Miskinkan Koruptor dengan Undang-Undang Pencucian Uang
= PPATK diharapkan Bantu KPK Jerat Kasus “Nazaruddin” dan Hakim 'S' dengan Pencucian Uang
Rilis Media
Ada dua kasus suap yang membuka mata publik hari ini. Kasus-kasus yang ditangani KPK tersebut mengkonfirmasi dugaan kita tentang kotornya institusi politik dan lembaga penegak hukum seperti Pengadilan. Tiga tersangka suap dalam kasus pembangunan Wisma Atlet Sea-Games ditangkap tangan oleh KPK di kantornya sendiri. Disana KPK menemukan cek senilai Rp. 3,2 miliar dan sejumlah uang tunai rupiah dan valas. Demikian juga dengan penangkapan Hakim 'S'. Ia digrebek di rumah kediamannya dan ditemukan uang setara Rp. 3 Miliar dalam bentuk rupiah dan mata uang asing dari berbagai negara. Wajar masyarakat menilai, baik mafia politik dan mafia peradilan adalah kenyataan yang tak dapat dibantah hari ini.
Biasanya KPK akan menggunakan pasal-pasal suap dan gratifikasi di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seperti Pasal 5, 6, 11, 12, 12B, dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 dan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan, kita tahu tidak mudah membuktikan terjadinya suap menyuap ini. Hampir semua tersangka yang dijerat KPK membantah dan membangun dalih lain seperti: jual beli pertama, pinjam-meminjam, atau bahkan uang usaha pembelian properti, tanah dan sejenisnya. Bagaimana KPK membuktikan suap selama ini? Transkrip dan suara dalam penyadapan adalah bukti yang paling diandalkan dan sangat berpengaruh untuk meyakinkan hakim, bahwa uang yang disita KPK memang adalah suap. Atau, dalam kasus Cek Pelawat misalnya: KPK tidak sempat melakukan penyadapan karena kasus terjadi jauh hari sebelum KPK sempat memantaunya. Beruntung, suap diberikan dengan sarana perbankan seperti travel cheque, sehingga nomor seri cek, pihak penerima, dan pihak yang mencairkan bisa terdeteksi. Tapi, tentu saja kasus seperti ini juga tidak mungkin bisa terungkap jika tidak ada whistleblower seperti Agus Tjondro yang “menyerahkan diri” pada KPK.
Sayangnya, kasus Cek Pelawat yang melibatkan puluhan politisi tersebut belum sampai pada titik maksimal, karena hingga hari ini KPK masih kesulitan mengungkap siapa pemberi dana suap Rp. 24 Miliar tersebut? Demikian juga untuk kasus “Nazaruddin” yang ternyata berkembang ke perkara baru, yaitu: terkait kasus di Kemendiknas, dan dugaan suap Hakim 'S' terkait perkara Pailit di PN Jakarta Pusat. Mungkinkah ada sarana hukum lain yang bisa dimanfaatkan KPK untuk menjerat pelaku lapangan hingga mastermind para mafia (The GodFather atau Don), dan melakukan perampasan terhadap dana mencurigakan yang tidak jelas asal-usulnya?
Follow The Money
Selama ini KPK masih fokus mengejar pelaku korupsi dengan strategi follow the suspect, meskipun perspektif asset recovery atau pengembalian aset hasil korupsi juga sudah menjadi salah satu prioritas lembaga ini. Akan tetapi, KPK diharapkan secara serius juga mulai menggunakan strategi baru dan kewenangan tambahan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Ke depan, melalui UU inilah, KPK dan penegak hukum lain seharusnya menerapkan strategi follow the money. Ikuti aliran uangnya, dan kita akan mengetahui, siapa sebenarnya penikmat dan pengguna hasil korupsi. Kenapa?
