Meretas Budaya Korupsi
Korupsi adalah bisnis tertutup. Mirip transaksi narkotik dan obat terlarang lainnya, praktik korupsi mengandalkan kerahasiaan, kolusi dan sedikit kepercayaan bahwa transaksi haram itu tidak akan bocor ke luar. Dalam kasus-kasus yang paling mencolok pun, korupsi jarang dilakukan secara terbuka. Persis bakteri yang berkembang biak di lingkungan yang hangat dan gelap, begitulah korupsi beroperasi dan berkembang biak di lingkungan yang bersahabat.
Sebagaimana bakteri, korupsi tidak pernah berhenti berkembang biak dalam suatu siklus reproduksi yang sulit dideteksi. Ia bahkan tidak hanya berkembang biak, tetapi juga menyebarkan virus-virus yang mematikan. Ibarat bibit penyakit, ia akan menyerang fungsi-fungsi vital dari berbagai organ birokrasi. Jika tidak segera diobati, ia dapat melumpuhkan fungsi berbagai organ birokrasi tersebut.
Jika korupsi tidak ditangani secara serius, ia akan mencapai tahap membudaya. Budaya korupsi, menurut Robert Klitgaard, bukan dalam arti bahwa setiap orang melakukan tindakan korup, tetapi bahwa hampir setiap orang enggan melaporkan si koruptor.
Akar Masalah
Menghadapi budaya korupsi yang demikian, orang biasanya sibuk mencari akar masalahnya. Seolah-olah jika akarnya sudah ditemukan, persoalan akan selesai. Demikian juga perdebatan yang muncul biasanya dihabiskan untuk membahas bahaya korupsi. Yang jarang dilakukan adalah bagaimana cara memberantas korupsi itu berikut strategi pelaksanaannya. Mirip dengan
perdebatan soal bahaya rokok yang begitu menyita waktu dan tenaga, tetapi bagaimana menghentikan rokok berikut cara membujuk agar orang mau berhenti merokok hampir-hampir tidak mendapat porsi yang selayaknya. Ini ironis sebetulnya, karena korupsi sudah membudaya, tapi belum juga beranjak pada bagaimana cara-cara pemberantasannya.
Ada semacam sinisme yang berkembang di masyarakat bahwa korupsi di Indonesia sudah sedemikian parah sehingga tidak mungkin bisa diberantas. Survei yang
dilakukan UNDP baru-baru ini menjadi indikasi kuat mengenai hal itu. Hasil survey menunjukkan bahwa korupsi di sektor publik dianggap sangat lazim oleh
75% responden. Sebanyak 65% responden bahkan tidak hanya menduga tentang praktik korupsi tetapi terlibat secara langsung dalam praktik ini terutama menyangkut pejabat pemerintah.
Dalam penelitian UNDP, dari 40% responden yang telah melihat kasus korupsi, kurang dari 10% yang dilaporkan. Responden rumah tangga menempati persentase
tertinggi dalam hal tidak melaporkan kasus korupsi(98%). Hal yang kurang lebih sama terjadi pada hasil penelitian ICW. Sebanyak 43,7% responden tidak melaporkan korupsi; 29,9% menegur dan 26% melaporkan.
Survei UNDP menemukan bahwa alasan utama tidak melaporkan korupsi karena mereka tidak tahu ke mana harus melapor (51%), kasus tidak dapat dibuktikan
(34%), proses yang berbelit-belit dan panjang (27%) dan menganggap investigasi tidak akan dilakukan meski telah dilaporkan (20,8%).
Dalam sebuah negara yang sudah dilanda korupsi pada tingkat itu, biasanya masyarakat menjadi sinis terhadap berbagai upaya pemberantasan korupsi.
Orang tidak lagi percaya korupsi bisa diberantas. Karena, seperti dalam kasus di Indonesia, korupsi sudah sejak puluhan tahun dibicarakan, baik di forum-forum resmi maupun di media-media massa. Rakyat juga telah mendengar dan tahu banyak tentang betapa jahatnya korupsi; tentang perlunya mengikuti kaidah-kaidah hukum dan tentang akibat-akibat yang bisa ditimbulkannya. Namun, hingga era reformasi ini, korupsi tetap saja jalan terus.
Kenapa jalan terus? Karena, korupsi tidak akan berkurang hanya dengan kata-kata. Pembaruan yang hanya mengumumkan hukuman berat bagi koruptor atau janji bahwa koruptor akan ditangkap dan dihukum, tidak secara otomatis akan mencegah korupsi.
