Mulyana, Suap, dan Dugaan Korupsi di KPU
Berita menghebohkan turun secara serentak di berbagai media massa pada Minggu (10/4), saat Mulyana W. Kusumah, Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), dilaporkan tertangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mulyana diduga melakukan upaya penyuapan kepada salah satu anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Peristiwa ini tidak main-main, mengingat yang diduga melakukan usaha penyuapan adalah seorang akademisi, tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM) nasional, pendorong demokratisasi, dan promotor penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Sekaligus yang melakukan penangkapan adalah KPK, lembaga otoritatif baru dalam bidang pemberantasan korupsi yang cukup disegani.
Ibarat membangun istana pasir, usaha dan dedikasinya untuk perubahan di Indonesia yang sudah lama dirintis seakan-akan tertelan oleh dugaan tindak pidana penyuapan. Dugaan suap itu sekaligus akan memicu perdebatan panjang mengenai peranan tokoh masyarakat sipil ataupun aktivis LSM dalam lingkaran kekuasaan. Jika dugaan suap yang dilakukan Mulyana benar, hal itu akan semakin menguatkan pendapat umum bahwa bagi siapa pun yang masuk ke lingkaran kekuasaan, tidak ada jaminan--walau tokoh yang dikenal bersih sekalipun--untuk tidak melakukan penyimpangan kekuasaan.
Karena itu, dalam konteks pemberantasan korupsi, seyogianya tidak perlu ada upaya pembelaan yang membabi-buta kepada yang bersalah, siapa pun dia. Sebab, semangat gerakan pemberantasan korupsi ditujukan kepada pembelaan terhadap nilai-nilai, bukan kepada orang per orang atau kelompok. Walaupun kita tentunya harus menyampaikan keprihatinan yang mendalam, mengingat kasus dugaan penyuapan tersebut melibatkan orang yang selama ini dianggap sebagai tokoh besar Indonesia.
Menurut hemat penulis, dugaan suap itu harus dilihat sebagai kasus yang tidak berdiri sendiri. Ia muncul karena dilatarbelakangi oleh beberapa laporan dugaan korupsi di KPU, khususnya yang pernah disampaikan Koalisi LSM untuk Pemilu Bersih kepada KPK jauh-jauh hari sebelumnya. Artinya, upaya penyuapan itu terkait dengan proses pemeriksaan terhadap dugaan korupsi yang ada di tubuh KPU yang proses auditnya tengah dilakukan oleh BPK.
Sebenarnya, sebelum kasus dugaan suap itu muncul, reaksi KPU atas laporan Koalisi LSM untuk Pemilu Bersih dapat dinilai sangat berlebihan. Karena Koalisi LSM dianggap melaporkan sesuatu yang tidak benar, KPU lantas melaporkan balik Koalisi LSM dengan tuduhan pencemaran nama baik. Hal itu tentu saja bertolak belakang dengan komitmen awal KPU untuk lebih transparan dan akuntabel kepada publik, mengingat unsur masyarakat sipil dalam tubuh KPU cukup kental. Jika kasus dugaan suap itu benar adanya, hal itu semakin menegaskan bahwa ada sesuatu yang sengaja ditutup-tutupi oleh KPU, setidaknya oleh Mulyana, hingga harus melakukan upaya penyuapan untuk membungkam proses audit BPK.
Terlepas dari perdebatan bahwa penangkapan itu menggunakan metode jebakan, yang jelas KPK mengklaim telah memiliki saksi dan alat bukti yang kuat. Atas penangkapan itu, KPK tentu akan mendapatkan nilai tambah sendiri di mata masyarakat. Karena itu, agar upaya pembongkaran kasus suap itu tidak berjalan parsial, KPK seharusnya mempertimbangkan beberapa hal.
Pertama, kasus dugaan suap yang dilakukan Mulyana hanya merupakan bagian kecil dari dugaan praktek korupsi di tubuh KPU, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa untuk pelaksanaan pemilihan umum yang menelan dana triliunan rupiah. Jika mengacu pada pembagian tanggung jawab dan tugas anggota KPU dalam menyelenggarakan pengadaan barang dan jasa, hal itu tentunya bukan tanggung jawab Mulyana seorang diri saja, melainkan juga tanggung jawab anggota KPU lainnya. Apalagi disinyalir kuat dugaan suap itu bukan atas kemauan Mulyana sendiri, melainkan atas perintah Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin (Detik, 11/4).