Secara konseptual, uang dan kekayaan adalah target sekaligus tujuan dari pelaku korupsi. Hasil kejahatan adalah live blood atau darah yang menghidupi dan menjadi motivasi kenapa seseorang melakukan kejahatan seperti korupsi atau suap. Dengan mendeteksi aliran uang, menghentikan dan merampas live blood tersebut serta secara bersamaan menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka kami menilai strategi ini akan sangat membantu KPK dan penegak hukum lainnya menjerat pelaku korupsi, sekaligus merampas “dana haram” yang beredar. Atas dasar inilah, KPK disarankan menempatkan UU Pencucian Uang sebagai regulasi yang sama pentingnya dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Strategi kombinasi menjerat Korupsi dan Pencucian uang, menurut ICW bisa diterapkan untuk memerangi mafia peradilan, dimulai dari kasus Hakim 'S', kasus Suap Wisma Atlet yang diduga melibatkan aktor partai politik, dan kasus korupsi lainnya. Selain itu, ICW juga menempatkan upaya pembersihan partai politik, khususnya “dana haram” untuk pembiayaan kegiatan politik sebagai prioritas yang harus diperangi. UU Pencucian Uang dinilai bisa menjadi salah satu piranti penting untuk membongkar praktek busuk yang selama ini mencengkram partai politik dan kegiatan yang terkait dengan parpol, seperti: money politik dalam pemilu dan pilpres, sumbangan gelap dana politik, dan praktek perburuan rente yang sebenarnya berawal dari sejak pihak swasta/pelaku bisnis memberikan dana pada partai agar mendapatkan keuntungan kebijakan tertentu.
Harus diakui, baik KPK ataupun PPATK belum melihat persoalan dana politik ini sebagai salah satu hal yang penting dan bisa dijerat dengan UU Pencucian Uang dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, dalam momentum penanganan kasus “Nazaruddin”, hal ini bisa dimulai. Ada beberapa informasi awal penting yang bisa dijadikan dasar menjerat aktor politik atau bahkan Parpol sebagai badan hukum dengan delik Pencucian Uang. Ke depan, bukan tidak mungkin proses hukum yang fair dan independen bisa membuktikan bahwa Politisi dan Partai Politik tertentu telah melakukan praktek pencucian uang dan korupsi.
Data PPATK
Sebelumnya PPATK telah mengumukan, ditemukan 13 transaksi keuangan mencurigakan, 2 diantaranya diduga atas nama Nazaruddin. Data ini sangat bernilai, tidak hanya bagi KPK dan PPATK, tetapi juga masyarakat. Selain itu, Sekretaris Dewan kehormatan Partai Demokrat, Amir Syamsudin juga pernah mengatakan, bahwa Nazaruddin menyumbang ke partai Rp. 13 miliar dalam satu tahun (24/5). Aliran uang, dan rangkaian perbuatan yang harus dibuktikan lebih jauh ini, dinilai akan sangat bermanfaat bagi upaya Indonesia melawan korupsi, mewujudkan pemerintahan yang bersih, dan bahkan pengentasan kemiskinan dalam jangka panjang.
Secara umum, PPATK juga melaporkan sejak tahun 2003 hingga April 2011 terdapat 1436 transaksi keuangan mencurigakan yang berasal dari korupsi, dan 97 dari suap, atau total (korupsi+suap) 44,13%. Jumlah keseluruhan transaksi keuangan mencurigakan yang dilaporkan PPATK adalah 3474 transaksi.
Kasus “Nazaruddin”
Penerapan UU Pencucian Uang dan UU Korupsi bisa dimulai oleh KPK dengan fokus pada transaksi mencurigakan yang berasal dari personal ataupun perusahaan. PPATK diharapkan bisa mengembangkan aliran dana, rekening atau sarana keuangan lain yang digunakan dalam proses aliran dana mencurigakan tersebut. Bahkan, harus ditelusuri lebih jauh, dimana uang itu berhenti dan siapa yang menikmatinya. Menjadi pertanyaan serius, apakah ada orang partai politik atau pembiayaan politik yang berasal dari aliran dana tersebut? Hal ini bisa dijawab oleh KPK dan PPATK melalui proses hukum yang fair dan independen. Dengan kata lain, KPK dan PPATK juga diharapkan tetap independen dan tidak goyah kalaupun ditemukan adanya aliran dana ke partai politik tertentu.
