Mitos Rambo Korupsi
Bahwa kisah heroik si peniup peluit (whistle blower) berakhir di penjara, fakta ini memeras energi diskursif yang tidak sembarangan. Di satu pihak, capaian prestasi dalam pemberantasan korupsi tidaklah buruk. Namun, sejimpit end- ing kontras seolah membuldoser optimisme tersebut.
Khairiansyah, Endin, dan Probosutedjo menunjukkan keberanian yang dibutuhkan dalam membongkar labirin megakorupsi (Kompas, 30/11). Mereka menjadi kurban di atas altar kolektif bernama banalitas korupsi.
Sementara mereka di bui, kita ribut menciptakan kadar apresiasi terhadap kontribusi mereka. Kita bingung. Hendak kita sebut apakah mereka itu: pemenang atau pecundang? Pahlawan atau pengkhianat? Seorang santo atau Yudas Iskariot?
Di sinilah paradoksnya. Kita mabuk pahlawan. Persoalan ini lebih bersifat epistemologis daripada praktis. Ada kesesatan elementer di dalam cara kita mengetahui nilai kebenaran dari banalitas korupsi.
Ideologi mayoritas?
Secara kategoris, tingkat keparahan korupsi dapat disejajarkan sebagai primadosa (mysterium iniquitatis). Katakankah kejahatan yang sempurna (perfect crime).
Banalisasi korupsi terwujud dalam lompatan lintasan makna (trajectory) sebagai tindakan tidak-normatif menuju standar pergaulan sosial bermotif ekonomi. Salah satu penyokong banalitas adalah mayoritas.
Dalam cara tutur David Hume (1711-1776), kekuatan mayoritas mampu mengubah apa yang deskriptif menjadi normatif. Aristoteles menyebutnya sebagai kecenderungan penyesatan oleh mayoritas (mob rule).
Fakta bahwa sekian banyak orang melakukan korupsi, pada gilirannya mampu menjadi justifikasi tindakan serupa oleh kelompok lebih luas. Korupsi telah menjadi kesadaran praktis-harian (practical consciousness). Kuantifikasionalitas bersifat konstitutif terhadap normativitas.
Moralitas korupsi dibangun dalam suatu mayoritas diam. Dalam terminologi religius, mandulnya mayoritas menunjuk pada dosa bungkam. Secara filosofis, sikap diam tergolong sebagai tindak kejahatan dengan pembiaran (crime by omission). Rasa berontak (indignation) terhadap fakta kontra-normatif runtuh.
Banalitas korupsi telah menjadi awan ketidaktahuan (the cloud of unknowing). Ketika ada orang yang memberi alternatif jalan keluar, justru kita mencibir. Sedikitnya kita kikir dalam memberi apresiasi yang dibutuhkan.
Imaji infantil
Epistemologi korupsi mengacu pada iklim patronase. Atas bentukan feodalisme, pemimpin mengemban suatu fungsi normatif. Secara genealogis, kultur patron identik dengan selebritisisme ideologis. Bourdieu (1988) menyebut patron memiliki modal simbolik (symbolic capital), sama dengan seorang trendsetter.
Dampak patronase terfokus pada moralitas asal-numpang. Mayoritas menjadi penumpang anonim yang emoh membayar untuk setiap keputusan sang sopir. Ketika sopir bagus menjalankan tugas, penumpang masih gerundelan. Sebaliknya, setitik kesalahan sudah cukup untuk mengudeta sopir.
Sementara tidaklah mudah mengusahakan suatu pendekatan legal seperti diungkapkan Indriyanto Seno Adji (Kompas, 9/12).
Gagasan tentang protection of cooperating persons dapat menjadi opsi brilian dalam perlindungan hukum. Para peniup peluit diangkat sebagai saksi mahkota (kroongetuige) karena membongkar kasus kejahatan terorganisasi. Proses ajudikasi yang dijalani seharusnya juga memberikan migrating punishment.
Sayang, ini hanya mitos. Di negara kita, belum ada kepastian hukum seperti disinyalir Haryatmoko (Kompas, 9/12). Jadilah!
Kita mabuk menciptakan mitos pahlawan antikorupsi. Mitos tersebut membeku dan menjadi apa yang disebut Habermas sebagai tandon ideologis. Kita menanamkan kuat-kuat seseorang yang muncul sebagai juru selamat dari cengkeraman korupsi. Figur tersebut harus suci, bersih, dan super-power.
Ini identik dengan ramboisasi. Kepahlawanan seorang rambo korupsi melulu konsumsi estetik-imajiner. Mengharap tokoh antikorupsi benar-benar bersih tidaklah realistis.
Tidak mungkin ada santo dalam bidang korupsi. Mitos kepahlawanan rambo melulu imaji infantil. Dan kita mengalami kesulitan epistemologis ketika sapu yang kita pakai untuk membersihkan halaman pun ternyata kecipratan kotoran.
Kita berduyun-duyun memproduksi paket standar ideal perihal kepahlawanan korupsi tanpa kita sendiri mau bersentuhan dengan lumpur dosa korupsi.
Atau, jangan-jangan kita memang perlu menahbiskan santo Yudas itu sendiri, yang dengan tindakan kepengkhianatannya justru menyebabkan banyak orang terselamatkan.
Kalau perlu, mengapa tidak?
Tulus Sudarto Rohaniwan, Mahasiswa Magister Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Tulisan ini disalin dari Kompas, 6 Januari 2006