kemiskinan naik setiap tahun. Pelayanan masyarakat sangat buruk. Dana pembangunan infrastruktur dari APBN dan APBD tidak terserap optimal. Saat anggaran kabupaten masih deras, Pemerintah Parigi Mountong membuat banyak proyek, tanpa mencari tahu apakah sesuai kebutuhan masyarakat.
Sumber daya alam Parigi Mountong sesungguhnya cukup melimpah, urutan kedua tertinggi di Sulawesi Tengah. Panjang garis pantainya 473 kilometer. Hamzah terlihat berbangga sejenak. “Kita punya garis pantai bahkan lebih panjang dari garis pantai Provinsi Gorontalo. Kita berada di titik tengah Teluk Tomini.” Lalu wajahnya kembali redup. “Tapi masyarakat tidak bisa maju.”
“Intervensi provinsi lebih kuat untuk Parigi Mountong daripada untuk kabupaten lain, karena gubernur Sulawesi Tengah mantan bupati Parigi,” tutur Hamzah.
Forgas juga meyakini ada intervensi yang “spesifik dan tidak mudah terdeteksi”, hingga kasus-kasus dugaan korupsi menguap. “Ada yang sudah masuk ke Polda Sulteng dan Kejaksaan Tinggi Sulteng, tapi putus di tengah jalan.”
Melawan untuk masyarakat
Forgas giat mendorong kasus-kasus dugaan korupsi agar segera ditangani penegak hukum. Mereka tak habis akal. Segala cara ditempuh untuk mendorong pembongkaran dan penanganan kasus korupsi.
Selain itu, sejak lama Forgas membangun sistem pendidikan masyarakat agar melek hukum dan sadar akan jahatnya korupsi. Secara intens, mereka membuat selebaran untuk disebar di tempat-tempat keramaian warga, seperti pasar dan balai desa. Forgas juga aktif menulis opini di media massa. Tentang korupsi, tentunya.
Setelah bekal pendidikan cukup, masyarakat akhirnya sadar bahwa mereka harus mengumpulkan energi memberantas korupsi. Usaha ini tidak sia-sia. “Bahkan tukang ojek pun sadar hukum,” ujar Hamzah.
Tanpa sedikitpun berusaha mengambil penghargaan, dengan lugas Hamzah menyebutkan, “Kami mendedikasikan diri. Kalau dapat rezeki lebih, teman-teman mengalokasikan uang untuk ongkos pendidikan masyarakat.”
Forgas juga rutin berkumpul dan berdiskusi. Bahkan, komunitas ini punya ‘posko peduli’ untuk tempat berkumpul. “Kita memanfaatkan seluruh kapasitas yang ada. Kawan-kawan jurnalis coba menggali informasi dan banyak menulis soal kasus korupsi. Yang bekerja sama masyarakat, mengatur manajemennya dan membuat model gerakan. Ada juga kawan-kawan yang menjadi penyandang dana dan membantu membukakan link (jaringan),” ungkap Hamzah bangga tentang kinerja komunitasnya.
Masyarakat Parigi Mountong menaruh harapan besar pada Forgas. Warga bahkan rela menyisihkan penghasilan untuk mendukung kegiatan Forgas. Bahkan ongkos perjalanan Forgas ke Jakarta pun mufakat ditanggung masyarakat. Dukungan ini membuat Forgas bersemangat.
“Kita datang ke Jakarta bukan modal sendiri. Kita dapat uang dari tukang ojek, nelayan. Asalkan kasus korupsi terbongkar, mereka rela,” tutur Hamzah. “Warga memberikan uang supaya kita bisa berangkat untuk melaporkan kasus korupsi. Karena, sudah banyak dampak yang terjadi akibat korupsi dan mudah dilihat. Ada kekayaan yang tidak layak di pejabat-pejabat di Parigi Mountong. Ada kesenjangan sosial,” katanya.
Ketika dahulu Forgas mendorong pemekaran, masyarakat yakin Forgas melakukannya karena peduli nasib masyarakat. “Kita tidak pernah mengecewakan masyarakat. Mereka berharap ada yang bicara soal korupsi,” ujar Hamzah.
“Kami berani karena kami punya pilar. Mereka punya pilar uang dan preman, kami punya pilar masyarakat. Memberantas korupsi itu paling efektif dengan masyarakat,” tutur Hamzah mantap. Forgas juga pantang meminta bantuan ‘orang penting’. Sebab, ujung-ujungnya kompromi dan politisasi.