Dengan demikian, pemeriksaan KPK terhadap diri Mulyana atas tuduhan penyuapan harus dikembangkan kepada dugaan korupsi yang lebih besar dan melibatkan banyak pihak, khususnya orang-orang yang berada pada lingkaran inti KPU. Menjadi tidak lumrah dan terkesan berbau politis seandainya KPK hanya mengusut dugaan penyuapannya. Apalagi jika sampai pada satu kesimpulan tidak menemukan dugaan korupsi dalam pengadaan barang dan jasa sebagaimana yang dilaporkan oleh Koalisi LSM untuk Pemilu Bersih. Hal itu mengingat dugaan suap oleh Mulyana lebih merupakan efek lanjutan sekaligus reaksi atas proses audit BPK terhadap penggunaan anggaran pemilihan umum di KPU.
Kedua, KPK harus secara transparan menyampaikan proses pemeriksaan atas laporan dugaan korupsi, baik yang terkait dengan upaya penyuapan itu maupun praktek penyimpangan dalam penggunaan dana pemilihan umum di KPU, kepada publik. Sikap yang terbuka jadi sangat dibutuhkan untuk menghindari kesan bahwa KPK hanya melakukan tindakan serius pada segelintir orang, tidak melakukan hal yang sama pada pihak lain. Ini sekaligus untuk menjamin bahwa KPK steril dari pemanfaatan oleh pihak tertentu yang memiliki kepentingan di luar kepentingan pemberantasan korupsi.
Ketiga, atas gugatan pencemaran nama baik yang dilayangkan KPU kepada Koalisi LSM untuk Pemilu Bersih melalui kepolisian, pihak KPK harus ambil bagian untuk dapat menghentikan proses pemeriksaan itu, mengingat laporan yang disampaikan oleh siapa pun, apalagi menyangkut upaya pemberantasan korupsi, harus dilihat sebagai bagian dari partisipasi langsung masyarakat dalam melakukan pengawasan.
Apalagi saat ini sudah diterbitkan Surat Edaran Markas Besar Kepolisian RI untuk mendahulukan kasus laporan dugaan korupsi daripada laporan dugaan pencemaran nama baiknya. Supaya surat edaran itu dianggap oleh publik sebagai sebuah kebijakan yang sungguh-sungguh, mencabut pemeriksaan atas laporan pencemaran nama baik yang disampaikan KPU kepada Koalisi LSM untuk Pemilu Bersih merupakan suatu hal yang mesti dilakukan.
Khusus bagi Mulyana, bersikap kooperatif dan jujur terhadap pemeriksaan KPK barangkali satu-satunya alternatif untuk membongkar kasus korupsi yang sebenarnya di tubuh KPU. Jika ia mengaku hanya dikorbankan dalam kasus suap tersebut, tentunya masih ada aktor utama yang belum tersentuh. Hanya dengan pemberian informasi yang sebenarnya, upaya pembongkaran praktek korupsi yang lebih besar akan cepat terungkap.
Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, kepentingan masyarakat yang lebih luas untuk dapat mengetahui praktek korupsi sesungguhnya di tubuh KPU juga harus diprioritaskan. Karena itu, informasi sejelas-jelasnya dari wakil anggota KPU itu sangat dibutuhkan. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa Mulyana tetap memiliki komitmen dalam upaya pemberantasan korupsi, sesulit apa pun masalah yang kini tengah dihadapinya.
Sekali lagi, jika kasus dugaan suap itu benar adanya, rasanya kok sulit untuk mencari orang yang benar-benar tahan godaan untuk tidak melakukan korupsi. Barangkali kasus Mulyana dapat dijadikan pelajaran bagi kalangan aktivis LSM ataupun tokoh masyarakat sipil lainnya yang hendak terjun ke lingkaran kekuasaan. Sebab, kekuasaan itu, seperti kata Lord Acton yang terkenal itu, cenderung korup.(Adnan Topan Husodo, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 12 April 2005