Mewaspadai Korupsi Sertifikasi Guru
Disahkannya UU 14/2005 mengenai guru dan dosen menumbuhkan harapan guru untuk hidup sejahtera. Melalui pasal 14 dan 15, pemerintah menjanjikan paling tidak akan memberikan penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum berupa tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok, jaminan kesejahteraan sosial, promosi, peningkatan kapasitas, serta penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
Sayang, pemberlakuan UU 14/2005 tidak serta merta mengubah nasib guru. Sederet janji yang dicantumkan dalam UU diikuti berbagai persyaratan yang terlebih dahulu harus dipenuhi oleh guru. Beberapa di antaranya mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani, serta kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Selain itu, syarat terpenting yang wajib dipenuhi agar mendapat kesejahteraan ialah guru mesti profesional. Cara menunjukkan kepada pemerintah bahwa mereka profesional adalah dengan memiliki sertifikasi yang dikeluarkan lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang ditunjuk pemerintah.
Sertifikasi merupakan bukti formal pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Paling tidak, ada tiga tujuan atas digulirkannya program sertifikasi. Pertama, menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kedua, peningkatan proses dan mutu hasil pendidikan, serta ketiga, peningkatan profesionalitas guru.
Namun, tidak semua guru memiliki kesempatan mengikuti program sertifikasi. Pemerintah menetapkan syarat berupa tingkat pendidikan minimal strata satu (S-1) atau diploma empat (D-4).
Padahal, dari data Departemen Pendidikan, setidaknya tingkat pendidikan 1,6 juta atau separo guru di Indonesia di bawah S-1 atau D-4. Persyaratan lain, terpilih dalam seleksi sesuai dengan kuota daerah masing-masing. Karena keterbatasan pendanaan, program sertifikasi diselenggarakan secara bertahap hingga 2015.
Masalah lain, dalam UU 14/2005 diamanatkan agar program sertifikasi dilaksanakan paling lambat dua belas bulan sejak diberlakukannya UU. Tapi, Departemen Pendidikan sebagai penanggung jawab program hingga kini belum mampu merealisasikannya. Pembahasan peraturan pemerintah yang menjadi payung untuk menjalankan sertifikasi masih berlarut-larut sehingga tak kunjung disahkan.
Padahal, sejak tahun anggaran 2006, dana untuk melakukan sertifikasi bagi sekitar 20 ribu guru sebesar Rp 32,5 miliar telah disediakan (Media Indonesia, 30/1/07). Bahkan, di beberapa daerah, sekolah dan Dinas Pendidikan sudah menyeleksi guru-guru yang akan diajukan mengikuti program sertifikasi.
Rawan Korupsi
Dalam rangka mengisi