Para wartawan pemberani dari empat media berbeda yang bergabung di Forgas juga punya trik khusus untuk membombardir berita kasus korupsi. “Ketika satu media tidak mau mengangkat kasus korupsi, kami coba masuk dari media lain. Begitu seterusnya sampai ada yang memuat,” tutur Hamzah.
Iwan mengamini. “Pemberitaan ‘kan keputusan redaksi. Kalau redaksi tidak mau menurunkan (berita), kita cari media lain. Kalau tidak mau lagi, cari yang lain lagi. Kami putar-putar di situ, pokoknya pemberitaan ini harus naik. Kalau tidak ada lagi, ya lewat puisi,” ujarnya sambil tertawa memandang penyair kebanggaan kabupaten mereka, Sukri Tjakunu. Sukri getol menyuarakan kritik sosial. Setiap kali kasus korupsi baru mengemuka, setiap itu pula Sukri menulis puisi di surat kabar.
Forgas memanfaatkan momentum seremoni pemerintah seperti pelantikan pejabat untuk menyebarkan selebaran. “Kami berikan juga ke pejabat,” ujar Sukri dengan wajah datar tanpa rasa bersalah. Sukri menegaskan, “Selebaran saya tidak gelap. Saya pasang foto dan alamat.”
Mereka juga pernah “menggagalkan” rencana plesir anggota DPRD Parigi ke Roma, Italia. Forgas menekan rencana keberangkatan lewat pemberitaan media. Rupanya, barisan anggota dewan yang terhormat tidak terkait dalam kegiatan itu. “Itu kegiatan Dinas Pertanian, dan mereka mau ikut saja,” ujar Sukri jengkel.
Mereka ingin membungkam kami
Namun, letupan-letupan kegembiraan yang sejenak menghibur kepenatan perjuangan kadang tak cukup mengobati kerinduan. “Kita sudah terasing begini sejak lama,” kata Hamzah getir. “Kita ini duri dalam daging. Dibilang menghambat pembangunan, mencederai hak-hak masyarakat.”
Pernah juga mereka menghadapi pihak-pihak yang mengaku mengurus kasus, tapi malah tertangkap basah sedang aysik ngobrol dengan pejabat. “Itu rahasia umum,” tukas Hamzah tersenyum.
Lain lagi dengan teror, yang sudah mereka anggap makanan sehari-hari. Bahkan, pernah ada anggota yang ditangkap aparat, dilaporkan atas tuduhan pencemaran nama baik, hingga diproses persidangan.
Iwan merenungkan tawaran-tawaran penggoda dari pihak-pihak yang ‘gerah’ dengan sepak terjang Forgas. “Ada kawan-kawan yang sempat ditawari, ‘sudah, kita tutup saja kasusnya’,” ujarnya menirukan. Untungnya, mereka teguh memegang prinsip.
“Untuk suatu kasus, sempat ditawari seorang Rp 50 jutaan. Tapi kami tolak.” Bahkan, tak berhenti sampai di situ, beberapa pihak getol memonitor berita korupsi apa lagi yang akan naik di media-media yang jurnalisnya bergabung di Forgas.
Sukri menuturkan bahwa ia sering menulis puisi kritik tentang korupsi. “Kroni-kroni pejabat itu datang ke rumah, minta supaya saya jangan menulis.” Dan tentunya, para kroni pulang dengan tangan hampa, dimentahkan Sukri dengan pedas.
Modus lain yang digencarkan pihak yang ‘gerah’, adalah menyasar keluarga komunitas. Kalau tidak berhasil ‘nego’ dengan wartawan, ‘mereka’ mencari keluarganya. Pernah ada salah satu perempuan Forgas yang suaminya ditawari proyek dan fasilitas. Tetapi istrinya menolak, sehingga tidak jadi. Iwan menghela napas. “Luar biasa tekanannya.”
Menurut Sukri, yang berat dari perjuangan ini salah satunya adalah ketika teman jadi lawan sendiri. Di Parigi Mountong, banyak LSM yang tidak ‘lurus’. “Kita lurus. Tidak mau disuap, tidak mau dibungkam,” tukasnya mantap. “Tapi, banyak wartawan yang memberikan data ke teman-teman LSM yang ternyata ‘bengkok’ itu,” keluh Sukri.
