Miliaran Rupiah Hilang akibat Penebangan Liar di Maluku
Potensi hutan Provinsi Maluku yang hilang akibat kegiatan penebangan liar (illegal logging) setiap tahunnya diperkirakan paling sedikit mencapai 20.000 meter kubik kayu. Kerugian negara akibat penebangan hutan secara liar itu diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Keterbatasan tenaga pemantau dan dana untuk melakukan operasi pemberantasan penebangan liar menyebabkan banyak kekayaan negara tersebut tidak terselamatkan.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Efendy Bahalwan di Ambon, Senin (14/3), mengatakan, potensi kayu di hutan Maluku yang hilang akibat penebangan liar paling sedikit 20.000 meter kubik setiap tahun. Penebangan liar itu di antaranya terjadi di hutan Pulau Seram, Buru, dan Wetar.
Kerugian negara yang diakibatkan oleh kegiatan itu sedikitnya Rp 3,8 miliar setiap tahun. Kerugian ini dihitung hanya berdasarkan asumsi Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) untuk kayu meranti sebesar Rp 50.000 per meter kubik dan Dana Reboisasi (DR) sebesar 16 dollar AS per meter kubik yang tidak dibayarkan kepada pemerintah.
Dinas Kehutanan Maluku sendiri sebenarnya telah melakukan pemantauan terhadap praktik penebangan liar yang terjadi di provinsi itu. Meskipun demikian, Bahalwan enggan menyebutkan berapa kayu ilegal hasil penebangan liar yang diketahui dari pemantauan tersebut serta berapa kerugian yang dialami negara. Ia hanya mengatakan, laporan tersebut telah diserahkan kepada Gubernur Maluku. Laporan itu bersifat rahasia karena mengarah kepada oknum-oknum tertentu yang terlibat dalam praktik penebangan liar sehingga harus digunakan asas praduga tak bersalah.
Kancing bayar
Menurut Bahalwan, modus yang sering digunakan oleh para cukong untuk mendapatkan kayu secara ilegal adalah dengan sistem kancing bayar. Artinya, para cukong yang mendanai penebangan kayu secara ilegal itu memberikan sejumlah bantuan dan alat penebangan kepada masyarakat.
Warga kemudian diwajibkan menjual hasil tebangannya kepada cukong yang mendanainya. Pembayaran dilakukan oleh cukong kepada warga saat kayu itu diangkut ke luar daerah. Ini dilakukan saat tidak ada pengawasan dan pengendalian oleh aparat, kata Bahalwan.
Pemerintah provinsi maupun kabupaten, lanjut Bahalwan, kesulitan memantau daerah-daerah yang diduga marak terjadi praktik penebangan liar, seperti di daerah Seram Timur, Seram Utara, maupun di Pulau Wetar yang berbatasan dengan Timor Leste.
Ketiadaan dana untuk operasi pemantauan juga menghambat upaya untuk mencegah makin luasnya areal hutan yang rusak akibat penebangan liar.
Kalau bisa, ada dana on call dari pemerintah pusat di Departemen Kehutanan untuk melaksanakan operasi. Operasi tanpa biaya jelas tidak mungkin, kata Bahalwan.
Sementara itu, Wakil Gubernur Maluku M Abdullah Latuconsina menjanjikan akan memberikan sanksi tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat penebangan hutan secara liar. Jika pelakunya pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH), maka izin mereka akan ditinjau kembali atau bahkan izin HPH-nya dicabut. Namun, jika pelaku bukan pemegang HPH, mereka akan diproses sesuai hukum yang berlaku.
Bahalwan menambahkan, terhadap para pemilik HPH yang hingga saat ini tidak mampu membayar tunggakan PSDH dan DR, ataupun izin HPH mereka sudah tidak berlaku lagi, kayu yang disita dari mereka akan diserahkan kepada Kantor Pengurusan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) bagi mereka yang berasal dari kalangan swasta. Sedangkan pelaku yang merupakan badan usaha milik negara akan diserahkan ke kejaksaan. (mzw)
Sumber: Kompas, 15 Maret 2005