MUI dan Transparency Perlu Sepakati Persepsi Korupsi
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Transparency International Indonesia diusulkan bertemu untuk menyepakati pengertian korupsi. Wakil Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat--membidangi agama, sosial, dan haji--Hilman Rosyad Syihab mengatakan MUI merupakan lembaga independen yang tidak menerima dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Proses pembuatan sertifikasi halal sebelum dilaksanakan, menurut dia, telah disepakati dulu dengan pengusaha. "Keduanya perlu menyepakati persepsi tentang korupsi. Lembaga yang dibiayai APBN bisa diindikasikan korupsi, tapi lembaga independen tidak bisa," ujarnya saat dihubungi kemarin.
Berawal dari survei Transparency yang menyebut Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika sebagai lembaga publik yang memiliki indeks suap sebesar 10 persen. Lembaga pengkajian ini berada di bawah Majelis Ulama Indonesia. Selain Lembaga Pengkajian, ada 14 lembaga lain yang diteliti indeks korupsinya oleh Transparency, antara lain polisi 48 persen, bea-cukai 41 persen, dan imigrasi 34 persen.
Hilman mengatakan, setelah terjadi kesepakatan, Transparency bisa kembali melakukan survei dengan parameter yang disepakati. Survei yang dilakukan Transparency tidak perlu ditutup atau dihalang-halangi karena menjadi kontrol. "Parameter korupsi harus jelas, apa saja ukurannya. Selain itu, untuk meningkatkan reputasi perlu dilakukan audit independen terhadap MUI," ujarnya.
Namun, hal berbeda disampaikan Ketua Komisi Agama DPR Hazrul Azwar. Menurut dia, hasil survei Transparency telah menuduh kumpulan ulama melakukan korupsi. "Sedangkan ukuran korupsi dalam survei Transparency tidak jelas," ujarnya.
Hazrul mendukung MUI agar meminta Transparency meminta maaf. Bahkan lembaga itu perlu dituntut secara hukum apabila MUI merasa cemas atas hasil survei tersebut. Aqida Swamurti
Sumber: Koran Tempo, 23 Februari 2009