Momen Benahi LP dan Rutan
Terkuaknya aksi ”jalan-jalan” Gayus Tambunan harus dijadikan momentum membenahi sekaligus menertibkan lembaga pemasyarakatan. Hal itu juga dapat digunakan untuk menertibkan rumah tahanan dan cabang rumah tahanan di luar Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Hingga saat ini masih ada praktik penyimpangan di lembaga-lembaga tersebut. Kasus yang paling menghebohkan adalah pengakuan Gayus Tambunan, bekas pegawai Direktorat Jenderal Pajak, yang keluar dari Rumah Tahanan Brigade Mobil Kepolisian Negara RI pada 5-6 November 2010.
Selain itu, terpidana kasus korupsi cek perjalanan yang juga politisi Partai Golkar, Hamka Yandhu, pun izin ke Sulawesi Selatan pada 10 November 2010. Demikian pula terpidana kasus suap, yang juga pengusaha, Artalyta Suryani, izin ke Lampung pada 8 November 2010.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Untung Sugiyono, akhir pekan lalu, memastikan bahwa keluarnya Hamka dan Artalyta sesuai prosedur. Mereka mendapatkan cuti untuk mengunjungi keluarga dan cuti darurat.
Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan secara tegas menyatakan bahwa cuti mengunjungi keluarga tidak berlaku untuk narapidana kasus korupsi. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 41 Ayat (3) PP Nomor 28 Tahun 2006.
Pendiri Center for Detention Studies, Gatot Goei, di Jakarta, Minggu (21/11), menyatakan, sistem pengawasan di lembaga pemasyarakatan (LP), rumah tahanan (rutan), dan cabang rumah tahanan sudah semestinya diperbaiki. Selain pengawasan internal, ujarnya, kini tiba waktunya Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menerima pengawas dari kalangan eksternal dari masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat.
”Selama ini penjara sangat tertutup. Kita tidak mengetahui apa yang terjadi di kamar tahanan,” lanjutnya.
Gatot Goei juga mengkritik tidak adanya kode etik untuk petugas lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan.
Saat ini terdapat sembilan cabang rumah tahanan (lihat Grafik). Enam di Kepolisian, dua di Kejaksaan, serta satu di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Keberadaan cabang rumah tahanan di luar Kementerian Hukum dan HAM diawali dengan Rumah Tahanan Kejaksaan Agung pada 1992. Demi menunjang kelancaran dan pengamanan penyelesaian perkara di Kejaksaan Agung, dipandang perlu adanya cabang rumah tahanan di tempat tersebut.
Cabang rumah tahanan di Kepolisian baru muncul pada 2007 melalui surat keputusan yang dikeluarkan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin. Saat itu Kepolisian diguncang kasus Suyitno Landung, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri waktu itu, yang terjerat kasus dugaan suap dalam penanganan kasus kredit fiktif Bank BNI dengan tersangka Adrian Waworuntu.
Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan, rumah tahanan yang ditempatkan di Kepolisian atau Kejaksaan sebenarnya memiliki fungsi masing-masing. ”Rutan Brimob itu pada mulanya dikhususkan untuk tahanan polisi yang terkena kasus hukum,” katanya.
Akan tetapi, lanjut Patrialis, lambat laun fungsi rumah tahanan dicampuradukkan. Oleh karena itu, rumah tahanan yang ada harus dipergunakan sesuai dengan fungsi rumah tahanan itu.
Tak berwenang
Terkait dengan persoalan Gayus Tambunan, Kementerian Hukum dan HAM memang tidak memiliki kewenangan terhadap operasi dan pengawasan Cabang Rumah Tahanan Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
Hal yang sama berlaku untuk delapan cabang rumah tahanan lainnya di luar Kementerian Hukum dan HAM. Setidaknya, hal itu jelas diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman serta Menteri Hukum dan HAM mengenai pendirian rumah tahanan. Kewajiban cabang rumah tahanan hanya melapor bulanan, sementara operasi beserta biayanya ditanggung oleh instansi yang bersangkutan.
”Dari sembilan cabang rutan (di luar Kementerian Hukum dan HAM), hanya cabang rutan di Kejaksaan Agung yang rutin mengirimkan laporan bulanan. Yang lainnya naik turunlah, bisa dua bulan atau tiga bulan sekali,” kata Untung Sugiyono.
Enggan melapor
Hal senada diungkapkan mantan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Adi Suyatno. Selama ini ada keengganan dari pengelola cabang rumah tahanan untuk melaporkan keadaan di dalam cabang rumah tahanan. ”Dari dulu seperti itu. Mungkin karena merasa lebih. Mereka kan polisi ya,” ujarnya.
Baik Untung maupun Adi sepakat untuk membuat pengaturan yang lebih jelas mengenai hubungan pengelolaan cabang rumah tahanan di luar Kementerian Hukum dan HAM. Selama ini standar perawatan tahanan baru berlaku untuk rumah tahanan induk dan cabang rumah tahanan yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM. Untuk cabang rumah tahanan di luar Kementerian Hukum dan HAM belum dirumuskan.
Terkait dengan hal tersebut, Untung mengatakan, pihaknya saat ini tengah menggodok aturan untuk disepakati bersama dengan Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Intinya, Kementerian Hukum dan HAM memiliki kewenangan dalam bidang administrasi pengelolaan cabang rumah tahanan. Misalnya, registrasi, standar keamanan, kegiatan pembinaan, dan perawatan tahanan.
”Jangan berpikir kalau rutan itu sama dengan penempatan tahanan,” kata Untung.
Penempatan tahanan itu cukup di ruangan dengan terali. Namun, di rumah tahanan ada hak-hak yang harus dipenuhi, maka harus ada standarnya. ”Oleh karena itu, nanti kami bisa memberi saran di situ (cabang rutan di Luar Kementerian Hukum dan HAM),” kata Untung.(ANA/FER)
Sumber: Kompas, 22 November 2010