Mudahnya Menguak Kebenaran dari Pengakuan Agus...

Saya ingin kasus ini dituntaskan,” kata Agus Condro Prayitno, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau F-PDIP DPR di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, Jakarta, Selasa (26/8).

Ia baru saja menemui pejabat KPK untuk membahas uang Rp 500 juta yang diakuinya diterima sesaat setelah pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) pada Juni 2004. Untuk menuntaskan kasus itu, Agus tidak hanya bermodalkan keberanian, termasuk untuk menjadi tersangka, tetapi juga kerelaan untuk membuat kronologi kasus itu secara lengkap.

Politisi asal Batang, Jawa Tengah, itu juga memiliki daya ingat yang bagus. Ini tercermin dari ingatannya bahwa uang itu diberikan dalam bentuk 10 lembar cek perjalanan Bank Internasional Indonesia (BII) di ruang kerja Ketua Komisi IX DPR saat itu, Emir Moeis. Pemberian dilakukan sekitar dua minggu setelah uji kelayakan dan kepatutan calon Deputi Gubernur Senior BI yang dimenangi Miranda S Goeltom.

Tiga atau empat hari sebelum uji kelayakan dan kepatutan, Agus juga ingat menghadiri pertemuan di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Dia juga tidak lupa, Miranda telat menghadiri pertemuan itu. Pertemuan dipimpin Panda Nababan, politisi senior PDI-P. Keduanya sangat akrab.

Agus juga ingat tempat dan waktu pencairan 10 lembar cek perjalanan yang diterimanya. Cukup dengan ingatan itu, KPK (seharusnya) bisa mengusut kasus ini. Karena di setiap cek perjalanan, terdapat tanggal dan nomor. Dengan wewenang yang dimilikinya, KPK bisa meminta bank tempat pencairan cek perjalanan yang diterima Agus untuk menyebutkan nomor dan tanggal pengeluaran cek perjalanan itu.

Data itu tentu dimiliki bank tempat pencairan cek perjalanan tersebut. Bank wajib menjaga data seperti itu untuk jangka waktu hingga 20 tahun. Berdasarkan fatwa Mahkamah Agung (MA), 2 Desember 2004, bank tak dapat menolak permohonan KPK atas hal seperti itu.

Dengan data itu, KPK dapat menghubungi bank penerbit untuk mengetahui identitas pembeli cek perjalanan yang nomor dan tanggalnya diterima Agus. Pembelian cek perjalanan biasanya dilakukan sekaligus dalam buku, juga bisa diketahui dengan mudah, jumlah cek perjalanan yang seluruhnya dibeli, jika ternyata lebih dari 10 lembar.

Dengan bantuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang selama ini punya hubungan baik dengan KPK, kemungkinan juga dapat diketahui sumber dana untuk membeli cek perjalanan itu. Sebab, besar kemungkinan pembelian dilakukan dengan transfer antarrekening dan bukan dengan uang tunai.

Setelah diketahui pembeli dan asal uangnya, dengan relatif mudah akan diketahui siapa saja penerima cek perjalanan itu dan di mana dicairkan. Pertanyaan apakah cek perjalanan itu hanya diterima Agus atau juga orang lain seperti yang diduganya selama ini, menjadi tidak sulit dibuktikan. Kasus ini akan lebih mudah diselesaikan.

Agus sudah menjelaskan cukup rinci terkait cek perjalanan senilai Rp 500 juta yang diterimanya. Yang ditunggu sekarang adalah tindak lanjut pengakuan Agus tersebut. Penuntasan secepatnya kasus ini tidak hanya akan memenuhi harapan Agus atau mencegah terjadinya bola liar yang hanya akan menghabiskan energi bangsa ini.

Segera dituntaskannya kasus ini, seperti disampaikan Agus, juga bagian dari pelaksanaan amanat reformasi, yaitu pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dibandingkan tiga amanat reformasi lainnya, yaitu turunkan (mantan Presiden) Soeharto, penghapusan dwifungsi ABRI (TNI), dan perubahan UUD 1945, amanat tentang pemberantasan KKN selama ini sepertinya paling alot. (m hernowo)

Sumber: Kompas, 2 September 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan