Mewaspadai Korupsi Kekuasaan
”TANPA keadilan, negara tidak lain hanyalah gerombolan perampok yang terorganisasi”. Kalimat ini dipopulerkan oleh St Augustinus untuk menjelaskan betapa pentingnya instrumen keadilan sebagai bingkai perilaku dan kebijakan komunal. Jika semangat keadilan sudah tidak lagi menjadi dasar nilai perilaku sosial berbangsa dan bernegara, sesungguhnya kita merupakan sekumpulan gerombolan yang saling menghancurkan satu sama lain.
Kecenderungan untuk saling menghancurkan itu mulai tampak dengan merebaknya perilaku korupsi di level kekuasaan. Kita bisa melihat dugaan megakorupsi di Kemenpora terkait dengan pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang dan suap di Kemenakertrans menjadi contoh perilaku yang merusak struktur kekuasaan negara; penyimpangan, perampasan hak, dan manipulasi kebijakan.
Kondisi ini mengingatkan kita pada pernyataan yang pernah dilontarkan filsuf eksistensialis Jerman. Nietzche dalam gugatannya mengatakan bahwa sesungguhnya manusia lebih banyak berpura-pura dalam menegakkan keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Di balik semua tindakannya yang tampak adil dan suci itu, yang ada hanyalah hasrat untuk berkuasa (will to power).
Syed Hussein Alatas mendiagnosis kecenderungan kuropsi yang begitu luas. Menurutnya, di Indonesia perilaku korupsi sudah melebar dan sangat mendalam (widespread and deep rooted). Tidak hanya di tingkat puncak kekuasaan seperti di level kepresiden, menteri, gubernur atau bupati/ wali kota, tetapi hampir merata di semua jaringan birokrasi yang berjalan pada semua level. Hampir sulit mencari tatanan birokrasi yang steril dari jerat korupsi.
Kejahatan korupsi ini setidaknya dapat kita golongkan pada dua kategori. Pertama; korupsi secara konvensional terkait dengan kejahatan keuangan seperti suap, pemotongan anggaran atau skenario kolusi antara kekuasaan dan pelaku usaha untuk kepentingan proyek tertentu. Kejahatan model ini sudah sangat dipahami dan mudah ditelisik karena bisa didekati dengan parameter keuangan kerugian negara.
Kedua; korupsi kekuasaan yang sangat rumit tetapi sangat berbahaya. Korupsi kekuasaan merupakan bentuk penyelewengan kekuasaan yang mengarah pada tidak berjalannya fungsi kekuasaan sebagaimana mestinya. Misalnya, pembuatan kebijakan yang salah (atau sengaja dibuat salah), pelayanan yang tidak maksimal, atau memalingkan fungsi kebijakan sebagai bentuk pelayanan kepada rakyat menjadi kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Korupsi jenis kedua ini seringkali tidak terdeteksi meski dampaknya sangat luas terhadap eksistensi bangsa dan negara. Sebab, korupsi jenis kedua inilah yang menjadi sumber lahirnya korupsi konvensional yang berkait dengan kejahatan keuangan. Karena itu, Jared Diamond, pakar biologi evolusioner dari Amerika, melalui penelusuran panjang terhadap muncul dan hilangnya sebuah bangsa berkesimpulan bahwa korupsi kekuasaan dalam bentuk kebijakan yang salah dapat meruntuhkan sebuah bangsa.
Faktor Perusak
Sejauh ini memang belum ada diagnosis secara pasti yang dapat memberikan justifikasi terhadap kultur korupsi ini. Tetapi, setidaknya ada beberapa latar yang bisa dijadikan acuan mengukur maraknya korupsi ini. Pertama; sistem demokrasi politik yang bertumpu pada besarnya dukungan keuangan. High cost politics membuat aktor-aktor politik melakukan kompensasi keuangan dalam jabatan politiknya untuk mengembalikan atau melipatgandakan biaya politiknya.
Kedua; menurunnya moralitas elite akibat lemahnya mekanisme seleksi politik sehingga aktor politik yang muncul ke puncak kekuasaan didominasi oleh mereka yang kurang berkompeten, bahkan sama sekali tidak memiliki kualifikasi untuk jabatannya. Ketiga; sebagaimana dijelaskan oleh antropolog kenamaan Indonesia Kuntjoroningrat, bangsa ini diselimuti oleh mentalitas menerabas, kesadaran kejiwaan yang menginginkan sesuatu secara cepat tanpa melalui proses wajar. Mentalitas menerabas dalam panggung politik, dapat dibaca misalnya dari kecenderungan seseorang untuk segera menduduki posisi puncak tanpa berproses secara berjenjang.
Akumulasi persoalan dari tiga faktor tersebut, lambat laun menjadi faktor perusak (self destruction) sendi-sendi kebangsan kita yang harus segera ditangani secara fundamental. Karena itu, ada beberapa langkah pembenahan yang harus segera dilakukan. Pertama; pembenahan sistem politik kekuasaan yang memungkinkan mekanisme seleksi kepemimpinan secara ketat dan rapi sehingga produk-produk demokrasi politik benar-benar mencerminkan kualitas ideal.
Kedua; penataan sistem kekuasaan yang benar-benar bertumpu pada kesadaran hukum sebagai landasan perilaku bersama sehingga mempersempit adanya penyelewengan kekuasaan. Kesadaran hukum menjadi ciri utama sebuah negara demokrasi. Tanpa ikatan hukum maka penyelenggaraan negara tidak memiliki arah dan landasan yang kukuh. Hukum adalah substansi yang dapat meng-guide sistem negara modern. (10)
Dr Gunarto SH MHum, Wakil Rektor Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, dosen Magister Hukum
Tulisan ini disalin dari Suara Merdeka, 17 September 2011