Iwan menyetujui. “Kami sempat memberi data yang tergolong A1. Ternyata dimanfaatkan oleh teman-teman LSM yang bengkok ini.”
Hamzah memotong, “Tapi ini LSM yang tidak punya jaringan mana-mana.” Sepertinya, ia ingin menyemangati teman-temannya. Menurutnya, ini memudahkan Forgas memilah siapa lawan dan siapa kawan. “Sesuatu yang abu-abu sulit dibaca. Lebih baik hitam, atau putih.” tegasnya.
“Mereka (orang-orang LSM ‘bodong’—red) pura-pura minta data dan menindaklanjuti. Tapi tidak seperti teman-teman yang berusaha jadi MK; Makelar Kasus, kami jadi KPK; Kelompok Pembongkar Kasus,” ujar Iwan berkelakar.
Kelompok ‘MK’ ini juga ditengarai bersekongkol dengan pihak-pihak yang diduga terlibat. “Biasanya mereka bilang, ‘kita bawa wartawan yang siap bongkar kasus.’ Padahal dia hanya memanfaatkan kita,” kata Iwan.
Karena trauma ditipu teman-teman yang ternyata kelompok LSM bodong, Forgas sempat saling curiga. “Sampai tidak saling tegur,” ungkap Iwan. “Tapi untung saja kita bisa berbaikan.Ternyata hanya miskomunikasi. Ini saking semangat membongkar kasus dan hati-hati,” kenangnya.
“Juga karena bekas trauma pernah dimanfaatkan,” tambah Hamzah.
Iwan menyayangkan rekan-rekan sejawatnya yang ‘masuk angin’. “Kalau kita bikin berita, lalu mereka merasa gerah, akhirnya jadi musuh.” Bahkan, kontaknya di BlackBerry Messenger dihapus oleh rekan wartawan yang marah karena media Iwan memuat berita korupsi.
“Dia marah, ‘kenapa dimuat?!’” tutur Iwan. Rupanya, media sang rekan menjalin hubungan akrab dengan pemerintah lewat nota kesepahaman. Sang rekan khawatir jika kasus dimuat, dapat memengaruhi hubungan medianya dengan pemerintah.
“Bahkan, bupati pernah mau memberhentikan langganan dengan media yang memuat kasus,” Iwan menggelengkan kepala.
Dengan mantap, komunitas ini merangkum tujuan datang ke Jakarta. Pertama, melaporkan kasus korupsi. “Kami minta KPK bongkar kasus korupsi yang kita bawa,” tegas Hamzah.
Kedua, mereka ingin memelajari cerita berharga tentang bagaimana membongkar kasus. “Ini jadi bahan diskusi yang menarik yang kita bawa pulang,” kata Hamzah bersemangat.
Forgas juga tak akan berhenti sampai di sini. Setelah beres melaporkan kasus-kasus ‘jilid satu’, barisan kasus lain masih menunggu di kampung halaman. “Dua puluh kali pun kami ke Jakarta lapor kasus, rasanya tidak akan habis,” ujar Iwan sedih.
Segala konsekuensi pun dengan tegar mereka hadapi. “Pergi ke Jakarta berarti meninggalkan anak istri, berhenti sejenak bekerja. Hari ini kita berpikir, bagaimana ongkos pulang. Tapi yang paling penting, kita sudah membawa amanah masyarakat. Itulah keinginan kuat kami,” tukas Hamzah.
“Satu saja kasus ini bisa terbongkar, itu sesuatu yang sangat…” Hamzah tampak tak bisa menemukan kata-kata. Ia memandang langit-langit ruangan. Lalu ia melanjutkan dengan nada pelan, “….satu celah untuk membongkar yang lain. Sehingga tumbuh kepercayaan masyarakat, bahwa kita bisa melawan tirani.”
Kedatangan Forgas sedikit banyak mengingatkan kami akan diri kami sendiri. Berbagai teror dan ancaman kami hadapi, hanya untuk bekerja satu hari lagi dalam gerakan ini.
Setelah rampung, Hamzah dan kawan-kawannya pamit dari kantor ICW. Kami berpisah. Harapan masih melaju pelan tapi pasti, seperti debur ombak lembut di sepanjang pantai Parigi.