Selain itu, penting diproses lebih lanjut, keterangan lisan salah satu kader Demokrat tentang sumbangan dana politik Rp. 13 miliar yang diberikan pada partai. Asal-usul uang tentu tidak boleh bersumber dari kejahatan, atau dana tersebut benar-benar haruslah bersih dan bisa dibuktikan kewajarannya. Jika tidak, Pasal 5 UU Pencucian Uang memberikan kemungkinan proses hukum terhadap dana yang setidaknya patut diduga sebagai hasil kejahatan.
Secara lebih luas, keberadaan UU Pencucian Uang yang diundangkan sejak 22 Oktober 2010 bisa diterapkan juga untuk pembersihan “Dana Haram” Partai Politik. Sehingga ke depan, selain pemberantasan korupsi bisa lebih maksimal, proses demokrasi pun menjadi lebih sehat dan substansial, karena tidak lagi dibajak oleh koruptor dan mafia.
Kasus Hakim 'S'
Bisakah UU Pencucian Uang digunakan untuk menjerat aktor mafia peradilan? Bisa. ICW mendorong agar penerapan UU Pencucian Uang ini dimulai dari kasus suap Hakim 'S'. Hal yang paling bisa diterapkan KPK adalah, untuk kepentingan pembuktian dana selain Rp. 250 juta yang baru diakui oleh pihak PT. SCI sebagai “tanda terimakasih” pada Hakim 'S'. Karena saat itu KPK menemukan 116.128 USD, 245.000 SGD, 12.600 Riel (Kamboja), 20.000 Yen, dan Rp. 142 juta.
Jika UU Pencucian Uang dikombinasikan dengan UU Korupsi, maka KPK bisa menggunakan pembuktian terbalik, yaitu: Pasal 77 UU No 8 tahun 2010 yang memberikan kewajiban bagi terdakwa untuk membuktikan bahwa uang yang dimilikinya bukan berasal dari korupsi atau suap. Selain itu, jika masih dirasa perlu, penyitaan terhadap harta kekayaan yang lain masih dimungkinkan dilakukan oleh jaksa penuntut (Pasal 81). Lebih dari itu, PPATK sangat bisa membantu KPK untuk melihat apakah ada transaksi mencurigakan terkait dengan kasus Hakim 'S' atau jejaringnya di institusi peradilan yang sekarang sedang ditangani KPK. Secara lebih luas, inilah salah satu momentum untuk melawan mafia peradilan secara lebih serius.
Jika penggunaan UU Pencucian Uang ini diteruskan dengan perampasan kekayaan, maka kita sudah bisa meletakkan satu preseden awal upaya kongkrit memiskinkan koruptor. Meskipun akan lebih positif ke depan jika Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset juga segera disahkan.
Oleh Karena itu, ICW meminta:
- PPATK berkontribusi secara maksimal membantu KPK untuk menerapkan UU Pencucian Uang dalam menjerat pelaku kasus korupsi dan merampas asetnya.
- KPK secara serius menggunakan UU Pencucian Uang, menerapkan pembalikan beban pembuktian terhadap kasus Hakim 'S', kasus yang diduga melibatkan Nazaruddin.
