MK Diminta Batasi Tindak Pidana Kejahatan Pimpinan KPK
Kriminalisasi yang diterima oleh dua Pimpinan non aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad dan Bambang Widjojanto yaitu pemberhentian sementara karena ditetapkan menjadi tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri, dinilai harus memiliki batasan ruang lingkup waktu dan pemilahan tindak pidana kejahatan. Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Hukum Tata Negara Saldi Isra dan Ahli Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Edward Omar Sharif Hiariej. Keterangannya tersebut disampaikan dalam sidang lanjutan pengujian Pasal 32 ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK di Mahkamah Konsitusi, Rabu (10/6/2015).
Menurut Saldi Isra, pembatasan tindak pidana kejahatan bagi pimpinan KPK sangat diperlukan, agar kerja pemberantasan korupsi tidak diganggu oleh tuduhan tindak pidana umum yang ringan. Namun tetap saja aturan tersebut harus dibatasi oleh ruang lingkup waktu perbuatan dan jenis tindak pidananya.
"Aturan pemberhentian sementara ditujukan guna menjadikan lembaga yang memiliki moral yang tinggi dan tepercaya dalam gerakan pemberantasan korupsi,” ucapnya.
Dalam hal ini, lanjutnya, pengertian pembatasan ruang lingkup ialah perbuatan tindak pidana yang dilakukan saat menjabat sebagai pimpinan KPK. Begitu juga dengan kualifikasi jenis tindak pidana yang dapat ditindaklanjuti dengan pemberhentian sementara, hal ini menjadikan tidak semua jenis tindak pidana dapat langsung berujung pada pemberhentian sementara.
Pasalnya, jika tidak ada pembatasan tindak pidana kejahatan, akan menjadi celah untuk mengganggu pemberantasan korupsi melalui pimpinan KPK.
“Menyadari kelemahan itu, tidak ada pilihan lain selain menutupnya. Bukan membatalkan tapi memberikan tafsir batasan makna dan ruang lingkup waktu serta jenis tindak pidana untuk jadi dasar pemberhentian pimpinan KPK,” papar Saldi Isra.
Dia pun menegaskan, sudah seharusnya MK memberikan penafsiran baru guna pemilahan tindak pidana yang dapat melindungi pimpinan KPK dari ‘serangan balik’.
Hal yang sama juga dipaparkan oleh Edward Omar Sharif Hiariej, menurutnya, aturan pemberhentian sementara sudah seharusnya diterapkan jika kejahatan tersebut dilakukan saat menjabat sebagai pimpinan KPK. Sama halnya dengan kasus pemberhentian presiden dan wakil presiden, yang hanya bisa diberhentikan jika melakukan tindak pidana korupsi, mengkhianati negara, dan tindak pidana berat lainnya.
Dalam ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK merupakan pasal yang bertentangan dengan UUD 1945, kecuali ditafsirkan sebagai tindak pidana yang dimaksudkan adalah korupsi, terorisme, narkotika, pelanggaran HAM, dan keamanan negara.