Nasionalisme Baru t anpa Korupsi
Refleksi nasionalisme dan proklamasi selalu membahana sepanjang bulan Agustus. Maklum, pada bulan ini bangsa kita sedang memperingati hari kemerdekaannya. Semangat itu tidak cukup bila hanya diperingati lewat puncaknya, yakni upacara bendera, tetapi mendesak untuk direnungkan lebih mendalam agar tidak hampa dari makna.
Nasionalisme selalu saja diidentikkan dengan pengertian cinta tanah air dan semangat melawan penjajahan asing. Singkatnya, nasionalisme adalah sikap menolak kolonialisme asing.
Pemahaman itu tidak salah karena memang bangsa ini dulu merdeka berkat kegigihannya melawan penjajah Belanda. Namun dengan bergulirnya zaman, terjadinya regenerasi anak bangsa, serta berubahnya sifat dan bentuk penjajahan, kiranya nasionalisme itu perlu dikontekstualkan terus-menerus.
Dulu, sebelum 1945, musuh utama bangsa Indonesia adalah penjajah Belanda. Belandalah yang membikin bangsa ini miskin, tertindas, terbelakang, dan sengsara. Karena itu, sudah selayaknya bangsa ini bahu-membahu tanpa kenal menyerah dan lelah untuk bangkit melawan penjajah Belanda. Merdeka atau mati adalah semboyan yang pas dipekikkan waktu itu.
Kini musuh kita bukan lagi bangsa asing semata yang menciptakan kita miskin, terbelakang, tertindas, kemakmuran tidak merata, pengangguran terus meningkat jumlahnya, dan kemampuan daya beli masyarakat menurun. Musuh terberat adalah bangsa kita sendiri, yakni para koruptor. Koruptor telah mencuri uang rakyat bukan hanya miliaran rupiah per tahun, melainkan triliunan. Kasus pengemplangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), penyalahgunaan dana Bank Indonesia, illegal loging yang puluhan triliun per bulan, korupsi perizinan, pemborosan anggaran daerah dan nasional, serta suap-menyuap. Semua itu hanya dinikmati segelintir elite politik.
Akhir-akhir ini, uang bermiliar-miliar dikorupsi anggota DPR. Mereka begitu mudah mendapatkan kucuran dana miliaran di luar gaji resmi. Sedangkan rakyat, mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) saja berbelit-belit. Ditambah lagi, BLT yang sebulan Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) itu harus dipotong Rp 100.000 (seratus ribu rupiah) untuk pengambilan 3-4 bulan.
Tanpa Korupsi
Semua pihak tentu sudah sadar, betapa besar ancaman korupsi terhadap masa depan bangsa, baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Namun, belum ada kesadaran yang sama untuk mencegah dan memberantasnya. Kerja keras dan bahu- membahu untuk memberantas korupsi belum lahir sebagai semangat bersama.
Di sisi lain, penangkapan demi penangkapan para koruptor oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beserta hukuman yang dijatuhkan belum mampu membikin jera para koruptor. Pihak-pihak yang memiliki peluang korupsi masih berpikiran bahwa penangkapan demi penangkapan itu hanya soal nasib. Kalau nasibnya sial, ketangkap. Tapi kalau tidak, ya aman-aman saja.
Di tengah persoalan korupsi yang begitu besar bahayanya serta minimnya kesadaran untuk meninggalkan perilaku korupsi, maka tidak salah kalau dalam peringatan kemerdekaan yang kental dengan jiwa nasionalisme ini kita mencoba membangun paradigma baru. Paradigma baru itu adalah bagaimana semua elemen bangsa, tanpa terkecuali, memiliki kesadaran bahwa korupsi adalah musuh kita bersama dan harus diperangi bersama. Mewujudkan cita-cita Indonesia tanpa korupsi harus menjadi semangat nasionalisme baru kita.
Perilaku korupsi yang kini sudah melampaui batas dan tanpa ada rasa malu merupakan ancaman terbesar bangsa Indonesia saat ini. Korupsi yang merajalela adalah wujud pengkhianatan terhadap cita-cita didirikannya negara. Perilaku korup juga mengkhiati proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan 63 tahun lalu.
Korupsi yang sudah melewati batas ambang sadar seperti saat ini sebenarnya jauh lebih berbahaya daripada penjajahan bangsa asing. Sebab, para koruptor adalah bangsa sendiri, yang memiliki kedudukan terhormat dan pengaruhnya besar. Mereka bisa leluasa menggunakan uang, kekayaan, dan aset negara semaunya tanpa kontrol. Perilaku busuknya sulit diperangi. Ini berbeda dengan penjajah asing yang terlihat secara fisik dan mudah diperangi.
Darurat Korupsi
Melihat besar, berurat berakar, dan membeludaknya perilaku korupsi di tanah air ini, Guru Besar Hukum Undip Semarang Prof Sadjipto Rahardjo mengistilahkannya dengan darurat korupsi. Bangsa ini sudah dalam kondisi sangat bahaya dan tidak mungkin bisa diselamatkan lagi tanpa adanya paradigma baru dalam memberantas korupsi. Dalam konteks inilah penulis menawarkan agar semangat memberantas korupsi saat ini disejajarkan dengan semangat melawan penjajahan Belanda sebelum tahun 1945. Atau bahkan, kalau perlu, lebih dari semangat nasionalisme tahun 1945.
Mengapa demikian. Sebab, yang kita hadapi adalah bangsa kita sendiri. Kita tidak akan mungkin membebaskan bangsa ini dari perilaku korupsi kalau tidak memiliki ketegasan sikap dan semangat di atas semangat memerangi penjajah asing. Kalau masih ada budaya ewuh pakewuh, sikap ambivalen, mafia peradilan tak terbendung, koruptor dihukum ringan, dan sebagainya, jelas korupsi akan terus melengggang menggerogoti sendi-sendi kehidupan kita. Koruptor akan terus mengisap darah rakyat tanpa ada penyikapan yang tegas.
Di sinilah perlunya menumbuhkan semangat nasionalisme baru berupa terwujudnya Indonesia tanpa korupsi. Semangat melawan korupsi harus dimaknai sebagai bentuk nasionalisme baru. STOP korupsi harus bisa menjadi semangat bersama semua elemen bangsa untuk bisa menyelamatkan bangsa ini dari cengkeraman penjajahan para koruptor. Tanpa semangat dan nasionalisme baru berupa sikap antikorupsi, omong kosong korupsi akan bisa dikurangi. Menurut penulis, renungan ini menjadi penting digelorakan pada bulan Agustus ini.
Jabir Alfaruqi , koordinator Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 5 Agustus 2008