MK Harus Transparan Tanggapi Kritik
Mahkamah Konstitusi harus bersikap transparan dalam menanggapi kritik sejumlah kalangan yang mempertanyakan kejanggalan putusan MK ini. Kejanggalan yang terdapat di dalam pertimbangan MK tersebut bisa terjawab jika terungkap apa yang sebenarnya terjadi di balik putusan MK atas KPK itu. Perlu ada kesaksian kepada publik akan apa yang sebenarnya terjadi sehingga dapat menjawab pertanyaan publik akan pertimbangan hukum MK yang dinilai banyak kalangan berlebihan.
Demikian sari pati yang muncul dalam diskusi seputar solusi hukum pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diselenggarakan di Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta, Selasa (22/2). Diskusi itu antara lain dihadiri Ketua KPK Taufiequrachman Ruki, Wakil Ketua KPK Erry Rijana Hardjapamekas, ahli hukum pidana Rudi Satriyo, Firmansyah Arifin, Bambang Widjojanto, dan Teten Masduki.
Refli Harun, yang bekerja di MK, dalam opininya di Koran Tempo (22/2), mengaku telah melakukan klarifikasi terhadap tujuh hakim konstitusi, dan dua hakim konstitusi mengaku tak sejalan dengan mayoritas majelis mengenai retroaktivitas. Namun, putusan itu sendiri bulat tak memuat dissenting opinion sebagaimana biasanya jika tidak ada kesepahaman.
Kesaksian ahli
Teten Masduki, Koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW), di dalam diskusi itu mempersoalkan mengapa MK tidak menguji kesaksian ahli dari seorang profesor hukum yang juga seorang pengacara. Pengujian kesaksian seorang ahli itu harus dilakukan untuk menjawab apakah seorang saksi ahli layak untuk dihadirkan guna diminta pertimbangannya ataukah tidak.
Teten mengatakan, di Amerika Serikat saat ini sedang ribut soal beberapa profesor yang ternyata merangkap sebagai pengacara. Hal itu diributkan karena para profesor itu di satu sisi bisa memberikan pendapat atas keahlian mereka, tetapi di sisi lain ia bisa saja menjalankan tugasnya sebagai seorang pengacara. Dan, jika hal itu dipelajari secara detail dalam struktur anatomi korupsi, aktor-aktor yang berperan adalah orang-orang yang selalu sama dari waktu ke waktu.
Pheni Chalid dari Partnership menjelaskan, jika dilihat, putusan MK sama sekali hanya berkutat pada kajian hukum, tetapi terlihat jelas tidak adanya semangat antikorupsi di dalam pertimbangan hukum dan putusan MK itu. Padahal, kita ingat Desember 2004, MK mengikrarkan sebagai lembaga antikorupsi, ujar Pheni.
Ketua KPK Taufiequrachman Ruki mengatakan, saat ini bangkitnya kekuatan korupsi sudah mulai terasakan. Bungkusannya bermacam-macam, ada yang dibungkus dengan bungkus akademis, bungkus kebebasan informasi, argumen yuridis. Konsolidasi kekuatan korupsi ini semakin menguat dan semakin terasakan pascaputusan MK. (vin)
Sumber: Kompas, 23 Februari 2005