Mobdin dan Modus Pemborosan
DI pengujung 2009, publik disuguhi berita dari para pejabat negara kita yang bisa membuat dahi masyarakat awam berkerut. Betapa tidak. Di tengah berbagai impitan yang dirasakan masyarakat dan kondisi APBN yang diperkirakan mengalami defisit Rp 98 triliun (1,6 persen dari PDB), pemerintah kita masih sempat mengganti mobil dinas menteri seharga lebih dari semiliar rupiah (Rp 1,2 miliar) per unit.
Terlepas beragam tanggapan yang mengomentari kebijakan kontroversial tersebut, ada satu pesan yang bisa disarikan. Yakni bahwa (elite-elite) birokrasi di Indonesia terbukti masih belum memiliki semangat untuk berhemat, khususnya dalam menggunakan anggaran negara.
Bukan hanya terjadi di tataran pemerintah pusat. Di tingkat pemerintah daerah, hal yang sama ternyata banyak pula dijumpai. Ironisnya, pemborosan anggaran itu tidak memiliki dampak meyakinkan bagi peningkatan kualitas pelayanan publik.
Pertanyaan sederhana, siapa yang bisa menjamin mobil dinas (mobdin) baru para pejabat akan meningkatkan kinerja mereka?
Sumber Pemborosan
Kasus mobdin hanyalah satu contoh dari sekian banyak praktik yang cenderung memboroskan anggaran negara. Praktik pemborosan anggaran pada realitasnya sudah jamak terjadi di lingkungan birokrasi. Karena itu, birokrasi kita seolah telah terjangkiti penyakit kronis menyangkut inefisiensi anggaran.
Apabila dicermati dan coba kita kelompokkan, paling tidak ada lima aspek atau modus yang bisa digolongkan sebagai sumber pemborosan anggaran.
Pertama, terkait pemberian fasilitas kedinasan. Kasus mobdin dan tunjangan perumahan anggota legislatif maupun tunjangan lain yang tak jelas output dan outcome-nya, termasuk pada golongan pertama ini. Bisa dibayangkan, berapa uang rakyat yang digunakan untuk membiayai fasilitas kedinasan yang tidak jelas efektivitasnya tersebut?
Sangat mungkin apa yang berlangsung di jajaran birokrasi merupakan bentuk ''warisan budaya'' patrimonial governance. Yakni, elite-elite birokrasi masih sulit memisahkan kepemilikan pribadi dengan publik di satu sisi dan paradigma yang menganggap penampilan luar sebagai unsur penentu kewibawaan di sisi lain.
Hal itu yang kemudian mendorong elite-elite pejabat seakan berlomba-lomba dalam meningkatkan kuantitas/kualitas fasilitas dinasnya dengan memanfaatkan privilege yang mereka miliki. Serta mengeksploitasi kekuasaan selayaknya kekayaan pribadi meski dengan konsekuensi membengkakkan anggaran belanja pemerintah.
Penulis bukan mengatakan tidak perlu adanya aturan keprotokoleran. Tapi, apa arti aturan tersebut jika ujung-ujungnya tidak memberikan manfaat kepada publik?
Sumber pemborosan kedua yang tidak jelas manfaatnya adalah anggaran untuk perjalanan dinas. Termasuk di dalamnya anggaran untuk studi banding. Anggaran untuk perjalanan dinas setiap satuan kerja hampir dapat dipastikan memiliki jumlah signifikan.
Namun, efektivitas dari biaya perjalanan dinas tersebut patut dipertanyakan. Bukan rahasia umum lagi bahwa kegiatan perjalanan dinas atau studi banding sering tidak tepat sasaran.
Ketiga, pemborosan dalam pengadaan barang/jasa. Terutama barang/jasa yang tidak dipersyaratkan melalui pelelangan. Itu terkait indeks harga belanja pemerintah yang acapkali di atas harga pasar. Selisih harga itulah yang menyebabkan pemborosan anggaran dan memiliki potensi terjadi penyimpangan.
Keempat, paradigma para birokrat yang cenderung berorientasi ''proyek''. ''Proyek'' lebih dipandang sebagai sumber tambahan pendapatan pribadi daripada kegiatan untuk menyejahterakan masyarakat. Fenomena birokrat yang cenderung mengejar proyek dapat diamati cirinya dari pengerjaannya yang relatif asal-asalan dan tidak jelas impact-nya.
Kelima, pemborosan yang secara nominal ''kecil'', tapi berlangsung terus-menerus. Bisa dikategorikan dalam praktik itu, antara lain, pemanfaatan fasilitas kantor untuk kepentingan tidak sebagaimana mestinya. Misalnya, pemanfaatan mobdin, telepon, atau komputer kantor untuk keperluan pribadi.
Persoalan Sistem
Selain kelima modus tersebut, ada sumber pemborosan besar-besaran, namun sifatnya given sebagai akibat gemuknya struktur birokrasi pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah perlu mengeluarkan biaya besar dalam menggerakkan birokrasi. Terutama untuk menggaji para pegawai beserta pejabatnya.
Konsekuensi atas gemuknya struktur birokrasi tersebut bisa dilihat dari besarnya persentase alokasi belanja pegawai bila dibandingkan dengan belanja pembangunan, baik di pusat maupun daerah.
Bisa diartikan, sumber dari segala sumber pemborosan anggaran pemerintah berasal dari persoalan sistemik. Sistem penganggaran kita harus diakui masih lemah, khususnya dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan anggaran. Sistem yang ada juga belum menjamin terwujudnya transparansi dan akuntabilitas publik.
Oleh karena itu, harus ada pembenahan menyeluruh terhadap struktur birokrasi dan peraturan perundang-undangan sehingga dapat memacu bekerjanya mekanisme birokrasi secara efisien.
Sangat disadari bahwa pembenahan itu dapat berdampak luas. Perlu keberanian ekstra untuk membuat perubahan karena berbagai resistensi amat mungkin terjadi.
Pemerintah pusat mempunyai peran strategis untuk memelopori budaya birokrasi yang efisien. Presiden SBY seyogianya dapat memberikan keteladanan, bukan hanya bermain retorika yang justru kontraproduktif terhadap upaya reformasi birokrasi.
Intervensi pemerintah pusat melalui penyusunan regulasi yang proefisiensi diyakini mampu ''meluruskan'' praktik-praktik pemborosan anggaran. Dengan catatan, implementasi atas regulasi tersebut harus diiringi pemberian reward and punishment yang tegas.
Tanpa ada ketegasan sanksi, kecil kemungkinan efisiensi anggaran akan terwujud. Lihat saja, misalnya, walaupun Permendagri Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2010 telah menyebutkan bahwa penyusunan program dan kegiatan daerah wajib menerapkan prinsip-prinsip efisiensi, kenyataannya kepatuhan terhadap aturan tertulis tersebut masih jauh dari harapan.
Meski telah ditentukan pembatasan penganggaran untuk penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan di luar kantor, workshop, seminar, dan lokakarya, tidak sedikit pemerintah daerah yang justru membahas RAPBD-nya di luar daerah.
Jadi, akhirnya semua kembali kepada persoalan moralitas individu. (*)
Didik G. Suharto, peserta Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Tulisan ini disalind dari Jawa Pos, 31 Desember 2009