Hal itu menjadi lebih mendesak karena korupsi di Indonesia sudah menjadi sedemikian kompleks. Penelitian UNDP maupun ICW menunjukkan bahwa para
responden pada dasarnya anti-korupsi. Namun ketika sampai pada tingkat upaya pencegahan, mereka justru cenderung permisif (tidak melaporkan).
Kenyataan itu berkelindan dengan temuan lainnya bahwa ada semacam sesat pikir ketika memandang sebab-sebab korupsi. Survei ICW menghasilkan temuan menarik bahwa sebab-sebab korupsi, menurut responden, adalah sifat konsumtif masyarakat, ketidakpedulian masyarakat, gaji rendah, rendahnya disiplin aparat, atasan ikut melakukan korupsi, adanya contoh dari lingkungan sosial
di kantor/tempat kerja, perilaku aparat yang sudah membudaya, sanksi hukum yang rendah, penegakan hukum lemah, prosedur yang berbelit-belit dan lama, ketidakjelasan informasi soal prosedur, kurangnya pengawasan dari instansi yang bersangkutan (pengawasan internal) maupun dari instansi luar (pengawasan eksternal), rendahnya kesadaran masyarakat sebagai konsumen, dan lemahnya pengawasan dari unsur masyarakat.
Temuan UNDP justru lebih menarik lagi. Menurut responden dari tiga kelompok sosial yang berbeda (rumah tangga, pegawai negeri dan kalangan bisnis),
mereka menempatkan gaji rendah sebagai penyebab utama korupsi (rumah tangga 35,5%, bisnis 36,5% dan pegawai negeri 51,4%).
Penyebab berikutnya adalah lemahnya pengawasan tanggung jawab (rumah tangga, 19,9%) dan pelaksanaan hukum yang lemah (bisnis, 22%; pegawai negeri, 28,5%). Dan penyebab yang terakhir adalah lemahnya moral rumah tangga 19,4%, bisnis 18,3%) dan pelaksanaan hukum yang lemah (rumah tangga 20,5%).
Namun, ketika data-data tersebut dianalisis bersama-sama dengan indeks-indeks kinerja, personel, pengadaan dan pengelolaan anggaran melalui suatu analisis statistik dengan memasukkan karakter individu dan sosial, hasilnya justru berbeda dengan data di atas. Hasil regresi tersebut menunjukkan bahwa hanya ada empat indeks yang berhubungan kuat dan signifikan, yakni kualitas manajemen anggaran, orientasi anti-korupsi dalam organisasi, kualitas manajemen personalia dan kualitas manajemen pengadaan. Sedangkan gaji rendah dan kualitas evaluasi kinerja tidak signifikan.
Data di atas sekali lagi memperlihatkan betapa budaya korupsi sudah sampai pada tingkat yang demikian kompleks sampai-sampai membuat orang sesat pikir ketika memandang korupsi. Di sinilah perang melawan korupsi tidak hanya butuh tindakan nyata, tapi juga perlu strategi yang tepat.
Meretas budaya korupsi, menurut Klitgaard, mempunyai dua bidang kerja yang saling berkaitan.
Pertama, bagaimana mengacaukan iklim kepercayaan serta keyakinan yang memungkinkan berlangsungnya transaksi-transaksi korup, karena korupsi memang beroperasi secara tertutup, rahasia dan mengandalkan kepercayaan tidak akan bocor ke luar. Ini bisa dilakukan dengan cara menanam informan di tempat-tempat yang dicurigai sebagai sarang korupsi, pengawasan mendadak,
dan memberi hadiah bagi para pelapor tindakan korup.
Kedua melawan sinisme publik karena kata-kata sudah terlampau murah. Langkah yang pas adalah menangkap ikan besar (koruptor kelas kakap). Dalam budaya korupsi, menghajar ikan teri yang terlibat korupsi hanya sedikit pengaruhnya, tapi jika keseriusan memberantas korupsi itu ditunjukkan melalui apa yang disebut Klitgaard dengan menggoreng seekor ikan besar di depan umum yang diikuti dengan pengumuman perubahan-perubahan kebijakan untuk melawan korupsi, maka mau tidak mau akan berpengaruh besar terhadap sikap masyarakat terhadap korupsi.(Penulis adalah peneliti pada Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta; terlibat dalam program Gerakan Anti Korupsi (GAK) pada lembaga yang sama.)
Tulisan ini diambil dari Kompas