Nakhoda Baru Bank Sentral
HAMPIR tidak ada yang mengejutkan dari terpilihnya nakhoda bank sentral. Sebab, sejak gubernur BI lengser satu tahun lalu, hanya satu nama yang muncul, yakni Darmin Nasution. Dia kini benar-benar menjadi gubernur Bank Indonesia.
Memang pada proses candradimuka di DPR yang lumayan alot, banyak harapan yang disematkan kepada sosok gubernur BI itu. Namun, dari beberapa asa terhadap masa depan perbankan nasional, setidaknya ada dua ikrar yang perlu dicacat dari seorang Darmin.
Pertama, peran yang lebih besar dari kebijakan bank sentral akan dimainkan untuk lebih pro terhadap sektor riil. Kedua, kebijakan tersebut menjaga kedaulatan perbankan nasional.
Cukup menarik mencermati nawaitu sang gubernur bank sentral tersebut. Pertimbangannya, selama ini bank sentral hanya berlaga pada pengendalian inflasi, menjaga kurs rupiah, serta mengatur suku bunga.
Kondisi kredit yang merupakan roh bank setral sampai semester I 2010 pun masih memarginalkan sektor riil. Kucuran kredit yang semakin lancar bila dibandingkan dengan tahun lalu ternyata tidak mengubah muara penerima. Kredit di sektor konsumsi masih sangat dominan. Dengan begitu, tentu postur sektor riil belum berubah secara signifikan dari kondisi-kondisi sebelumnya.
Bila diintip, rasio kredit perbankan terhadap PDB Indonesia sampai akhir tahun lalu masih berada pada level 28 persen. Sementara itu, angka ideal Indonesia agar kredit mempunyai daya dorong bagi perekonomian adalah kisaran 70 persen, khususnya pada sektor riil.
Bandingkan dengan rasio beberapa negara Asia lain, seperti Tiongkok, Korea Selatan, dan Taiwan. Rasio masing-masing 119 persen, 137 persen, dan 175 persen.
Maka, diharapkan kebijakan bank sentral kelak menjadi lokomotif yang menggerakkan sektor-sektor ekonomi yang selama ini tertatih-tatih, seperti UMKM dan pertanian.
Tentu tidak berlebihan jika usaha mikro, kecil, dan menengah itu dijadikan kiblat bagi kebijakan bank sentral. Sebab, sebagian besar rakyat berkubang pada jenis usaha tersebut (99,5 persen). Sementara itu, hingga akhir kuartal I 2010, jumlah pihak yang dialiri kredit perbankan hanya separonya (52 persen).
Selama ini, pro-UMKM memang telah diikrarkan oleh perbankan. Tetapi, tidak adanya aturan yang ketat dari BI menjadikan watak bisnis perbankan masih mendominasi. Karena itu, fungsi awal perbankan sebagai institusi intermediasi tergelincir jauh, menjadi misi rent seeking belaka.
Fakta terbaru menguatkan hal tersebut. Sebab, pertumbuhan kredit perbankan tahun lalu anjlok dari patokan yang ditargetkan. Tetapi, keuntungan perbankan meroket hingga 47,7 persen atau senilai Rp 42,5 triliun. Sebagian besar dari jumlah itu atau 79 persen diperoleh dari pendapatan bunga.
Tali Kendali
Ufuk harapan yang ditatap sektor riil dengan komitmen baru dari sang juragan bank sentral untuk lebih peduli bagi sektor riil dapat dengan mudah diukur. Salah satu parameter kebijakan BI yang langsung menyejukkan para pelaku usaha tentu saja persoalan bunga pinjaman. Karena itu, penurunan bunga sangat krusial bagi sektor riil.
Tetapi, bila kita analisis lagi, bunga perbankan yang belum ramah terhadap sektor riil adalah salah satu akibat dari tidak dikuasainya semua tali kendali industri perbankan oleh bank sentral.
Dengan demikian, janji Darmin menjadikan kedaulatan perbankan nasional adalah etape yang harus dilalui untuk menguatkan struktur perekonomian nasional. Karena saat ini kepemilikan asing pada industri perbankan nasional cukup besar, tentu berbagai upaya BI tentang pengendalian bunga kredit agar perekonomian nasional lebih kukuh masih harus berhadapan dengan manajemen bank-bank asing, yang kepeduliannya terhadap perekonomian domestik perlu diuji.
Selain itu, data keuntungan perbankan, khususnya bank asing, tahun lalu semakin sulit menghapus kesan tersebut. Laba netonya meroket hingga 63,4 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni memperoleh Rp 4,28 triliun. Peningkatan tersebut mengungguli pencapaian laba bank umum, yang hanya melonjak 18,3 persen, maupun bank pembangunan daerah (BPD), yang naik 11,3 persen.
Saat ini bank-bank swasta nasional yang mayoritas kepemilikannya dikuasai asing adalah BCA, Bank Niaga, Bank Danamon, BII, Bank Lippo, Bank NISP, dan Bank Buana. Di luar itu, masih banyak bank lain yang dimiliki pihak asing meski modal yang dibenamkan bukan saham mayoritas, seperti Bank Permata dan Bank Panin. Sampai akhir 2008, tercatat ada 27 bank asing, baik murni maupun campuran (BI, 2008).
Apabila dilihat dari sisi kuantitas, memang telah terjadi penurunan jumlah bank asing jika dibandingkan dengan catatan pada 1997 yang mencapai 41 bank. Tetapi, jika melongok aset yang ditanam pada sektor perbankan kita, dana asing sungguh sangat kolosal.
Bayangkan, pada akhir semester 1 2008, total aset bank asing masih Rp 295,86 triliun atau hampir 15 persen dari total dana perbankan umum di Indonesia. Namun, sampai akhir tahun lalu, aset bank asing mendekati 50 persen dari total dana perbankan nasional yang mencapai Rp 1.800 triliun (Agus Suman, 2010).
Itulah potret sektor perbankan saat ini. Kedaulatannya dibagi dengan pihak asing. Maka, kita patut memberikan aplaus terhadap niat Darmin menjadikan kedaulatan perbankan sebagai salah satu jurus untuk menjaga perekonomian Indonesia.
Memang kita berharap dan menanti ikrar gubernur BI yang baru tersebut. Semoga Darmin menjadi figur gubernur BI yang diangankan, yang tidak saja mampu di sektor moneter, melainkan juga cakap dalam makroekonomi. Dengan demikian, kebijakannya akan mampu menjadi salah satu problem solving atas masih rimbunnya persoalan-persoalan ekonomi negeri ini. (*)
*) L. Wiji Widodo , pengamat sosial ekonomi, mantan staf LP3 Universitas Brawijaya, Malang
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 26 Juli 2010