Mungkinkah Korupsi Optimal?

Dari sudut mana pun, korupsi adalah buruk. Namun, pemberantasan korupsi sulit dikerjakan. Kurangnya komitmen politik, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, hingga alasan kultural adalah alasan-alasan yang sering diajukan. Ada alasan lain yang belum banyak dibicarakan, korupsi kita sudah pada tingkat optimal.

Menurut teori ekonomi, jika suatu variabel sudah mencapai tingkat optimal, ia tidak dapat dibuat lebih banyak atau lebih sedikit tanpa menimbulkan kerugian. Dalam teori produksi, misalnya, tingkat produksi optimal adalah yang menghasilkan keuntungan terbesar. Jika produksi dikurangi, keuntungan akan berkurang. Demikian halnya jika produksi ditingkatkan.

Korupsi yang optimal artinya, jika lebih banyak korupsi, artinya buruk bagi pelaku-pelaku ekonomi secara keseluruhan. Namun, jika tingkat korupsi dikurangi, perekonomian juga akan terganggu. Satu catatan, kondisi yang optimal secara ekonomi tidak selalu optimal secara sosial atau politik. Bahkan, secara ekonomi pun kondisi yang optimal tidak berarti kondisi itu diinginkan (desirable).

Ada tiga kemungkinan penyebab tingkat korupsi menjadi optimal.

Tiga argumen
Menurut argumen pertama, jika aktivitas bisnis bisa diibaratkan sebagai roda bagi perekonomian, korupsi bukan hanya menjadi penghambat. Ia bahkan bisa menjadi minyak pelumas bagi roda itu (Wei 1999). Di banyak negara berkembang dan negara maju, prosedur birokrasi untuk memperoleh perizinan bisa memakan waktu lama. Terutama bila struktur insentif yang ada tidak menyediakan motivasi yang cukup bagi pegawai publik untuk bekerja lebih keras dan efektif untuk mempercepat proses.

Pelaku usaha bisa saja mempercepat proses mendapatkan izin dengan menyuap aparat pemerintah. Secara hukum dan moral, hal ini jelas salah. Namun, dari perspektif lain, suap pada dasarnya merupakan insentif tambahan bagi aparat pemerintahan untuk bergerak lebih cepat dan mengatasi kelembaman birokrasi.

Contoh lain adalah tarif resmi untuk mendapatkan layanan publik atau barang yang dimonopoli pemerintah. Kita sering harus membayar lebih di atas tarif resmi. Namun, adakalanya kita bisa mendapatkan barang atau layanan publik di bawah harga resmi jika ada aparat pemerintah yang menjualnya di pasar gelap (tentu secara ilegal). Si oknum aparat tentu mengambil seluruh pembayaran untuk diri sendiri. Negara kehilangan pemasukan, tetapi konsumen membayar lebih murah dari harga resmi sehingga akhirnya yang terjadi adalah realokasi keuntungan dari negara ke konsumen (Schleifer dan Vishny 1993). Meski demikian, secara total terjadi keuntungan bersih bagi perekonomian karena roda ekonomi tetap bergerak.

Argumen kedua mengatakan korupsi bisa menjadi mekanisme seleksi pengusaha yang efisien. Misalkan terjadi tindakan korupsi dalam bentuk pungutan siluman yang ditarik aparat birokrasi dari pengusaha. Pengusaha yang membayar pajak akan mendapat imbalan berupa sejumlah fasilitas atau perlakuan khusus. Misalkan ada dua jenis pengusaha: yang efisien-profitabel serta yang tidak efisien-tidak profitabel. Mana yang lebih bersedia membayar pajak ini?

Kita akan berpikir, pengusaha yang tidak efisien akan bersedia membayar pungutan, dengan harapan fasilitas yang mereka terima bisa meningkatkan keuntungan. Masalahnya, belum tentu pengusaha yang tidak efisien ini mampu membayar. Sebaliknya, karena profitabel, pengusaha yang efisien lebih mampu membayar pungutan. Mereka bersedia membayar dengan pertimbangan akan lebih diuntungkan dibandingkan para pesaingnya.

Dalam kasus ini, korupsi justru menjadi mekanisme seleksi guna memisahkan pengusaha yang efisien dari yang tidak. Dengan kata lain, korupsi adalah kaki gaib (invisible foot) yang menendang mereka yang tidak efisien dari pasar.

Dalam argumen ketiga, korupsi merugikan perekonomian. Akan tetapi, biaya memberantas korupsi sering lebih besar dari keuntungan potensial yang bisa diraih. Di jangka panjang, kompetisi akan menghapus korupsi. Menurut peraih Nobel Ekonomi Gary Becker (1983), kompetisi pasar antara pelaku ekonomi dan kompetisi politik antara kelompok kepentingan akan menaikkan biaya bagi pemburu rente. Hasilnya, kebijakan yang paling berpihak pada kepentingan publik adalah strategi terbaik untuk meraih dukungan.

Pendapat ini didukung secara empiris. Ada dua contoh. Pertama, kompetisi antara pemburu rente di Thailand setelah 1950-an menghasilkan struktur industri yang kompetitif. Patron maupun klien politik secara individu tidak bisa mencegah kompetitornya masuk industri yang berkembang itu. Kedua, Pemerintah Indonesia tahun 2002 membatalkan rencana penundaan tenggang waktu pelunasan utang debitor BLBI bermasalah. Keputusan diambil setelah ada protes dari debitor lain yang sudah melunasi kewajibannya.

Pelajaran dan implikasi
Meski optimal, tidak berarti korupsi baik dan bisa dibiarkan. Hipotesis korupsi optimal mengatakan, agar pemberantasan korupsi berhasil, diperlukan perubahan struktur insentif dan kelembagaan agar korupsi yang terjadi tidak lagi optimal.

Argumen minyak pelumas mengindikasikan, penyakit utamanya mungkin bukan korupsi. Korupsi hanya gejala penyakit birokrasi yang lembam dan tidak efisien. Kita ingin berantas korupsi, tetapi jika problem inefisiensi tidak diselesaikan, permintaan atas korupsi tetap ada.

Argumen mekanisme seleksi menunjukkan korupsi bisa menjadi mekanisme informal untuk menyeleksi pengusaha yang efisien saat pasar dan pemerintah gagal melakukannya. Menghapus korupsi membuat kemunduran secara Pareto. Dari perspektif kebijakan, pemberantasan korupsi harus diikuti pencarian mekanisme lain untuk memisahkan mereka yang efisien dari yang tidak.

Terakhir, teori kompetisi politik menekankan pentingnya menurunkan insentif guna melakukan korupsi sekaligus insentif politik dan membiarkan korupsi terjadi. Kita bisa bicara gaji, hukuman lebih berat, atau pengawasan ketat. Namun, semua bergantung pada kemauan politik.

Korupsi akan lebih bertahan lama jika terjadi oligarki atau tingkat persaingan politik yang kecil. Jika pasar ide dalam politik menjadi kompetitif, meski semua politisi berorientasi kepentingan individu atau kelompok, masing-masing akan saling mengawasi agar lawannya tidak memperoleh rente lebih tinggi.

Jika hal-hal ini dilakukan, titik optimal korupsi akan bergeser dari yang ada kini ke titik nol, atau setidaknya ke tingkat korupsi yang lebih bisa ditoleransi.

Ari A Perdana Peneliti CSIS; Pengajar FEUI, Jakarta

Tulisan ini disalin dari Kompas, 19 Oktober 2006

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan