Nazaruddin Jadi Buruan Interpol
Presiden Tidak Intervensi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengajukan red notice atau permintaan pencarian untuk tersangka suap proyek pembangunan wisma atlet SEA Games 2011, Muhammad Nazaruddin, kepada kepolisian internasional (Interpol) melalui Mabes Polri.
Dengan begitu, mantan Bendahara Partai Demokrat itu akan menjadi buronan Interpol. Nazaruddin dilaporkan tengah berobat di Singapura. Dia meninggalkan Indonesia pada 23 Mei lalu atau sehari sebelum KPK mengeluarkan permohonan cekal terhadapnya.
Kepala Biro Humas KPK Johan Budi memastikan, red notice akan disampaikan kepada Mabes Polri dalam waktu satu-dua hari ini.
“Dalam waktu satu-dua hari ini kita akan menerbitkan red notice ke Interpol,” kata Kabiro Humas KPK, Johan Budi kepada pers di kantornya, Senin (4/7).
Sebelumnya, permintaan yang sama telah disampaikan KPK terkait penangkapan terhadap tersangka kasus suap cek perjalanan dalam pemilihan Deputi Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia (DGSBI), Nunun Nurbaeti.
Namun hingga kemarin, red notice itu ternyata tidak cukup manjur karena keberadaan Nunun belum juga terendus. Padahal, red notice sudah dikirimkan ke Interpol sejak lebih dari tiga pekan lalu.
Nazaruddin resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak 30 Juni. Suami Neneng Sri Wahyuni itu diduga menerima suap terkait pembangunan wisma atlet di Palembang senilai Rp 191 miliar.
Istrinya, Neneng, juga batal diperiksa KPK karena ikut ’’lari’’ dengan Nazaruddin ke Singapura. Neneng diduga terlibat dalam kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada tahun 2008.
Nazaruddin, mantan anggota Komisi III DPR, disangka melanggar Pasal 5 ayat 2 dan atau Pasal 12 huruf a dan atau huruf b dan atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Nazaruddin menolak kembali ke Tanah Air dengan alasan tengah menjalani pengobatan sakit jantung.
Perintah Presiden
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan agar Polri menangkap Nazaruddin. Perintah SBY kepada Polri untuk menangkap Nazaruddin itu didasarkan pada pernyataan pimpinan KPK yang mengaku kesulitan mendatangkan tersangka kasus dugaan suap wisma atlet SEA Games itu untuk menjalani proses hukum.
Perintah penangkapan Nazaruddin oleh presiden ini kontan menuai kritik karena dituding tidak berimbang, dalam arti terhadap tersangka dan kasus lain, presiden bersikap pasif. Misalnya dalam kasus Nunun Nurbaeti yang juga buron, tidak sekalipun presiden pernah mengeluarkan perintah penangkapan atau sejenisnya.
Jubir Kepresidenan Julian Aldrin Pasha kemarin membantah tudingan bahwa perintah Presiden SBY ke Polri adalah bentuk intervensi. “Justru ini permintaan KPK, bahwa dalam upaya untuk menghadirkan Nazaruddin mengalami kesulitan. Oleh karena itu meminta bantuan kepolisian untuk menghadirkan Nazaruddin,” kata Julian kepada wartawan di Istana Negara, Senin (4/7).
Sebagai tindak lanjutnya, Presiden kemudian memerintahkan Polri berkoordinasi dengan KPK untuk menghadirkan Nazaruddin. Maka tidak tepat bila kemudian dinilai perintah presiden sebagai intervensi terhadap proses hukum.
“Sebagai komitmen membantu penegakan hukum, presiden meminta kepolisian berkoordinasi dengan KPK untuk menghadirkan Nazaruddin dalam proses hukum,” ujar Julian.
Perintah penangkapan tersebut berlaku juga untuk para tersangka kasus korupsi yang bersembunyi di luar negeri. Menurut Julian, perintah demikian bukan baru sekali ini disampaikan oleh Presiden kepada jajaran penegak hukum.
“Perintah itu tidak mengesampingkan kasus hukum lain. Presiden selalu memerintahkan kepada jajaran yang memiliki otoritas hukum melaksanakan tugas penegakan hukum,” kata Julian.
Menyinggung hasil perundingan dengan pihak Singapura mengenai mekanisme ekstradisi, menurut Julian, belum ada keputusannya. “Sampai saat ini kita tahu belum ada perjanjian ekstradisi,” jawab dia. (J13,K24, ant,dtc-43)
Sumber: Suara Merdeka, 5 Juli 2011