- KPK dan PPATK membangun kelembagaan dan mengajak masyarakat untuk meralisasikan konsep pemiskinan koruptor melalui UU Pemberantasan Korupsi dan UU Pencucian Uang
Jakarta, 9 Juni 2011
Indonesia Corruption Watch
Nilai Tambah (added value) dalam Penggunaan UU No 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU)
terhadap Tindak Pidana Korupsi
color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">No |
color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">Kelebihan |
color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">Ketentuan color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN"> |
IN" xml:lang="IN">1 |
IN" xml:lang="IN">Adanya ketentuan pembalikan beban pembuktian oleh tersangka, terhadap harta kekayaan yang diduga berasala dari tindak pidana asal (predicate crime) |
color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">Pasal 77 dan 78 Ayat (1) dan (2) |
IN" xml:lang="IN">2 |
IN" xml:lang="IN">UU PPTPPU lebih efektif untuk memulihkan keuangan negara dalam bentuk pengembalian aset (asset recovery) dibandingkan dengan UU Tipikor. Karena pasal-pasal tindak pidana (BAB II) memungkinkan denda maksimal 10 M untuk perorangan dan 100 Untuk Koorporasi. IN" xml:lang="IN"> |
color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">Bab II UU PPTPPU |
IN" xml:lang="IN">3 |
IN" xml:lang="IN">Adanya pidana tambahan terhadap Korporasi, berupa: mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">a. Penguman putusan hakim color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">b. Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">c. Pencabutan izin usaha color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">d. Pembubaran dan/ pelarangan korporasi color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">e. Perampasan aset korporasi untuk negara color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">f. Pengambilalihan korporasi oleh negara |
color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">Pasal 7 Ayat (2) |
IN" xml:lang="IN">4. |
IN" xml:lang="IN">Rumusan delik mengatur lebih banyak kejahatan. IN" xml:lang="IN">TPPU Aktif: mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN"> menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang, atau surat berharga, atau atau perbuatan lain (12 bentuk kejahatan ) IN" xml:lang="IN">TPPU Pasif: menerima, menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan (8 bentuk kejahatan) |
color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">Pasal 3 dan pasal 5 |
IN" xml:lang="IN">5 |
IN" xml:lang="IN">Adanya kriminalisasi terhadap ,orang atau kelompok tertentu yang turut menggunakan atau menikmati segala sesuatu yang diduga berasal dari tindak pidana. IN" xml:lang="IN">Rumusan ini amat efektif untuk menjerat oknum kader parpol yang serigkali menerima uang atau dana “siluman” ari kelompok pegusaha maupun perorangan. IN" xml:lang="IN"> |
color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">Pasal 5 |
IN" xml:lang="IN">6 |
IN" xml:lang="IN">UU PPTPPU dapat menjerat pihak-pihak yang terlibat dalam upaya menyembunyikan hasil kejahatan |
color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">Pasal 4 |
IN" xml:lang="IN">7 |
IN" xml:lang="IN">Penyidik, Penuntut Umum atau hakim berwenang untuk memerintahkan pihak pelapor untuk melakukan penundaan transaksi hingga melakukan pemblokiran. Setidaknya ini akan bermafaat untuk menunda terjadinya tindak pidana dalam selang waktu tertentu. |
color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">Pasal 70 dan 71 |
IN" xml:lang="IN">8 |
IN" xml:lang="IN">UU PPTPPU mengenyampingkan kerahasiaan bank bagi para penyidik, JPU dan Hakim terkait tindak pidana yang dilakuka |
color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">Pasal 72 |
IN" xml:lang="IN">9 |
IN" xml:lang="IN">Penyidik dapat menggabungkan antara tindak pindana pencucian uang dengan tindak pidana asal,salah satunya korupsi. IN" xml:lang="IN">Dakwaan kumulatif ini akan mampu memberikan efek jera (detterent effect) bagi pelaku tindak pidana. |
color:black;mso-ansi-language:IN" xml:lang="IN">Pasal 75 |
IN" xml:lang="IN">10 |
IN" xml:lang="IN">Konsep follow the money dalam UU PPTPPU dapat menghubungakan kejahatan dengan pelaku intelektual |
IN" xml:lang="IN"> |