Nazaruddin Divonis 7 Tahun; Ketua KPU: Kalau Ikuti Alur Pikir Majelis, Pemilu Presiden Juga Tidak Sa
Ketua Komisi Pemilihan Umum Nazaruddin Sjamsuddin, Rabu (14/12), dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Nazaruddin terbukti korupsi dalam pengadaan asuransi kecelakaan diri sehingga merugikan keuangan negara Rp 5,03 miliar.
Majelis hakim yang dipimpin Kresna Menon juga memerintahkan Nazaruddin membayar uang pengganti Rp 5,03 miliar secara tanggung renteng dengan Hamdani Amin, Kepala Biro Keuangan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jika dalam sebulan uang pengganti itu tidak dibayar, kekayaan Nazaruddin akan disita.
Meski putusan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa, kuasa hukum Nazaruddin, Hieronimus Dhani, langsung mengajukan banding. Sebelumnya jaksa menuntut Nazaruddin dihukum 8,5 tahun penjara, denda Rp 450 juta, dan membayar uang pengganti Rp 14,19 miliar secara tanggung renteng dalam tempo satu bulan.
Vonis atas Nazaruddin paling berat dibandingkan dengan putusan terhadap anggota KPU lainnya. Mulyana W Kusumah, misalnya, divonis dua tahun dan tujuh bulan penjara, Sussongko Suhardjo dua tahun dan enam bulan penjara, dan Hamdani dihukum empat tahun penjara.
Sidang pembacaan putusan itu diwarnai teriakan, tepuk tangan, dan cemoohan pengunjung. Saat pembacaan putusan baru sampai pada tuntutan jaksa, seorang anak Nazaruddin berteriak-teriak emosional. Namun, ia ditenangkan ibunya, Nurnida Sjamsuddin. Sidang pun kembali hening.
Saat majelis hakim membacakan vonis tujuh tahun penjara, Nurnida mengucap, Masya Allah. Gila ya. Beberapa pengunjung sidang langsung kasak-kusuk. Beberapa di antaranya berkomentar bahwa majelis hendaknya belajar masalah asuransi.
Ketika akhirnya Nazaruddin menyatakan banding, ruang sidang diriuhkan oleh tepuk tangan pengunjung.
Penunjukan langsung
Majelis menilai perbuatan Nazaruddin menandatangani perjanjian kerja sama pengadaan asuransi kecelakaan diri dengan PT Bumi Putera Muda (Bumida) melalui penunjukan langsung merupakan perbuatan melawan hukum. Pengadaan asuransi untuk lima juta petugas pemilu dengan total premi Rp 14,8 miliar itu dinilai bertentangan dengan Pasal 10 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (4), dan Pasal 2 Ayat (2) Keputusan Presiden No 80/2003.
Dari kegiatan itu, majelis menilai negara telah dirugikan Rp 14,193 miliar. Kerugian dihitung dari premi asuransi yang dibayarkan negara (Rp 14,8 miliar) dikurangi klaim yang diajukan KPU sebesar Rp 607 juta. Majelis hakim memerintahkan Nazaruddin mengembalikan uang Rp 5,032 miliar sesuai dengan diskon yang diberikan PT Bumida untuk KPU. Dakwaan pertama jaksa, Nazaruddin melakukan korupsi dan memperkaya diri sendiri/orang lain/badan usaha, telah terbukti.
Dakwaan kedua, yakni menerima hadiah atau janji dari orang lain yang patut diduga hadiah tersebut berhubungan dengan jabatannya, juga terbukti. KPU telah menilai uang dari rekanan KPU antara lain dari PT Astra, PT Bumida (dalam bentuk diskon), PT Pos Indonesia, dan PT Darma Bandar Mandala. Berdasarkan keterangan saksi, penerimaan dana rekanan direncanakan dalam dua kali rapat, yaitu rapat di Puncak dan di Jakarta. Alasannya, untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan staf KPU. Selanjutnya Nazaruddin memerintahkan Hamdani Amin menerima, menyimpan, dan membagikan uang tersebut kepada anggota KPU.
Majelis menilai, hal-hal yang meringankan Nazaruddin adalah selaku Ketua KPU ia sukses menyelenggarakan pemilu yang mendapat penghargaan nasional dan internasional, belum pernah dihukum, dan selama persidangan berlaku sopan.
Seusai sidang, Nazaruddin mengkritisi alur pikir majelis yang menilainya bersalah menandatangani surat kerja sama penutupan asuransi karena tidak dilakukan dalam rapat pleno. Apabila itu dinilai keliru, maka majelis hakim juga menilai putusan lain yang dibuatnya tanpa rapat pleno keliru.
Padahal, itu bukan satu-satunya tindakan atau kebijakan saya selaku Ketua KPU yang dibuat di luar rapat pleno. Begitu banyak kebijakan yang dibuat karena situasi mendesak tidak memungkinkan bagi saya mengundang anggota KPU hadir dalam rapat pleno. Salah satunya adalah menyatakan berlakunya surat suara tembus pada pemilihan presiden pertama, ujarnya.
Jika mengikuti alur pikir majelis, lanjut Nazaruddin, keputusan memberlakukan surat suara tembus juga tidak sah. Ini berarti pemilihan presiden kedua juga tidak sah sehingga harus diulang.
Ditanya mengapa Nazaruddin menyamakan dua hal yang berbeda, ia mengatakan, hal itu dilakukan setelah majelis menyampaikan fakta bahwa kebijakannya menutup asuransi adalah tidak sah. Maka, saya juga menyampaikan fakta lain bahwa pemberlakuan surat suara tembus dua lubang yang seharusnya tidak sah menjadi sah juga dilakukan tanpa rapat pleno, ucapnya.
Anggota tim penasihat hukum Nazaruddin, Nurhasyim Ilyas, mengatakan, hakim telah melakukan penerapan hukum yang tidak tepat. Tidak ada maksud jahat Nazaruddin. Beliau hanya tanda tangan surat yang ada di atas mejanya yang sudah diproses sekjen, ujarnya.
Ketua Komisi III DPR Trimedya Panjaitan (Fraksi PDI-P, Sumatera Utara II) menilai pernyataan Nazaruddin bahwa pemilu harus diulang adalah berlebihan. Ini korupsi. Pernyataan Ketua KPU itu pernyataan politik, katanya.
Ia menyarankan agar Nazaruddin membuka semua hal yang sebenarnya terjadi di KPU. Seakan-akan karena ia mengeliminasi kasus, ia terkena hukuman berat, katanya. (ana/bdm)
Sumber: Kompas, 15 Desemebr 2005